Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=#FF9900>Terawan Agus Putranto:</font><br />Saya Dianggap Dukun

3 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diskusi di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Selasa siang pekan lalu, berlangsung serius. Di depan lebih dari 20 dokter, sebagian di antaranya guru besar kedokteran, Kolonel Corps Kesehatan Militer Dokter Terawan Agus Putranto, spesialis radiologi, dimintai pendapat tentang radiologi intervensi yang selama ini ditekuninya.

Pria kelahiran Sitisewu, Yogyakarta, 5 Agustus 1964, itu terlihat tenang. Dia yakin, praktek yang dijalaninya bisa dipertanggungjawabkan, termasuk dari sisi medis dan akal sehat. "Awalnya serius," ujar Terawan. "Tapi, setelah saya jelaskan, suasananya menjadi santai, bahkan ketawa-ketiwi." Dalam pertemuan sekitar dua jam itu, tentara aktif yang juga alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu menjelaskan praktek yang ia jalankan selama ini.

Dokter yang belajar radiologi intervensi di sejumlah pusat kesehatan—seperti Fujita Health University Nagoya, Jepang, Bundang Hospital Seoul National University, Korea Selatan, dan Foch Hospital, Prancis—ini yakin sudah berada di jalur yang benar. Anggota tim dokter kepresidenan ini senang saat pertemuan di FKUI-RSCM berakhir dengan tawa dan senyum, happy end.

"Bagus, dong," kata Profesor Teguh A.S. Ranakusuma, dokter spesialis saraf FKUI-RSCM, yang mengikuti pertemuan, kepada Tempo, Kamis sore pekan lalu. Praktek yang dilakukan Terawan dan timnya dinilai bermanfaat untuk menekan insiden stroke yang kian menggila di Tanah Air. "Stroke merupakan pembunuh nomor satu," Teguh menambahkan.

Terawan menduga, pertemuan di FKUI-RSCM tak lepas dari heboh ihwal metode "cuci otak" yang ia kembangkan bersama timnya di RS Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta. Dengan bantuan alat pemindai digital subtraction angiography, keahliannya di bidang radiologi intervensi telah membuat ratusan bahkan ribuan orang yang mengalami masalah di pembuluh darah, termasuk stroke, dapat ditolong.

Salah satu pasien yang telah diselamatkan adalah dedengkot sekaligus vokalis grup Panbers, Benny Panjaitan. Musisi itu menjalani "cuci otak" pada akhir Juni lalu dan sehari kemudian sudah bisa berjalan. Sebelumnya, Benny lumpuh selama setahun lantaran stroke (Tempo edisi  27 Juni-3 Juli 2011). Kabar keberhasilan itu segera beredar secara berantai lewat surat elektronik dan BlackBerry Messenger. Sebagian orang masih tak percaya dan menganggap berita tersebut hoax alias palsu. 

"Saya pernah dianggap dukun," kata Terawan, yang mengambil spesialisasi radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, ini sembari tertawa. Untuk menjelaskan metode yang ditekuninya, Senin pekan lalu, Terawan memenuhi undangan Tempo untuk berdiskusi tentang penanganan stroke tanpa operasi.

Diselingi santap malam ala Tempo dengan menu nasi bakar, daging, dan tahu goreng, diskusi selama dua jam itu berlangsung akrab. Komentar Terawan sesekali mengundang tawa. Dia berhasil membumikan istilah medis agar lebih dimengerti orang awam. Wawancara tambahan dilakukan di sela-sela Terawan melakukan intervensi di rumah sakit tempatnya bekerja Kamis pekan lalu.

Mengapa Anda tertarik menekuni radiologi intervensi?

Kalau bisa menguasai pembuluh darah, kita bisa menuju ke organ mana saja dalam tubuh yang bermasalah. Bagi pasien yang bermasalah dengan pembuluh darah di otak, seperti stroke atau aneurisma, seorang radiolog intervensi bisa menjangkau langsung ke daerah tersebut untuk mengatasi penyebabnya. Tentu, tindakannya sangat bergantung pada gangguan yang dialami pasien. Jika ada pembuluh darah yang tersumbat, dibuang sumbatannya agar aliran darahnya kembali normal. Sebaliknya, jika ada yang bocor, ditambal. Atau, kalau ada yang menyempit, ya, bagaimana melebarkannya. Prinsipnya, seperti tukang ledeng....

Radiologi intervensi juga efektif untuk menangani kanker?

Dalam pengobatan tumor atau kanker, intervensi membuat kita bisa mencari pembuluh darah yang paling banyak memberi makan pada sel-sel abnormal tersebut. Setelah ketemu, di situlah obat antikanker diberikan, sehingga efeknya terlokalisasi hanya pada sel tumor tersebut dan tidak mengenai sel lainnya yang sehat. Untuk terapi kanker payudara, misalnya, ya langsung ke pembuluh darah di payudara yang memasok makanan ke sel-sel tersebut. Kalau mau makan, nih kuberi makan obat, begitulah kira-kira. Metode ini dikenal dengan trans-arterial chemo infusion.

Apakah radiologi intervensi selalu bisa tepat sasaran di tempat yang bermasalah?

Keberhasilan intervensi sangat bergantung pada masuknya kateter sehingga tepat ke sasaran. Kalau salah, ya, kateter harus dicabut dan dipindahkan ke sasaran yang benar. Tindakan intervensi biasa kita lakukan dengan memasukkan kateter mikro ke pembuluh darah di pangkal paha (arteri femoralis), terus masuk hingga menuju pembuluh darah yang mengalami kelainan.

Apa yang membuat sejumlah pasien Anda, seperti Benny Panjaitan, bisa kembali berjalan padahal sebelumnya lumpuh akibat stroke?

Pada otak orang yang terkena stroke, ada core (bagian yang sudah mati) dan penumbra (di sekitar core, tapi masih setengah mati). Berapa lama penumbra bertahan, tak seorang pun tahu. Bisa saja dalam hitungan jam atau malah tahun. Daerah yang sudah mati sudah susah diotak-atik. Tapi bagian penumbra masih terbuka kemungkinan untuk dihidupkan. Nah, bila intervensi berhasil menghidupkan penumbra, ia bisa menggantikan fungsi-fungsi otak yang selama ini mati. Itu sebabnya, kenapa ada orang yang bisu kemudian jadi bisa bicara, atau dari buta bisa melihat.

Apa yang terjadi pada kasus Benny?

Dalam sejumlah kasus, seperti Benny, penyumbatan atau ketidaklancaran di pembuluh darah otak yang menyebabkan kelumpuhan bisa dibereskan dengan penyemprotan cairan khusus (brain flushing). Maka dia bisa berjalan kembali. Sebab, aliran darahnya kembali normal. Itulah kenyataannya, itu rezeki dia

Jika pasien yang sudah lumpuh lama bisa membaik, bagaimana dengan pasien stroke yang ditangani dalam masa emas (golden period), yakni 3-6 jam setelah serangan?

Jika penanganan secepatnya dilakukan, tentu hasilnya akan lebih baik. Kalau tindakan dilakukan pada masa golden period, pasien yang tadinya lumpuh bisa langsung bangun, seperti tidak terjadi apa-apa. Sebab, pasti belum jadi core di otaknya, semuanya penumbra. Yang tidak enak, dokternya lalu dianggap sebagai dukun. He-he-he....

Apa iya, Anda dikira dukun?

Tak hanya itu, saat mengembangkan ilmu ini, bahkan sampai keluar anggapan bahwa saya mengembangkan ilmu setan. Semula memang tidak masuk akal, tapi saya jalan terus. Semula cuma 1-2  orang yang mengalami perbaikan sehingga dianggap kebetulan. Lha, sekarang sudah ratusan orang mengalami hal serupa, gimana tuh...?

Sekarang masih banyak pro-kontra atas metode yang Anda kembangkan?

Bagi saya, pro dan kontra itu hal biasa. Dalam hidup, jangan menginginkan untuk bisa memuaskan semua orang. Itu tidak mungkin. Orang tak percaya, ya, bukan masalah. Tapi nantinya saya tetap ingin membantu orang banyak dengan metode intervensi radiologi. Jujur, jika melihat pasien setelah ditangani langsung baik, lega sekali rasanya. Yang penting, saya harus bekerja tulus, itu pedoman hidup saya. Makin tinggi saya, maka saya merasa paling rendah karena harus melayani mereka yang paling bawah.

Dari kasus stroke yang Anda tangani, adakah kemungkinan pasien memiliki kemampuan otak yang lebih bagus setelah menjalani "cuci otak"?

Bisa saja, terutama yang pelupa. Memang ini kontraindikasi berat, tidak boleh sama sekali dilakukan pada orang yang utangnya banyak, he-he-he….  Lha, saya menolong memperbaiki otaknya, tapi malah nanti matinya ngenes (menderita), karena teringat utang-utangnya. Tapi ini benar adanya. Ada pasien yang tadinya tidak ingat masa lalunya, eh, jadi ingat. Atau sebelumnya lupa nama ini-itu, lalu jadi ingat. Jadi, dalam hal tertentu, kemampuan otaknya menjadi lebih baik setelah menjalani "cuci otak".

Butuh berapa lama untuk melakukan tindakan intervensi radiologi?

Sangat bergantung pada tingkat kesulitannya. Ada yang cuma satu jam, tapi ada juga yang sampai empat jam. Bahkan terkadang bisa jauh lebih lama dibanding operasi pembedahan. Saya pernah menjalani tindakan intervensi radiologi hingga tujuh jam karena memang sulit sekali kasusnya.

Untuk menjalani tindakan intervensi radiologi, apakah pasien perlu dibius?

Tidak perlu. Bahkan pasien bisa melihat bagaimana kita bekerja, termasuk melihat bagaimana kateter masuk ke tubuhnya. Salah satu keuntungan tidak adanya bius pada pasien, kita bisa memonitor jika ada kecelakaan kerja. Misalnya, pasien tiba-tiba menjadi koma, itu berarti ada kecelakaan kerja. Atau, pasien tiba-tiba menurun kondisinya, itu berarti ada kecelakaan kerja. Nah, kalau pasien dibius, kita kan tidak tahu kondisinya.

Selain kisah keberhasilan, adakah kasus yang tak bisa Anda tangani atau gagal?

Ada juga yang gagal. Tapi, sebelum saya lakukan tindakan, saya ungkapkan berbagai kemungkinan yang muncul tersebut kepada keluarga pasien. Misalnya, kemungkinan tindakan intervensi gagal karena kondisi pembuluh darahnya sudah seperti (kepala) Mickey Mouse, yakni sudah ada dua benjolan yang tinggal menunggu waktu untuk pecah. Jika tidak dilakukan intervensi, kemungkinan pembuluh darah tersebut pecah jelas ada. Risiko serupa bisa terjadi saat diintervensi. Tapi ada kemungkinan perbaikan bila intervensi tersebut berhasil. Jadi, sejak awal, kita harus jujur memberi tahu berbagai kemungkinan yang terjadi kepada pasien atau keluarganya. Untuk kasus seperti ini, baru mau dimasuki kateter, ternyata pembuluh darahnya sudah pecah. Ya, saya bilang, "Goodbye...."

Bisa diceritakan hal-hal menarik selama menjalankan tindakan intervensi radiologi?

Ada banyak kisah menarik. Semua terjadi karena ada rekaman tindakan dan disaksikan oleh keluarga pasien. Salah satunya, ada kasus koil yang lari saat hendak dipakai untuk menyumbat pembuluh darah yang bocor. Ya, kita bilang ke keluarganya, "Maaf, koilnya lari...." Saat itu keluarga pasien minta agar koil tersebut diambil. Kita sempat maju-mundur, diambil-tidak, diambil-tidak.... Akhirnya, kita tidak mengambil koil itu, tapi kita otak-atik sehingga koil yang mestinya untuk menyumbat pembuluh darah kita jadikan terowongan. Ternyata hasilnya bagus. Sudah dua tahun berlalu dan kondisi pasien tetap baik. Yang namanya tukang bengkel, ya, harus banyak akal....

Kok, koil tersebut bisa lepas?

Saat itu saya pakai koil buatan Cina. Sebab, sudah tak ada lagi koil di Indonesia. Koil dari Singapura atau Filipina, kita pula yang menghabiskan. Adanya tinggal koil Cina, ya, kita pakai koil tersebut. Koil Cina lebih murah dibanding koil dari negara lain, seperti Amerika. Selisihnya bisa Rp 5 juta per koil. Lha, kalau pakainya 10 koil, kan selisihnya lumayan. Tapi, itu tadi, kita sampaikan berbagai kemungkinan yang terjadi kepada keluarganya, termasuk soal koil yang lari.

Apa pertimbangan Anda mengizinkan keluarga pasien melihat dari balik kaca ruang tindakan, juga lewat layar monitor, saat menjalankan intervensi?

Kita bekerja tidak main-main, dan kita berikan kesempatan kepada pasien dan keluarganya untuk melihat semuanya. Menurut saya, inform concern—surat persetujuan untuk dilakukan tindakan medik— yang benar, ya, seperti itu. Hal seperti ini hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika, Jepang, atau Singapura, tidak boleh ada keluarga yang melihat tindakan yang dilakukan dokter. Tahunya, begitu tindakan dokter rampung, keluarga bilang terima kasih, tanpa tahu apa yang telah dilakukan dokter tersebut bersama timnya. Kita berbeda. Kita berikan kesempatan kepada keluarganya untuk melihat, apakah dokter kerja bener atau guyon saja. Kelihatannya, dunia akan meniru kita.

Apa hikmah di balik kehebohan soal intervensi radiologi yang Anda terapkan pada pasien stroke?

Kehebohan itu membuat banyak pihak tersadar akan bahaya stroke. Saat ini kematian mendadak akibat stroke melonjak tajam, bahkan stroke menjadi penyebab kematian nomor satu. Sebab itu, perlu dipikirkan caranya agar orang beramai-ramai sadar akan bahaya stroke. Dulu, berkaitan dengan upaya menekan risiko penyakit jantung, ada senam jantung sehat dan sebagainya. Tidak ada salahnya jika dipikirkan perlunya olahraga tertentu untuk menurunkan risiko stroke.

Kabarnya, atasan Anda sempat tak setuju atas keputusan Anda menghadiri diskusi dengan para dokter di RSCM?

Pimpinan rumah sakit tempat saya bekerja sempat menanyakan keputusan saya menghadiri diskusi tersebut. Tapi saya bukan laki-laki yang tinggal glanggang colong playu (meninggalkan arena dan kabur laiknya pengecut). Saya selalu siap menghadapi apa pun persoalannya. Hal serupa pernah saya alami pada 2006, saat saya mengembangkan TACI (trans-arterial chemo infusion) untuk menangani kanker. Saat itu saya masih mayor. Saya datang sendirian ke RS Kanker Dharmais, Jakarta. Hasilnya, separuh peserta pertemuan setuju, separuhnya lagi tidak. Tiga bulan kemudian, Dharmais mengirim pasien ke saya, konsul. Ini kenyataan ilmu pengetahuan, kok. Sekarang seluruh daratan Cina sudah melakukan metode TACI. Juga Philadelphia, Amerika Serikat.

Apa saja mimpi Anda sehubungan dengan teknik intervensi radiologi dan penanganan masalah otak?

Saya ingin Indonesia punya pusat serebrovaskular—penyakit yang berkaitan dengan disfungsi otak akibat ada masalah di pembuluh darah otak. Kalau yang lain tidak mau, ya, RSPAD saja yang jadi pusat serebrovaskular. Tujuannya untuk riset, pengembangan, dan penanganan yang tepat terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan pembuluh darah di otak.

Kol. CKM Dr Terawan Agus Putranto, SpRad
Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 5 Agustus 1964 Pendidikan: Fakultas Kedokteran UGM, 1983 l Sekolah Perwira Militer Sukarela, 1988-1989 l Pendidikan Militer II, 1993 l Sekolah Lanjutan Perwira I, 1995 l Sekolah Lanjutan Perwira II, 1998 l Spesialisasi Radiologi di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 2000 Pekerjaan: Dokter Batalion 742, Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 19990-1992 l Wakil Kepala Rumah Sakit Tingkat IV Mataram, Lombok, 1993-1998 l Kepala Perawatan Kedaruratan Rumah Sakit Pusat Pendidikan Kesehatan TNI AD, 1999 l Kepala Sub-Instalasi Anestesi RSPAD Gatot Soebroto, 2008 l Kepala Sub-Instalasi Radiologi RSPAD Gatot Soebroto, 2010 l Staf medis fungsional Gol IV Radio Nuklir RSPAD Gatot Soebroto, 2011. l Anggota Tim Dokter Kepresidenan, 2009-sekarang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus