Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mengapa Orang Jawa Malas

Penelitian tentang cara pengobatan penyakit akibat cacing tambang. standar WHO ternyata salah. (ksh)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan lalu, sebuah penelitian tentang cara pengobatan penyakit akibat cacing tambang diuji di Universitas Airlangga, Surabaya, diajukan Koesdianto Tantular yang meraih gelar doktor. Selama ini, menurut Koesdiato, pengobatan massal yang dilakukan dianggap terlampau sering tanpa memperhitungkan reinfeksi itu. Ini sering mengakibatkan penyakit itu kebal. Maka, ia berusaha mencari penode pengulangan yang tepat bagi pengobacan massal dengan antara lain mempelajari sifat penyebaran penyakit, jumlah penderita pada suatu saat, dan intensitas infeksi. Penyakit akibat cacing tambang di Indonesia sebenarnya tldak tercatat sebagal penyakit yang mewabah. "Itu penyakit parasit - yang bukan wabah," ujar dr. Adhyatma, Dirjen P3M Depkes, yang mengaku tahu disertasi dr. Tantular tapi belum membacanya. Kendati begitu, Depkes melalui aparat daerah melakukan pengobatan massal di daerah-daerah endemis (penyebaran lokal) tertentu. Cara pengobatan Depkes yang digunakan adalah standar WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang oleh Koesdianto dianggap terlalu sering itu. Dari penelitiannya, Koesdianto Tantular yang tidak percaya pada standar WHO itu menemukan penyakit cacing tambang cukup meluas di Ja-Tim. Di daerah tertentu, prevalensi (jumlak penderita) antara 60% dan 90%. "Dari tes pertama saja segera bisa dilihat, dari 10 penduduk yang diperiksa, 9 menderita penyakit cacing tambang," katanya Ia khususnya menehtl penduduk di daerah perkebunan kopi di timur Jember dan Desa Karangbinangun, Lamongan. Meluasnya penyakit cacing tambang, menurut Koesdianto, tak blsa cuma dihitung tingkat intensitas infeksi, tapi harus diperhitungkan pula akibat penyakit itu yang menahun. Misalnya bisa berakibat pada darah: turunnya kadar butir-butir darah merah (Hb). Gejala ini berakibat pula bahwa orang yang kejangkitan tampak lesu dan tidak produktif. "Ini sebabnya dulu Belanda bilang, orang Jawa malas," ujar dokter itu. Koesdianto, dari penelitiannya, menemukan cara pengobatan dengan periode 19 bulan. Sedangkan obat yang dipakai adalah tablet thiabendazole yang masih perlu diimpor, dan obat anemia yang sudah dibuat Bio Farma. Promotor Koesdianto, Prof. Sri Oemiati, guru besar parasitologi UI, mengutarakan bahwa cara yang ditemukan Koesdianto sudah tepat. "Pemerintah patut menyambut saran-sarannya," kata parasitolog itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus