Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK mengherankan jika dua calon presiden memerlukan datang pada Grand Final Akademi Fantasi Indosiar (AFI) 2 di Plenary Hall Jakarta Convention Center, dua pekan lalu. Merujuk pada Grand Final AFI 1 yang mencapai rating 19, tayangan langsung itu ditonton oleh sekitar delapan juta pemirsa. Pengamat yang basir pasti mafhum: jumlah massa ini mustahil bisa dihimpun calon presiden Indonesia mana pun dengan bentuk kampanye macam apa pun.
AFItak peduli ia diadaptasi dari Meksiko atau dari mana punsungguh fenomena menarik. Sebagai tontonan, ia berhasil menggeser rating berbagai tayangan impor pujaan sebelumnya, taruhlah Meteor Garden atawa Dora Emon. Ia juga melibas program-program "kemenyan" yang merasuki hampir semua stasiun televisi di Tanah Air belakangan inisemacam hantu-hantuan aneh bin ajaib.
Tak mengherankan pula jika program reality show seperti ini segera diduplikasi sejumlah stasiun televisi lain, apalagi duplikasi memang merupakan bentuk "kreativitas" paling "orisinal" stasiun kita yang miskin programmer. Di layar kaca kita sekarang ada Kontes Dangdut Indonesia, Indonesian Idol, Indonesian Model, The Show, dan sebentar lagi Festival Nasyid Indonesia. Bahkan AFI sudah punya AFI Yunior.
Semuanya sah belaka, bahkan patut mendapat catatan khusus. Berangkat dari model kontes, AFIdan program sejenisnyamemberi makna baru bagi dunia penyiaran kita. Bentuk kontes itu sendiri bukan barang baru. Kita sudah mengenalnya di masa lampau lewat, misalnya, pemilihan Bintang Radio. Memasuki era televisi, kontes "seni suara" itu berkembang menjadi program Bintang Radio dan Televisikemudian pudur berangsur-angsur. Kita memasuki era sinetron dan telenovela.
AFI bukan sekadar kontes. Memasuki pemilu presiden 2004, AFI, yang menayang sejak Desember tahun lalu, memperkenalkan kita dengan sistem pemilihan langsung, demokratis, dan tanpa sekat "primordial". Dalam AFI 2, misalnya, seorang pemirsa dari Medan mengaku memilih Tia yang dari Solo, dan bukan Haikal yang dari Medan. Anak Medan ini bahkan gembira luar biasa ketika membaca betapa hibuknya warga Solotermasuk lurah, wali kotamemberangkatkan penggembira Tia ke Ibu Kota.
Di dalam AFIdan tayangan sejenisnyakontes dan pemilihan kehilangan kekuatan sakralnya. Tak ada lagi juri yang angker dan bergaya "muktabar"; juri di sini lebih bersifat komentator dan boleh jenaka. Para anak muda kita yang merasa bisa menyanyi pun tak lagi perlu melewati berbagai prosedur seleksi ketat dan royal uang untuk mencapai cita-cita masuk dapur rekaman. AFI mengangkat "orang biasa" menjadi pesohor.
Sebagai tontonan, AFI juga berhasil mempermainkandan memeliharaketerharuan emosional pemirsa. Dari suasana suka cita mendengar suara dan menyaksikan gaya para akademia, presenter bisa tiba-tiba meredam euforia hanya dengan menghela sebuah koper ke atas panggungisyarat tragis untuk akademia yang tereliminasi. Sejenak kemudian, di depan televisi di ruang keluarga, terdengar sesenggukan untuk akademia yang bukan kenalan bukan sanak famili itu .
Inilah model tayangan yang berhasil mempersatukan kita (kembali), di tengah kampanye pemilu presiden yang justru menguar-uarkan "perbedaan". Bahkan kontes Bintang Radio atawa Bintang Radio dan Televisi dulu masih bertumpu pada "wakil daerah", sebab seleksi awalnya memang dari daerah. Mungkin dua hal perlu dipikirkan oleh penyelenggara AFI dan tayangan sejenisnya. Pertama, efek psikologis akademia tereliminasi, yang sempat menjadi selebriti kecil-kecilan. Kedua, sukses sejati tak selalu dicapai dengan mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo