Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hakikat hari-hari besar keagamaan

Tanggapan pembaca mengenai surat imbauan pimpinan ormas islam menyangkut perayaan natal (tempo, 1 januari 1994, agama)

22 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat pimpinan organisasi Islam menulis surat imbauan untuk tidak menghadiri perayaan Natal (TEMPO, 1 Januari, Agama). Surat imbauan itu berisi pernyataan: haram hukumnya bagi umat Islam mengikuti ritus kaum Nasrani dalam perayaan Natal. Selain keempat tokoh Islam itu, dalam upaya menjaga akidah makmum, imbauan serupa juga disampaikan oleh beberapa khatib dalam khotbah Jumat, sehari sebelum Natal. Ada di antara para khatib yang mengatakan, dalam larangan itu termasuk memberi ucapan selamat Natal. Menghadapi situasi seperti ini, sering orang terjebak untuk serta-merta menyebut umat Islam tidak toleran, tidak ingin menciptakan kedamaian antarumat beragama, dan sebagainya. Itu diperkuat oleh sikap toleransi umat Nasrani dalam bentuk pemberian ucapan "selamat Lebaran". Bahkan, ada yang ikut merayakan Idul Fitri. Sebaliknya, karena yakin bahwa hal ini tidak dibolehkan oleh ajaran Islam, banyak umat Islam tidak memberi selamat kepada umat Nasrani ketika mereka merayakan Natal. Agar tak terjebak pada kesimpulan yang keliru itu, marilah kita coba mengupas masalah ini lewat pemahaman kita atas hakikat hari-hari besar keagamaan masing-masing. Lebaran atau Idul Fitri bagi umat Islam, menurut saya, adalah suatu tahapan dari suatu proses pembersihan diri yang didahului oleh pelaksanaan ibadah puasa Ramadan (dilengkapi ibadah tarawih, tadarus, dan ibadah lainnya). Sedangkan arti Idul Fitri adalah, kembali ke fitrah, yakni suci bak bayi baru dilahirkan. Nah, untuk utuhnya proses pembersihan diri tersebut, maka dilengkapkanlah dengan permintaan maaf atas segala kesalahan yang telah dilakukan pada orang lain, baik pada sesama umat Islam maupun non-Islam. Dari pemahaman ini, sebenarnya, pada hari Lebaran, umat Islamlah yang seharusnya minta maaf kepada siapa saja, baik beragama Islam maupun non-Islam, khususnya kepada pihak yang telah kita rugikan. Untuk hari besar Natal, karena saya beragama Islam, saya tidak punya pengetahuan tentang itu. Menurut Y.B. Mangunwijaya, pada Kompas, 30 Desember 1993 lalu, masa Natal dan datangnya tahun Masehi baru adalah masa refleksi, khususnya bagi umat Nasrani. Bagi umat Nasrani dalam masa seperti ini (Natal) layak bertanya pada diri sendiri secara jujur: Siapakah kami? Tugas utama kami apa? Adakah hal-hal serius yang perlu kami perhatikan, agar kami hidup sesuai dengan kehendak Tuhan? Kesalahan apa yang pernah kami perbuat, yang perlu kami mohonkan pengampunan dari Tuhan dan sesama kawan manusia, khususnya sahabat-sahabat yang beragama lain? Apa yang perlu kami perbaiki? Amal apa yang relevan dan paling urgen pada masa kini yang harus kami prioritaskan? Apa sarana dan metodenya? Dan sebagainya. Dari uraian Y.B. Mangunwijaya ini dapat disimpulkan, sebenarnya, pada saat merayakan hari Natal, umat Nasrani (khususnya dalam proses refleksi diri) tidak tepat jika mengharapkan ucapan selamat atau keikutsertaan umat lain dalam aktivitas keagamaannya. Tapi justru, menurut Romo Mangunwijaya, dalam rangka introspeksi ini umat Nasrani mencoba menilai berbagai kesalahan (kalau ada) yang telah dilakukan kepada manusia lain, baik yang beragama Kristen maupun non-Kristen, dan meminta maaf atas kesalahan tersebut. Bila konteks ini yang dikembangkan bagi pemahaman kita bersama, tentunya, wujud toleransi dalam bentuk memberi ucapan selamat, baik itu selamat Lebaran maupun selamat Natal, dari umat yang tidak merayakannya (yang pada satu sisi dapat memberi dampak kurang mengenakkan, khususnya bagi umat Islam seperti diuraikan sebelumnya), haruslah dikoreksi secara mendasar. Bahwa proses atau kegiatan saling memberi selamat, baik secara langsung maupun lewat pengiriman kartu, seperti yang terjadi saat ini, ternyata salah kaprah. Yang seharusnya ada adalah, pada saat merayakan hari Lebaran, umat Islamlah (bila dalam pergaulan sehari-hari melakukan kekhilafan) meminta maaf kepada siapa ia berbuat salah, baik seagama maupun tidak. Demikian pula sebaliknya, pada saat umat Nasrani melakukan perayaan Natal, merekalah (bila dalam pergaulan sehari-hari melakukan kekhilafan), meminta maaf kepada siapa mereka membuat kekhilafan tersebut. Bila pemahaman ini dikembangkan, saya yakin tidak perlu ada imbauan, khususnya berkenaan dengan perayaan Natal, karena hal itu memang jelas-jelas merupakan urusan masing-masing umat. Dan memang, dalam pemahaman suatu proses instrospeksi, tidak harus dirayakan, apalagi besar-besaran. Lebih mulia, rasanya, bila dana yang digunakan untuk perayaan hari-hari besar itu digunakan untuk membantu saudara-saudara kita yang masih berjuang untuk melepaskan diri dari predikat kelompok yang perlu dientaskan, tanpa melihat agama apa yang dianutnya.BAMBANG H.S.Pondok Bambu Jakarta Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus