Cerita uang palsu barangkali beredar lebih luas dari peredaran uang rupiah palsu itu sendiri. Mungkin karena biang keladi pembuatan uang palsu belum pernah sungguh-sungguh bisa terbongkar, sementara uang pecahan Rp 20 ribu, Rp 50 ribu, dan Rp 100 ribu palsu makin sering ditemukan, lalu ceritanya berkembang lebih besar dari peristiwanya. Bagaimanapun, beredarnya uang palsu itu mengkhawatirkan, sebelum jelas seberapa gawat masalah sebenarnya, dan apakah ada cara menghentikannya.
Meningkatnya peredaran uang palsu tampaknya seiring dengan meningkatnya penggunaan uang tunai. Dalam masa kampanye pemilihan umum, baik yang lalu maupun pemilihan presiden sekarang, dilaporkan makin banyak uang palsu ditemukan. "Upal", begitu singkatan yang digunakan untuk uang palsu, dikaitkan dengan kebutuhan dana kampanye politik. Dana yang dihabiskan begitu besar, sampai orang berpikir bahwa sumbernya tidak mungkin hanya dari yang halal asalnya.
Salah satu sumber dana ilegal yang termudah?setidaknya dalam pikiran yang mencurigai?adalah dengan mencetak uang palsu. Apalagi dana kampanye bukan cuma untuk biaya propaganda, tapi juga untuk politik uang, yaitu dengan membagi-bagikan uang langsung kepada para pemilih yang jutaan jumlahnya. Makin banyak uang tunai dikeluarkan, semakin mungkin uang palsu ikut digunakan. Belum ada yang bisa membuktikan semua ini, tapi ceritanya bergulir tak terbendung. Apalagi sekali-sekali ada berita yang bisa jadi bumbu, seperti di Jawa Timur pekan baru lalu ini, bahwa uang yang diselipkan dalam pembagian stiker pasangan calon presiden Wiranto-Salahuddin Wahid ternyata pecahan Rp 20 ribu palsu. Bahwa tim sukses Wiranto menyangkal membagikan, tidak menghapus fakta bahwa yang telah terbagikan adalah uang palsu.
Dengan mesin fotokopi canggih saja penggandaan yang mendekati rupa uang asli mudah dilakukan, apalagi dengan teknologi rekaman digital. Setiap pemalsuan uang merupakan masalah, besar atau kecil dianggap kejahatan yang sama. Ancaman pidananya sama-sama lima belas tahun penjara. Namun kekhawatiran lebih tertuju pada usaha pemakaian uang palsu berskala besar. Dalam skala tersebut yang dibicarakan bukan beberapa ribu lembar, atau sekarung dua uang lima puluh ribuan atau seratus ribuan palsu, melainkan mungkin berpeti-peti jutaan lembar uang tidak sah, yang walau diteliti sukar dibedakan dari yang asli. Inilah yang dibayangkan?seperti sering didesas-desuskan?masuk dalam peredaran melalui penggunaannya dalam kampanye pemilu.
Walau belum ada yang bisa membuktikan, banyak yang percaya pada kebenaran isu uang palsu jumlah besar ini. Sebagian mendasarkan kepercayaannya pada dongeng tentang stok uang seratus ribuan?yang dicetak di Australia pada zaman Presiden Soeharto?yang ditimbun dalam gudang rahasia entah di mana. Uang ini sama sekali tidak berbeda dengan yang asli, begitulah dikisahkan, kecuali tidak bernomor seri karena belum didaftarkan di Bank Indonesia. Agak fantastis kedengarannya. Lalu harta karun itulah?tanpa merasa perlu menerangkan siapa yang menguasai selama ini?yang disalurkan dan dimanfaatkan untuk beberapa keperluan, termasuk disangka mendanai kampanye pemilu. Dulu, katanya, persediaan uang jenis ini diadakan untuk membiayai operasi militer di Timor Timur.
Timbulnya sangkaan juga dipicu oleh biaya belanja pemilu yang luar biasa besarnya, sedangkan tak pernah jelas dari mana digali sumbernya. Pasti dari uang palsu tapi asli itu, begitulah lompatan kesimpulan yang dibuat. Buktinya? Inilah kesukarannya, karena isu ini justru dipercaya sebab sulit bisa dibuktikan. Bagaimana bisa dibedakan, kalau uang palsu itu dalam segala hal pembuatannya sama dengan yang asli, seperti jalan cerita yang dipercayai itu. Lagi pula, kalau jejak cerita ini bisa ditelusuri, bukankah berarti soal uang palsu sudah tak perlu berupa isu lagi karena seharusnya segalanya telah terbongkar? Biarpun demikian, yang tak bisa dielakkan untuk mesti dijawab ialah: siapa yang punya akses pada tumpukan uang ini, dan siapa yang disangka memanfaatkannya sebagai dana kampanye? Sifat fiktif cerita uang palsu ini tetap kuat selama pertanyaan itu belum terjawab.
Dari Bank Indonesia (BI) juga ada sangkalan. Yang diakui hanyalah bahwa tak ada garansi bahwa uang tak mungkin dipalsukan. Juga diakui bahwa dalam masa krisis dan kampanye pemilu, uang palsu yang beredar memang meningkat. Namun uang palsu yang ditemukan dan tercatat tidak sampai mencapai skala besar seperti cerita yang dijadikan isu. Memang, BI hanya mencatat statistik uang palsu yang ditemukan dan dilaporkan saja, bukan yang masih beredar tanpa disadari asli tidaknya.
Mungkin sebaiknya BI tidak hanya menjelaskan dengan catatan penemuan uang palsu saja, tapi secara resmi menyatakan dengan tegas bahwa uang palsu tapi asli seperti desas-desus itu tidak pernah ada, disertai bukti yang meyakinkan. Selanjutnya, walau agak terlambat, segera tarik mata uang yang rentan dipalsukan dan ganti dengan yang baru. Tidak perlu menunggu sampai tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini