PUBLIK Amerika menjelang pemilu kali ini dibikin terpana. Belum pernah dalam sejarah politik Amerika rakyat dapat becermin telanjang menatap realitas politik mereka dengan sejujur-jujurnya. Gambar diri itu begitu jujur, biarpun sesaat mereka bisa tersipu menengok ketidaksempurnaan wujud bayangan itu, gambaran tentang kampiun demokrasi yang menjadi self image Amerika selama ini. Ternyata, toh tidak sempurna: benjol, ceung, dan beberapa sisinya rapuh pula. Tetapi bayang itu tetap tegak berdiri, seperti bopengnya patung Liberty d pulau karang dekat Manhattan, atau rapuhnya penjara Alcatraz, yang kini ditutup. Demokrasi itu ternyata juga sebuah ilusi. Bayangan Amerika memilih pemimpinnya melalui cara demokratis tentu akan menghasilkan putra terbaik dari negara perkasa itu. Pemimpin yang memenuhi sebanyak mungkin kriteria kebajikan. Teguh pendirian, menegakkan panji-panji Amerika, personifikasi jagoan, kampiun kekuatan dunia, dan "persetan apa kata mereka, yang yenting kerja terlaksana". Itulah gambaran kepahlawanan, hero budaya Amerika. Seperti the Lone Rangers, Dirty Harry, atau Indiana Jones, dan the Six Million Dollar Man. Ronald Reagan memenuhi impian itu. Bahkan secara bertahuntahun kariernya di Hollywood menancapkan gambaran ala John Wayne yang perkasa - pukulannya ampuh - mengasak semua musuh tanpa banyak cingcong. Topi cowboy, naik kua, melabrak di mana ada perkara. Itulah jagoan Amerika. Karena itu, tidak heran mayoritas publik Amerika mengacungkan jempolnya untuk Reagan. Baik mereka yang pro maupun yang kontra kebijaksanaannya. Kaum intelektual, generasi liberal gemblengan Kennedy yang mencanangkan rasionalisme politik, yang mengandalkan kemampuan analitis dan melihat jauh ke depan, ternyata habis disapu romantisme politik Amerika: The Yankee Romantism. Pers dan intelektual Amerika dibikin tak berdaya oleh arus opini publik dan sentimen publik semacam itu. Mereka mengalah, berekonsiliasi supaya tidak mengecewakan publik Amerika. Media massa Amerika, karena alasan selera publik dan pembaca korannya, menonjolkan sisi impian tentang Reagan. Sisi realitas, sisi rasionalisme, sisi akal sehat diedit, disensur. Bahkan banyak pers Amerika tak malu-malu menyembunyikan. Betapa Reagan tak menguasai masalah pemerintahan - khususnya politik luar negeri. Betapa ia kurang sekali membaca pengetahuan umum yang paling elementer tentang Amerika Latin, Arika, bahkan Asia - sering terbukti keluar ucapan konyol di depan publik. Betapa ia suka bangun siang, kurang tekun bekerja, dan sebagainya. Semuanya tidak menggoyahkan acungan jempol publik Amerika untuk jagonya ini. Sepeninggal John dan Bob Kennedy, Partai Demokrat kehilangan pesona kepemimpinan. Adiknya, Ted, bukan tandingan kedua kakaknya itu: kecerdasan, obsesi cinta Amerika dan artikulasinya, termasuk selera tinggi kehidupan pribadinya. Begitu pula pemimpinpemimpin dari Partai Demokrat lainnya. Walaupun generasi politik gemblengan John Kennedy yang meniti karier dari jalur Peace Corps kemudian aktivis dan lobby di Senat dan Kongres banyak jumlahnya, mereka terlalu pintar, terlalu senus, dan terlalu jujur untuk berpolitik di Amerika. Karena itu, tidak menghasilkan pesona. Calon penantang Reagan dalam pemilu November 1984 nanti ialah Walter Mondale. Wakil presiden zaman Jimmy Carter ini bertampang cakap, tampak pemalu. Biarpun pengalamannya luas, posturnya memungkinkan dibangun citra kepahlawanannya, ia kalah sejarah. Ia bukan bintang film, sehingga kurang dikenal sey image-nya. Orang kedua sesudah Carter ini antisipasi politiknya konvensional. Yaitu menarik pemilih si lemah, si tertindas, si hitam, si hispanik (keturunan Spanyol), dan si buruh kasar. Mondale didukung aset politik yang jempolan dalam kubu rasional politik Amerika. Romo Jesse Jackson, yang melejit jadi kandidat presiden, dari kaner pohtlk yang nol - karena pintar dan kharismanya. Mario Como, gubernur New York yang pintar, berwibawa dengan dan posturnya tinggi besar. Juga wali kota diplomat dan tokoh kontroversi pemberani yang ganteng si hitam Andrew Young, pohtlsl Amerika pertama yang punya ke eraman moril mendekat negara Arab dengan sikap bersahabat dan berusaha mengerti, menggempur apartheid di Afrika Selatan dan ceplas-ceplos ucapannya terhadap isu kontroversial saat dia jadi dubes AS di PBB. Tetapi faktor yang paling menggetarkan kubu Partai Republik ialah keputusan Mondale untuk memilih calon wakil presidennya Geraldine Ferraro. Anggota Kongres dari New York ini memang belum banyak dikenal oleh publik politik Amerika. Tetapi ia wanita, bernama keluarga hispanik, cakep, ramping, kaya, dan berpidato manis. Pemilih wanita Amerika dibikin tersentak oleh fenomen Ferraro ini, dan terpaksa merenung. Memang sebagian kemudian segera skeptis, tetapi bagian cukup besar publik pemilih Amerika menganggap, memilih atau tidak memilih wakil presiden wanita pertama dalam sejarah Amerika merupakan soal serius. Bukan main-main. Dan calonnya bukan sekadar token seperti dituduhkan Reagan. Kedua kubu sama-sama menyiapkan platform kampanye. Umumnya yang penting ada beberapa isu pokok. Soal defisit anggaran belanja dikaitkan dengan bunga bank yang mencekik. Soal perang atau damai, khususnya dalam soal perundinan pembatasan persenjataan dengan Uni Soviet, campur tangan di Amerika Selatan, dan penarikan pasukan Amerika dari Libanon. Soal kenaikan pajak untuk menutup defisit dan menaikkn jaminan sosial bagi si miskin. Kedua kubu sama-sama menyiapkan strategi kampanye. Negara bagian mana, digarap siapa, dan dengan pendekatan apa. Berapakali berdebat di depan umum antara kedua calon presiden, boleh & bisiki atau tidak. Floknya politik Amerika itu, biar bagaimanapun kenyataan persepsi politik publik, pemilu dijalankan sungguh-sungguh. Tidak ada curang-curangan. Budayanya relatif lebih sportif dan jujur. Tidak ada kesan memelihara, memupuk dan mengembangkan kebudayaan menipu diri sendiri, karena percaya diri dan percaya pada sistem demokrasinya. Tidak ada partai yang mempunyai target harus menang mutlak. Malahan secara terbuka publik politik Amerika termasuk tokoh-tokohnya yang berkeyakinan - dan keyakinan itu diucapkan dan dilaksanakan - bahwa sistem demokrasi yang sehat ialah demokrasi yang tidak memungkinkan suatu pihak menang secara mutlak. Sebab, kemenangan mutlak itu akan melumpuhkan sistem check and balarce yang menjadi esensi berfungsinya sistem demokrasi mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini