Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Demokrasi

Dalam masyarakat modern, hubungan antara masyara- kat dan negara menimbulkan konflik. masyarakat me- nuntut hak berdialog dan mengatur negara dan ke- kuasaannya atas masyarakat.

18 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demokrasi ONGHOKHAM TULISAN ini ingin mengajukan berbagai aspek mengenai hubungan negara dan masyarakat, dulu, kini, dan nanti. Masyarakat tradisional terdiri dari kepentinan keluarga, golongan, aliran atau "pribadi", dan masyarakat tradisional berkembang jadi "modern", yang bersifat "umum" (publik). Dari yang sektarianis ia berkembang jadi kepentingan umum secara ekonomis, sosial, dan politik. Secara sosial dan budaya suatu unsur komunikasi timbul untuk melayani masyarakat yang berkepentingan umum dan materialis. Bukan informasi indoktrinasi ideologi atau teologi yang diperlukan masyarakat. Namun, berita, informasi, yang berharga -- suatu komoditi ekonomis. Sederetan lembaga muncul sebagai alat dan tempat komunikasi: warung kopi, teater, perkumpulan sastra, perpustakaan, dan majalah, misalnya. Khususnya koran dan radio swasta amat berperan dalam mewujudkan masyarakat modern. Masyarakat modern kini berbentuk bangsa dan pembentuknya serta kesatuannya dibentuk oleh perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Bukan oleh negara/pemerintah. Perkembangan masyarakat modern ini -- disertai pesatnya ekspansi birokrasi pemerintahan dan alat negara -- membuat mereka kian terpisah dari pribadi dan rumah tangga raja/kepala negara. Suatu birokrasi dan tentara permanen didirikan terpisah dari istana. Hak untuk melaksanakan pengadilan dan menggunakan kekerasan ada di tangan kekuasaan "umum" (lemhaga). Anggaran belanja negara dipisahkan dari rumah tangga sang penguasa. Negara jadi bukan milik pribadi penguasa (depersonalised state). Negara tersebut dalam keadaan berkembang, seperti juga masyarakatnya sebelum terwujud kesatuan modern, biasanya mengurus perekonomian secara mendetail di semua bidang, demi prinsip merkantilisme (memperkaya negara atau golongan yang berkuasa), dan atas prinsip menghindari kesenjangan, dan demi "kepentingan umum". Padahal, sebenarnya, prinsip merkantilisme dan politik kesejahteraan merupakan suatu kontradiksi. Antara masyarakat dan kepentingan umum, dan negara birokratis dalam perkembangan sejarah, timbul konflik atau ketegangan. Masyarakat, melalui diskusi, seminar, debat, atau bentuk pertemuan lain, sedikit demi sedikit menempatkan diri sebagai pendapat/kepentingan "umum" melawan kekuasaan "umum". Masyarakat lambat-laun menuntut hak berdialog, dan akhirnya untuk mengatur negara dan kekuasaannya atas masyarakat. Ini berakibat pada, misalnya, undang-undang anti-sensor, dan jaminan hak-hak konstitusional warga negara. Kekuasaan negara harus sah di depan masyarakat yang dibentuk olehnya. Gambaran perkembangan masyarakat dan negara modern, menurut filsuf J. Habermas (1989), bersifat universal, seperti juga teori tahapan tinggal landas Rostow. Dasar pengamatan Habermas adalah pengalaman Barat. Sejak perkembangan akhir di Eropa Tengah dan Timur (Uni Soviet), teori Habermas dilihat sebagai sifat perkembangan di masyarakat mana pun, termasuk di RRC. Para ahli Cina di AS sejak peristiwa berdarah di Tiananmen mencoba melihat unsur "kepentingan umum" dalam sejarah Cina, yaitu ngong (publik) vs. si (swasta). Di Barat, khususnya di AS dan Australia yang menampung arus migrasi dari Inggris, masyarakat terbentuk lebih dahulu sebelum negara dan masyarakat tadi membentuk negara. Di Eropa Barat juga unsur masyarakat kuat dalam pembentukan negara. Karena di Eropa Barat negara dengan aparaturnya telah terbentuk sebelum masyarakat, melalui evolusi (Inggris dan Belanda) atau revolusi (Prancis), kekuasaan negara harus direbut oleh masyarakat, dan dibatasi. Di Eropa Tengah dan Rusia, gejala masyarakat dan negara juga mutlak untuk mengerti apa yang kini terjadi. Keadaan di bagian dunia ini bertolak belakang dengan yang terjadi di AS dan Australia. Dialog antara negara dan masyarakat pun, boleh dibilang, tak ada. Satu-satunya usaha akan konstitutionalisme di Rusia zaman Tzar adalah apa yang kemudian dikenal dengan Gerakan 26 Desember (1825), yaitu upaya suatu kelompok militer di Rusia, yang ditindas. Kemudian muncullah suatu "golongan putih" yang menjauhkan diri dari usaha dialog antara negara dan masyarakat. Suatu sikap yang tak dilakukan oleh Forum Demokrasi. Di Hungaria dan Ceko-Slovakia, negara juga terbentuk lebih dahulu melalui kekaisaran Habsburg, kemudian oleh tentara Rusia setelah Perang Dunia II (1945). Sekalipun di Hungaria, misal- nya, pernah pecah suatu pergolakan pada 1848 untuk melawan penguasa, yang dapat ditindas dengan bantuan tentara Tzar Rusia. Ini menunjukkan bahwa unsur-unsur masyarakat di Eropa Tengah jauh lebih kuat dibandingkan di Rusia. Kuatnya unsur-unsur masyarakat inilah yang agaknya membuat negara-negara di Eropa Tengah dapat menolong dirinya sendiri di saat keluarnya tentara Rusia, dan tumbangnya kekuasaan Partai Komunis yang tak mampu lagi mengatasi krisis ekonomi, sosial, dan politik. Belakangan, gejala proses demokrasi juga timbul di Korea Selatan dan Taiwan -- dua negeri yang berkebudayaan konfusianis-otoriter, dan mengalami masa penjajahan yang panjang. Tahap-tahap modernisasi yang terjadi di kedua negeri tersebut bisa pula diajukan di negeri Asia lain, termasuk kita. Di Indonesia pun negara lahir lebih dulu dari masyarakat, dengan terbentuknya negara kolonial modern sejak zaman Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Fakta sejarah menunjukkan, fenomena "pergerakan nasional" baru timbul setelah teritori dan aparat negara kolonial melancarkan politik etis (lebih kurang 1900). Pada akhir dekade pertama setelah kebijaksanaan itu, timbul gejala gerakan pertama, Boedi Oetomo (BO). Juga gerakan massa Sarekat Islam. Gerakan itu mulanya disambut baik sebagai semacam perestroika dan glasnost oleh penguasa. "Toleransi" Hindia Belanda, menurut banyak ahli sejarah, karena faktor pendadakan: mereka kurang siap menghadapnya. Baru setelah 1927 penguasa menghantam pergerakan itu hingga steril. Tapi gerakan itu timbul lagi setelah masuknya Jepang di Indonesia pada 1942, yang disambut masyarakat. Sesungguhnya, sejak tahun 1942 itu, masyarakat di sini menyambut setiap penguasa baru: 1945, 1950, 1957-59, 1965-66. Namun, mungkinkah lahir konsepsi "Indonesia", "negara kesatuan", Irian jadi wilayah RI, tanpa adanya "pergerakan"? Dominasi negara atas masyarakat yang terlalu lama, hingga mematikan kemandirian, tampaknya tengah dihadapi oleh Gorbachev. Kini, yang mengancam Uni Soviet sebenarnya bukan oposisi politik. Tapi disintegrasi politik. Sikap demokrasifobi agaknya bisa membuat steril negara dan masyarakat, yang akhirnya akan memacetkan pembangunan ekonomi. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan ekonomi akan bikin masyarakat makin rewel. Maka, revisi di sektor ekonomi dan politik agaknya memang diperlukan. Agar semua sektor pembangunan bisa berkembang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus