Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Yang narsisus dan yang bisu

40 patung karya seniman bandung digelarkan di galeri cipta tim. karya 10 pematung itu jelas memperlihatkan kemampuan masing-masing yang saling berbeda.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

10 orang tamu dari Bandung itu bukan orang-orang baru. Mereka mengisi Galeri Cipta TIM - 9-16 Mei ini - dengan 46 buah karya patung modern. Tentu saja ruangan yang kecil itu jadi kewalahan menerima karya-karya yang pada hakekatnya masih memerlukan ruang. Menikmatinya pun jadi sulit karena kita terseret membanding-banding. Ada di antaranya yang agresif ada yang narsis (cinta diri sendiri), sehingga tak bisa dihindari interaksi dalam ruangan menyebabkan suasana kurang tenang. Para seniman itu: Edith Ratna, But Muchtar, Bambang Irawan, Sidharta, Sunaryo, Surya Pernawa, Otong Nurjaman, Rita Widagdo, Iriantine, Jim Supangkat, memiliki dunia masing-masing. Ada juga di antara mereka yang mengerjakan motif-motif yang sama, meskipun dengan watak yang lain. Bambang Irawan (33 tahun) dan Otong Nurdjan (35 tahun) misalnya sama-sama menggarap mental dengan kecenderungan sendiri-sendiri. Bambang menangkap gerak dengan garis-garis ambular dan menimbulkan kesan musikal, sementara Otong lebih masif dan menangkap momen-momen dramatik. Tapi keduanya terasa tidak orisinil serta kering karena formilnya. Sidharta dan Sunaryo juga sama-sama mengerjakan semacam totem-totem yang magis. Sidharta cenderung rasionil 2 sementara Sunaryo menggali intuisinya dengan kiblat totem-totem Irian. Sidharta (45 tahun) memanfaatkan perenungannya pada kehidupan dan mencoba memadukan nilai magi pada totem tua dengan kehidupan praktis yang serba teknik pada masa ini. Kita teringat ornamen-ornamen AfrDka atau Dayak melDhat garis-garisnya. Tetapi kita diingatkan pula bahwa kita tidak hidup di zaman baheula, tapi sekarang, saat ini, di saat sudah ada satelit - serta pemilu yang penuh tekanan itu. Ini berbeda dengan Sunaryo (34 tahun) yang tampil dengan bahan-bahan kayu dan menembus ke pedalaman serta mengangkat suara-suara dalam, lari sesuatu yang diam. Sunaryo dari Banyumas berpendidikan Departemen Seni Rupa ITB serta pelajaran teknik marmar di Carara, Italia. perlu kita catat karena suasana agrarisnya yang masDh sempat dipertahankan. Ia berbeda dengan Surya Pernawa (38 tahun) yang juga mempergunakan kayu (multipleks) tetapi sudah amat rasionil. Sunaryo sempat menangkap watak diam tetapi berbisa dari tote-totem pedalaman negeri ini. Patung-patungnya: Inan I, Irian II, Irian III, Serenada I, Serenada II, seakan-akan melekat ke bumi. Menyebarkan keintiman, bau lokal, tetapi tidak mengganggu. Patung-patung itu mewarisi watak monumen tradisional, yakni memberikan jiwa pada ruang dan menimbulkan keseimbangan yang mengikat suasana sekitar - tetapi sama sekali tanpa menonjolkan diri. Hanya kalau kita memberinya perhatian, lantas muncul detail-detail yang dikerjakan dengan kesederhanaan, keluguan yang menimbulkan imajinasi yang kaya. Sunaryo berhasil pula menahan diri untuk tidak membuat duplikat yang bisa mengakibatkan patung-patung itu menjadi berbau turistis. Di antara patung-patung lainnya ia tampak paling menampilkan watak pribumi, dengan ketrampilan teknik yang tidak tercela. Mempelai Emas Keemasan karya Sidharta barangkali memang sempat pula menampilkan suasana yang sama dengan patung-patung Sunaryo -- kendati bobot magisnya sudah berbeda. Sunaryo menggali kebisuan sementara Sidharta cenderung kenes. Jim Supangkat. Ia satu-satunya orang yang muncul dengan patung yang tidak lagi harus dinDai sebagai hiasan. Ia juga tidak menempatkan karya-karyanya sebagai totem atau monumen yang memberikan unsur tertentu pada ruangan. Ia menampilkan kenyataan-kenyataan pahit dan pedih karena orang sudah terlalu banyak berbicara dengan puisi-puisi gelap, sehingga makna yang sebenarnya jadi kabur. Ia bicara dengan terus terang - dan dingin. Maka muncullah patung seperti Si Cantik Lia yang memperlihatkan sesosok besi di atas roda dengan ujung-ujung panah di puncaknya. Atau Kursi si Cippi -- sebuah kursi anak-anak dengan sabuk-sabuk pengikat yang maunya membuat anak itu keok tidak mampu bergerak lagi. Memang sangat literer, dan bisa dianggap "kasar" oleh mereka yang berselera abstrak. Tetapi keterbukaannya dan kemungkinannya untuk ditunggangi asosiasi penonton merupakan kekuatan utama patung semacam ini. Jim melemparkan idiom lain - setidak-tidaknya untuk ukuran pribumi. Di samping itu ia telah pula mengucapkan kesedihan, kepahitan, penderitaan yang "tidak indah", yang tak sudi dilakukan oleh senirupa romantik negeri ini. Karena hidup di tangan Jim begitu kejam, buas tapi toh harus dihadapi. Hampir bertolak belakang dengan Jim adalah Rita Widagdo -- yang kita kenal di Jakarta sebagai pencipta patung (39 tahun) kalau ditinjau dari dunia Jim jadi terasa seperti pembuat patung-patung narsis. Karya-karyanya berjudul: Tiga Bentuk, Empat Bentuk, Marmer Itali, Bentuk Bundar, Dari Dua Dimensi ke Tiga Dimensi, semuanya monumental dan amat memaksa minta diperhatikan. Dia tidak menawarkan dialog, tidak menawarkan suasana - anggun seperti burung merak yang ingin dinikmati kemulusannya. Rita asyik hidup di tengah alam imajinasinya sendiri. Berbeda dengan Edith Ratna Suryosuyarso (31 tahun), yang juga monumental tetapi lebih sederhana. Edith sangat sensitif, lembut dan butuh berkomunikasi. Siapa saja yang menonton karyanya seperti diajak bercakap-cakap. Ia jauh lebih intim dibanding Rita, lebih human meskipun Rita memang lebih unggul secara teknis: ia telah mencapai kemantapan dalam jiwa dan kematangan dalam pengolahan. Belum Menyentuh Iriantine (27 tahun), yang paling muda dalam pameran, mengetengahkan patung-patung "meleleh" yang masih lebih bersifat studi. Padanya judul-judul patung: Certain Smile, Nuansa, Lotus, Clown 77, Torso Terkulai, Sudu, masih merupakan tempelan-tempelan. Ia jelas sedang memantapkan tehniknya serta asyik dengan kejutan-kejutan yang ia temukan dalam proses. Ia tidak seperti Jim yang penuh gagasan, juga bukan Rita yang selesai dalam soal-soal teknis. Berbeda dengan But Muchtar (47 tahun), orang paling tua dalam pameran yang berkarya sangat akademis. But menganalisa dengan cermat sebelum bekerja. Ia melantunkan suasana lukisan-lukisan kubisme. Kedua patungnya dalam pameran, Ikatan I dan Ikatan II, lebih terasa sebagai usaha pemindahan keindahan kanvas ketiga dimensi. Patung-patung ini amat membutuhkan peranan cahaya: cahaya yang masuk ke rongga-rongganya akan menimbulkan kehidupan yang berbeda-beda dari detik ke detik. Teknik dan komposisi merupakan hal yang amat penting. Di samping itu patung di atas memiliki ruang tersendiri dalam dirinya, yang membuat kita harus siap membuat analisa bila ingin menikmati. Ada problim yang selesai dan bersih dalam buah tangannya, sehingga karya-karyanya lebih menyerupai hiasan ruang dalam gaya modern. Keseluruhan pameran belum mampu menyentuh hulu hati. Problem yang ditawarkan lebih merupakan proble dunia patung. Kadar kehidupan nyata terasa tipis - pameran ini bersifat akademis. Sementara dunia senirupa tiga dimensi di negeri ini cukup kuat dan punya sejarah yang baik. Selain pameran patung jarang, tantangannya juga beMt. Sehingga untuk sampai pada hasil yang dapat dipujikan, para pematung di negeri ini tidak seyogyanya hanya berguru pada teknik dari mancanegara semata-mata. Kalau bisa tentu saja. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus