KETIKA berkunjung ke Batam akhir Nopember 1976 lalu, Presiden
Suharto memang ada janji. Bahwa untuk membuka kontak hubungan
udara antara proyek Otorita itu dengan beberapa kota penting di
Riau dan Jakarta, akan dioperasikan penerbangan perintis kemari.
"Twin Otter atau Cassa" begitu Kepala Negara menggambarkan jenis
pesawatnya.
Janji itu, 3 bulan kemudian, memang dipenuhi. Pilihan jatuh pada
Cassa-212, pesawat hasil rakitan PT Nurtanio, Bandung. Dan
terhitung 7 Maret 1977, resmi sudah melayang-layang di angkasa
Riau. Buat Riau sendiri, meskipun bukan pertama -kali menikmati
rahmat proyek penerbangan perintis, narnun bukan tak
menggembirakan. Sebab, dengan hadirnya Cassa ini, ada beberapa
kota penting yang secara tetap disinggahi. Seperti Dumai, Sungai
Pakning, Rengat. Ini berarti menambah sarana hubungan yang ada,
yang selama ini hanya mengandalkan jalan laut atau darat.
Padahal, kontinuitas hubungan laut sulit dipegang. Maklum,
kapal-kapal yang melayari perairan Riau umumnya kapal barang
yang lebih banyak bergantung kepada selera para pemiliknya,
bukan suatu jadwal perjalanan tetap. Sementara hubungan darat
bukan kepalang sulitnya. Sebab kondisi jalan di Riau masih
terhitung parah. Seperti dari Rengat ke Pekanbaru, misalnya.
Di lain pihak, beroperasinya perintis ini, dapat pula mengisi
kekosongan yang ditinggal CIA untuk jurusan Palembang Tanjung
pinang-Pekanbaru, sejak perusahaan itu menghentikan sama sekali
penerbangannya dengan F-27 kemari. Meskipun ada perusahaan
penerbangan swasta "Sempati" yang membuka jaringan penerbangan
jurusan ini, namun karena bersifat carteran, sulit dipegang. Di
samping, "harga karcisnya seenak perut" begitu gerutu
penumpang-penumpang di Tg. Pinang.
Sering Kosong
Tapi apa mau dikata, sampai 3 bulan terakhir ini, tampaknya sang
Cassa yang mampu membawa 18 penumpang itu belum begitu berhasil
mengutik selera para penumpang. Pihak perwakilan MNA mengakui
pesawat itu masih sering terbang kosong. "Paling banyak separun
kursi yang terisi" seperti dikelullkan perwakilan MNA di Tg.
Pinang. Padahal biasanya untuk jurusan ini (Tg. Pinang
Pekanbaru) penumpang terhitung lebat. Rata-rata 200 orang per
minggu.
Kurangnya minat penumpang terbang dengan Cassa, ternyata bukan
cuma jurusan Tg. Pinang-Pekanbaru yang bersaing dengan Sempati
yang punya F-27. Tapi jurusan lain pun tampak melempem. Seperti
Pekanbaru-Batam atau Batam-Tg. Pinang. Yang tampak sedikit hidup
dan bergairab hanya jurusan Rengat-Pekanbaru, Dumai-Pekanbaru
dan Sungai Pakning-Pekanbaru.
Apa sebenarnya yang menjadi soal kurangnya minat terhadap Cassa
ini? Sebab kalau soal tarip, ternyata jauh lebih enteng. Untuk
Tg. Pinang-Pekanbaru misalnya, Rp 3000 lebih rendah dari tarip
Sempati. Kalangan MNA di Riau sendiri masih ragu buat memberi
jawab. Cuma mereka mengakui kalau penerbangan perintis dengan
Cassa ini, dianggap sementara penumpang "kurang nyaman". Ini
misalnya menyangkut servis di pesawat, dan suasana tempat duduk.
Para penumpang itu, tampaknya rada lemas karena dengan duduk
saling berhadapan, ditambah kondisi tempat duduk yang bak
rajutan keranjang buah-buahan itu, terasa bagai serdadu yang
akan pergi perang.
Tapi terlepas dari perkara enak tak enak terbang dengan Cassa,
nyatanya jaringan udara perintis tetap penting buat Riau. Sebab
sampai saat ini, Riau terhitung daerah yang belum semua kota
kabupatennya dijamah pesawat terbang penumpang. Seperti Kampar,
Bengkalis dan Tambilahan. Dalam daftar jatah lapangan udara
perintis yang 3 tahun terakhir ini sudah lebih 43 lapangan yang
dibangun, memang Riau belum kebagiaul sebijipum Tapi bukan
berarti tak banyak lapangan terbang di daerah uni. Seperti
Rengat, Dumai. Sungai Pakning atau Singkep. Cuma itu dan
dibangun oleh pengusaha minyak.
Itu sebabnya, ada yang berpendapat bahwa, jaringan penerbangan
perintis ini supaya menjamah juga Bengkalis. Soalnya, kota
kabupaten yang terkenal dengan sagu dan ikan itu, kini
hampir-hampir terlupakan. Apalagi sejak gagasan memindahkan
ibukota kabupaten itu ke Dumai. Meskipun gagal, dan Dumai bakal
dijadikan Kotamadya administratif, namun sebagian usaha
pembangunan kantor-kantor pemerintah Tingkat II sudah keburu
numpuk di Dumai.
Sampai-sampai seorang pejabat dari Bengkalis pernah
mengumpamakan kalau Bengkalis kini tak ubah "kota kecamatan"
saja. Terpencil dan terbuang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini