Kata "keterbukaan" telah menghiasi media massa negeri kita. Alhamdulillah. Setelah penanganan kasus Nipah, Marsinah, dan SDSB, tampak bahwa Pemerintah memang bersungguh-sungguh merealisasikan "keterbukaan" meskipun saya belum tahu persis apa makna keterbukaan, seberapa jauh terbuka, dan apa saja yang terbuka. Barangkali ini keterbukaan tahap dini. Artinya, kita baru terbuka bertanya, tapi masih malu-malu untuk menjawab dengan persis. Kita memang tengah menentukan orientasi lagi, setelah lama istirahat. Kita juga tengah mencari bentuk "keterbukaan" yang pas. Ketika Indonesia, negeri yang menghimpun berbagai suku dengan beragam tradisinya ini diproklamasikan, pada saat itu pulalah komitmen untuk bekerja sama antara beragam tradisi ini ditegaskan. Dan keberagaman itu, sebenarnya, sudah inheren dalam bangsa kita. Karena itu pula demokrasi adalah cara bernegara yang tidak bisa kita hindari. Demokrasi memang bukan bagian dari kultur kita. Ia kata asing yang tidak ada padanannya dalam bahasa daerah apa saja di Indonesia. Konsep itu belum pernah dikenal, tapi tidak apa. Yang jelas, demokrasi adalah sejenis teknik untuk mengelola keberagaman kita. Jadi, dapat kita katakan, sebenarnya demokrasi telah lahir diam-diam bersama lahirnya negeri kita. Hanya, karena sering kita tidak mengacuhkannya, demokrasi jadi sering tidak terurus: tampak kurus, pucat, dan bermata cekung. Dengan keterbukaan inilah kita tengah memberi gizi pada kehidupan demokrasi. Demokrasi memang sering tidak diurus meski partai politik kita ada yang menggunakan "demokrasi" sebagai namanya. Dan nama, di masyarakat kita, adalah sesuatu yang istimewa. Banyak orang tua memberi nama anaknya dengan harapan agar anaknya menjadi orang seperti dimaksudkan oleh nama itu. Barangkali, pendiri PDI juga berharap demikian, yakni agar PDI jadi pelopor demokrasi di Tanah Air. Saya rasa, sebagian besar anggota PDI masih tetap memberi arti pada nama, termasuk nama demokrasi yang maknanya masih harus kita bangun. Keterbukaan, atau apa pun sebutannya, marilah kita manfaatkan sebagai upaya meningkatkan umpan balik bagi proses pembangunan. Karena keterbukaan masih dalam tahap dini, banyak masalah teknis keterbukaan perlu kita bicarakan. Misalnya, etika keterbukaan. Bila keterbukaan itu tanpa etika dan tanpa kearifan, yang terjadi adalah debat panas antara dua orang tuli: saling menganggap lawan bicaranya tidak bisa mengerti pendapatnya. Keterbukaan memang bukan obat ajaib yang dapat menyembuhkan segala penyakit politik. Ada hal yang masih kita perlukan, antara lain, jaminan hak-hak asasi, kesamaan tiap warga di depan hukum, juga kita masih memerlukan solidaritas berbangsa. Sambil jalan, kita harus merancang etika dan aturan main keterbukaan agar kesalahan yang kita buat dalam hidup bermasyarakat dapat kita tangkal sedini mungkin. Juga agar partisipasi masyarakat dapat kita himpun. Juga agar kekuatan masyarakat dapat kita mobilisasi bagi pembangunan. Keterbukaan pada awal berdirinya negara ini menyebabkan banyak orang yang sebelumnya hanya disatukan oleh administrasi kolonial merasa menjadi satu bangsa. Ketika itu, karena keterbukaan, orang jadi merasa memiliki Indonesia. Bukan karena tekanan militer, tapi karena rasa memiliki yang ditimbulkan oleh keterbukaan.IKBAL MAULANABrasserskade 205 2612 CD Delft Nederland
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini