Polemik perlu tidaknya pasangan calon presiden dan wakil presiden berdebat pada akhirnya lenyap begitu saja. Komisi Pemilihan Umum sudah menjadwalkan debat itu pada akhir masa kampanye pemilu presiden, yang direncanakan berlangsung pekan ini. Pasangan siapa yang berdebat sudah ditetapkan dengan undian. Tadinya, banyak yang menganggap acara ini sebagai sesuatu yang sangat menentukan, seolah-olah debat itu menghasilkan pasangan yang kalah dan pasangan yang menang. Implikasinya, yang kalah dalam debat suaranya merosot. Ini yang membuat seolah-olah ada presiden yang menghindar melakukan debat.
Kenyataannya, tak ada yang ditakuti dari acara debat calon presiden atau wakil presiden itu. Stasiun televisi swasta, organisasi kepemudaan, organisasi mahasiswa di kampus, sudah berkali-kali menyelenggarakan debat terbuka itu. Yang terjadi malah gelak tawa, acara yang menghibur karena peserta debat bersikap sangat santai. Tentu saja ada tepuk tangan.
Calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, dan Wiranto paling rajin mendatangi acara debat. Hamzah Haz dan Megawati belum mencoba ajang debat ini, mungkin sibuk karena keduanya masih menjabat sehingga perlu ada "cuti khusus". Tapi bisa jadi pula menghindar, mengingat penyelenggara debat adalah "lembaga tak resmi", bukan acara KPU. Namun para calon wakil presiden semuanya rajin. Agum Gumelar termasuk yang paling rajin, bahkan ia sekali waktu menantang calon presiden lain.
Sepanjang penyelenggara bersikap netral dan panelis pun bukan partisan, acara ini memang menarik dan sekaligus menunjukkan bahwa calon presiden itu bukanlah manusia-manusia super yang serba tahu. Mereka pun bisa kita tertawakan, tanpa ada ketakutan ketawa kita akan menyebabkan kita masuk penjara. Wiranto, misalnya, tidak tahu berapa upah minimum bagi seorang pekerja, padahal ia berjanji meningkatkan martabat hidup para buruh. Amien Rais yang rajin mengunjungi pasar tradisional dan berjanji memperbaiki perekonomian rakyat, ketika ditanya dalam acara debat berapa harga minyak sekilo, ia bingung dan kemudian menjawab Rp 5.500. Setelah dicek dengan data yang ada, harganya hanya Rp 5.000. Apa komentar Amien? "Lha iya, saya tahu, kalau nanti saya jadi presiden harga minyak turun menjadi Rp 5.000." Penonton tertawa dan bertepuk tangan.
Dulu, ketika Soeharto berkuasa, lembaga kepresidenan begitu angker, sakral, juga menyeramkan. Soeharto sendiri selalu memposisikan dirinya sebagai sosok yang sangat dibutuhkan rakyat, selama bertahun-tahun. Seolah-olah rakyat tak punya pilihan lain selain menunjuk Soeharto sebagai presiden. Pemilihan presiden di MPR pun tak pernah ada calon lain, selalu calon tunggal. Kini terbalik, justru calon presiden yang membutuhkan rakyat, calon presiden yang berkeliling mengobral janji agar rakyat mau memilihnya.
Banyak yang sudah mereka lakukan untuk mendekati rakyat selain ikut acara debat. Ada yang ke pasar, masuk terminal, makan di kantin bersama buruh pabrik, naik kereta rel listrik berdesak-desakan bersama pencopet, juga saling adu kepiawaian menyanyi. Sejauh mana acara-acara ini mempengaruhi rakyat untuk memilihnya, itu persoalan lain. Jangan-jangan rakyat sudah menentukan pilihannya sejak awal dan tak mudah "pindah ke lain hati", betapapun calon presiden itu unggul dalam debat. Kalau begitu, kenapa takut berdebat?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini