Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAIMANA arah politik Indonesia di masa depan? Pertanyaan ini mengemuka di masa pergerakan menuju kemerdekaan. Bung Hatta memberi jawaban dalam artikel “Ke Arah Indonesia Merdeka” pada 1932 dengan uraian tajam yang menusuk kaum konservatif era itu. Arah tujuan Indonesia merdeka, bagi Bung Hatta, adalah prinsip kerakyatan (demokrasi) yang menegaskan kesetaraan dan kebangsaan yang berpusat pada rakyat, bukan semangat kebangsaan keningratan yang kembali ke era kerajaan dengan hierarki suatu kaum di atas lainnya ataupun kebangsaan-intelek yang kaum inteleknya berada di atas rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebangsaan-kerakyatan dan demokrasi adalah dua prinsip yang ditandaskan Bung Hatta sebagai arah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Spirit Bung Hatta 92 tahun lalu itu kita saksikan dalam demonstrasi di gedung Dewan Perwakilan Rakyat membela putusan Mahkamah Konstitusi untuk mencegah Indonesia masuk jurang dinasti politik. Putusan MK yang hendak dibegal DPR itu terkait dengan penurunan ambang batas dari partai politik untuk mencalonkan kandidat kepala daerah ataupun batas usia pencalonan kandidat kepala daerah. Demonstrasi itu mencoba menutup pintu terhadap rezim otoritarian yang berpusat pada segelintir elite dan satu keluarga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seiring dengan demonstrasi itu, kita menyaksikan benturan narasi yang pernah dilukiskan Bung Hatta sembilan dekade lalu. Benturan hadirnya narasi kebangsaan-kerakyatan versus kebangsaan-keningratan. Narasi kuat kebangsaan-kerakyatan kita saksikan pada orasi aktor Reza Rahadian yang menegaskan dengan lantang: “Apabila Mahkamah Konstitusi melakukan perbuatan yang hendak mengembalikan nobility (kemuliaannya), hari ini mendapat kenyataan hal itu hendak dianulir oleh anggota DPR. Maka Anda yang ada di dalam gedung ini mewakili siapa? Ini bukan negara milik keluarga tertentu!”. Dalam seruan Reza kita mendengar pembelaan terhadap demokrasi konstitusional, suara yang menolak corak republik kita berubah menjadi negara yang diperintah oleh segelintir orang bahkan keluarga dinasti seperti zamannya kuasa kaum ningrat.
Kontras dengan suara Reza, kita juga menyaksikan suara kumuh berbasis narasi kebangsaan-keningratan yang diwakili oleh elite utama Partai Golkar, yakni Bahlil Lahadalia, pada saat pelantikannya sebagai ketua umum partai itu ketika dia mengingatkan para kadernya agar “tidak main-main dengan Raja Jawa apabila tidak mau celaka”. Bahlil menyebarkan ketakutan, menyerukan ketundukan kepada sang pemimpin. Di sini kita menyaksikan dengan vulgar suasana yang lumrah terjadi di negeri despot feodalistik atau monarki-otoritarian: kawula harus menyembah dan raja yang ditakuti sebagai sesembahan.
Suara Bahlil tentang “Raja Jawa” dengan situasi ketakutan yang diutarakannya seakan-akan mengagetkan. Namun, apabila kita saksikan perjalanan Indonesia ini yang pelan-pelan menuju kerajaan dengan kemasan republik, pernyataan Bahlil itu wajar belaka. Corak politik Indonesia dalam hampir sepuluh tahun terakhir perlahan menjelma menjadi negara despotik. Seperti diutarakan John Keane, dalam The New Despotism (2020), gejala tumbangnya demokrasi di berbagai negara dunia (Turki, Hungaria, Filipina, Rusia) berlangsung saat pemimpinnya tergoda memanipulasi birokrasi dan mempolitisasi hukum untuk mengancam bekerjanya supremasi hukum dan keseimbangan kuasa dalam demokrasi. Semua perubahan itu mendapatkan dukungan luas dari khalayak dengan kecanggihan penguasa membangun hegemoni melalui sarana-sarana dunia digital.
Mengapa situasi kegelapan politik-hukum ini terjadi? Kondisi sosial apa yang mendorong Indonesia menuju tirani despotik dengan relatif lancar? Filsuf-psikoanalisis Erich Fromm, dalam Escape from Freedom (1941), menerangkan kemunculan pemimpin tirani seperti masyarakat Jerman sebelum Perang Dunia Kedua di bawah Hitler. Menurut Fromm, Jerman masa itu mengidap problem psikologis lari dari kebebasan. Ketika krisis sosial-ekonomi tak tertanggungkan, dan mereka kehilangan pijakan untuk memahami keadaan keluar dari masalah, mereka berpegang pada otoritas. Ketundukan pada otoritas secara total—dengan kepercayaan pemimpin baik tak akan bersalah—membuat penguasa mudah menjelma menjadi tirani yang berbuat sekehendak hati dan kepentingannya menundukkan aturan-aturan konstitusional dan demokrasi.
Ekonom Prancis, Thomas Piketty, dalam Capital and Ideology (2020), memberikan wawasan struktural penting bagi paceklik pendangkalan demokrasi saat ini. Menurut dia, ketimpangan ekonomi yang begitu dalam, investasi orang superkaya lebih besar dan lebih cepat daripada bergulirnya perputaran ekonomi produksi, telah mengempaskan kehidupan warga negara biasa yang mengakibatkan munculnya corak feodalisme baru.
Seiring dengan kondisi tersebut, proses mobilitas sosial hanya diakses secara lebih luas oleh segelintir keluarga kaya dan berkuasa. Berkebalikan dengan kondisi di atas, kelas menengah mengalami pemiskinan sosial (prekarisasi) dan orang miskin terjebak dalam kondisi kepariaannya. Institusi pendidikan yang selama ini dipercaya sebagai tempat berharap bagi tiap orang dan keluarga untuk mengejar kenaikan kelas sosial dengan bekerjanya sistem meritokrasi macet dan mengalami disfungsi sosial.
Dalam segenap krisis sosial dan kebingungan mereka terhadap keadaan ini, bibit-bibit ketundukan terhadap otoritas menyuburkan pola-pola relasi populisme berbasis kepatuhan terhadap kekuasaan dan pengingkaran terhadap demokrasi. Lari dari kebebasan dan demokrasi membuat masyarakat yang resah terhadap keadaan berlari memeluk sang despot yang menjanjikan ilusi kemakmuran dan ketertiban.
Dalam suasana yang perlahan-lahan menuju era despotisme seiring dengan meredupnya demokrasi, kita dikejutkan oleh gerakan sosial warga negara yang berhasil meledakkan aspirasi kesetaraan. Perlawanan warga dan gerakan mahasiswa yang sebagian besar di antaranya lapisan kelas menengah mengepung gedung DPR membela konstitusi. Demonstrasi ini adalah bentuk penyaluran kemarahan terhadap politisasi hukum dan penjegalan hukum. Ia bisa menjadi awal yang baik membuka harapan baru untuk mengembalikan demokrasi.
Harapan ini penting diteruskan dalam barisan dan pengorganisasian massa yang lebih luas dan lebih kuat, seperti yang dilakukan para pendiri republik seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Rasuna Said, S.K. Trimurti, dan Francisca Fanggidaej—nenek aktor Reza Rahadian—untuk menuju Indonesia berbasis kebangsaan-kerakyatan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo