KETIKA bulan Desember tahun lalu OPEC sepakat untuk menghentikan turunnya saham mereka dalam pasar minyak internasional, yang diputuskan OPEC tidak lain adalah untuk melaksanakan suatu perjudian. Kecuali Arab Saudi, anggota OPEC umumnya enggan melibatkan diri dalam perjudian itu -- tapi mungkin tidak mempunyai alternatif. Keengganan itu logis bila diteliti sifat perjudian itu. Peningkatan volume produksi, yang diprakarsai Arab Saudi permulaan tahun ini dan menjadi tanda perjudian dimulai, mendorong harga minyak untuk turun. Ini, pada gilirannya, diharapkan akan memaksa produsen minyak non-OPEC, khususnya Inggris, untuk bersama-sama mengendalikan produksi. Kini jelas, sebenarnya tak mudah diketahui sejauh mana harga harus turun agar Inggris menyerah, bila memang Inggris bisa ditundukkan. Inggris juga tidak tinggal diam Pernyataan tentang ongkos produksi Laut Utara, yang setiap kali semakin rendah, mungkin cuma gertak sambal. Tetapi perkembangan sejauh ini menunjukkan bahwa pernyataan itu tidak bisa dipandang enteng. Perjudian ini menjadi lebih pelik, karena sebelum Inggris bisa dibuat tunduk, mungkin OPEC sendiri terpaksa menyerah. Ongkos produksi antaranggota OPEC berbeda, sehingga produsen dengan ongkos tertinggi akan menderita lebih dahulu dan lebih berat, sedangkan tidak ada pengaturan untuk membagi beban kerugian itu. Tapi sumber masalah yang lebih besar adalah pembagian saham pasar antara anggota OPEC sendiri. Jadi, walaupun sebagai kelompok OPEC mungkin dapat mempertahankan atau meningkatkan saham pasarnya, anggota yang satu mungkin memperoleh keuntungan atas ongkos anggota yang lain. Kini belum jelas siapa yang kalah dan siapa yang menang. Berbeda dengan perjudian ala OPEC itu, ada jenis perjudian yang lebih mudah dapat diperkirakan kalah menangnya, yaitu yang disebut Porkas itu. Tetapi antara Porkas dan perjudian OPEC itu juga terdapat kesamaan: apa yang berlaku untuk keseluruhan tidak berlaku untuk masing-masing. Setiap orang yang ikut bermain dalam Porkas menganggap dirinya berjudi, tetapi permainan itu sebagai keseluruhan tidak dilihat sebagai perjudian. Mungkin, karena pihak yang menyelenggarakannya tidak akan pernah kalah. Pembicaraan, dan antisipasi, di masyarakat mengenai devaluasi dalam beberapa waktu belakangan ini, bila diteliti, juga mengandung unsur perjudian. Sifat perjudiannya juga menyerupai Porkas dan perjudian OPEC. Setiap orang yang mengantisipasi devaluasi, dan terlibat dalam kegiatan menukarkan rupiahnya dengan valuta asing, tidak menganggap dirinya berjudi, melainkan bersikap rasional. Namun, bila banyak orang melakukan kegiatan itu, maka akan tercipta suasana perjudian, yaitu antara masyarakat dan otoritas moneter. Seperti halnya dengan OPEC versus non-OPEC (Inggris), masalahnya adalah sejauh mana otoritas moneter sanggup bertahan. Bila dalam perjudian OPEC salah satu faktor penentu adalah ongkos produksi Laut Utara, dalam perjudian atas devaluasi ini salah satu faktor penentunya adalah besarnya cadangan devisa. Tapi, seperti juga dengan perjudian OPEC itu, ternyata ini pun tidak mudah dihitung karena melibatkan unsur gertak-menggertak yang ditujukan pada psyche masyarakat. Ada yang beranggapan bahwa jika tingkat pembelian dolar seperti pada minggu pertama Maret ini, otoritas moneter hanya bisa bertahan selama 7 minggu. OPEC terbukti telah meleset dalam perhitungannya Inggris tidak cepat dapat ditundukkan. Tapi ini bukan persoalannya. Devaluasi seharusnya tidak boleh menjadi akibat perjudian antara masyarakat dan otoritas moneter. Seperti secara implisit dinyatakan oleh Dr. Anwar Nasution, seorang ahli moneter, antisipasi mengenai devaluasi bukan masalah otoritas moneter. Antisipasi itu lebih banyak disebabkan oleh ketidakpastian dan ketidakjelasan yang bersumber pada berbagai faktor. Jadi, persoalannya adalah sebab antisipasi itu dan bukan antisipasi itu sendiri. Sebagai catatan, dapat ditambahkan bahwa masyarakat dapat menerjemahkan antisipasi itu dalam kegiatan nyata -- yaitu membeli dolar -- karena banyaknya rupiah yang tidak dimanfaatkan secara produktif. Dalam ketidakpastian, apa pun sebabnya, orang umumnya sukar untuk tahu bagaimana membaca perkembangan dengan baik. Maka, yang dijadikan pegangan adalah simple rules yang diperoleh dari pengalaman. Pada tahun 1983, penurunan harga minyak sebesar US$ 5 per barel diikuti dengan devaluasi, jadi dianggap logis bahwa penurunan harga minyak yang sampai sekarang sudah mencapai lebih dari US$ 10 per barel juga akan (harus) diikuti oleh devaluasi. Logika di atas tepat apabila faktor-faktor lain tidak berubah, tetapi jarang kita jumpai keadaan yang di dalamnya pengandaian ceteris paribus itu terpenuhi. Salah satu keadaan yang membedakan Maret 1983 dengan Maret 1986 adalah sifat penurunan harga minyak itu sendiri. Penurunan harga tahun 1983 dilaksanakan secara tegas oleh OPEC sebagai reaksi terhadap perubahan pasar, sedangkan proses penurunan harga tahun 1986 ini merupakan konsekuensi suatu perjudian. Mungkin karena perbedaan kedudukan, terjadi perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat mengenai penurunan harga ini. Pemerintah beranggapan bahwa penurunan ini sedikit banyak bersifat temporer. Artinya, dengan kemenangan OPEC dalam perjudiannya, semua produsen akan sepakat untuk mengatur produksi dan harga akan naik kembali walaupun pada tingkat yang lebih rendah daripada tahun 1985. Masyarakat, dengan keterbatasan informasi mengenai dinamika pasar minyak internasional, tidak mengerti mengapa pemerintah dapat bersikap optimistis. Persepsi yang berbeda itu jelas mempengaruhi cara pihak bersangkutan membuat perhitungan. Tetapi terlepas dari sementara tidaknya keadaan harga minyak dewasa ini, sebenarnya antara masyarakat dan pemerintah dapat dan harus dicapai kesepakatan mengenai cara menanggulangi penurunan harga minyak itu. Hanya dengan suatu kesepakatan dapat diciptakan suasana kejelasan dan kepastian. Andaikan harga minyak tetap pada tingkat US$ 15 per barel untuk satu tahun mendatang ini. Pengaruh pada neraca pembayaran pasti tidak kecil. Dalam RAPBN 1986/1987 diperkirakan transaksi berjalan (current accout) akan mengalami defisit US$ 2,2 milyar. Ditambah dengan pembayaran utang US$ 1,8 milyar, maka pembiayaan yang harus disediakan adalah US$ 4 milyar, yang diperkirakan akan diperoleh dari pemasukan modal. Bila harga minyak turun menjadi US$ 15 per barel (dan volume produksi tetap), maka defisit transaksi berjalan mungkin akan mencapai US$ 5,8 milyar. Pembayaran utang mungkin agak menurun, karena suku bunga pinjaman komersial menurun, mencapai US$ 1,3 milyar. Maka, pembiayaan yang harus disediakan adalah US$ 7,1 milyar. Bila pemasukan modal diperkirakan sebesar US$ 4 sampai US$ 5 milyar, suatu perkiraan yang bukan tidak masuk akal, maka sisanya US$ 2,1 milyar harus diambil dari cadangan devisa. Besaran ini sama sekali tidak menakutkan. Sebagai alternatif dari penggunaan cadangan devisa, devaulasi tidak jelas manfaatnya, baik terhadap arus barang dan jasa maupun terhadap arus modal. Pengaruh pada APBN tampaknya jauh lebih berat. Pada harga US$ 15 per barel dan volume produksi mendekati 1,6 juta barel per hari, penerimaan dalam negeri dari migas hanya akan mencapai Rp 6,5 trilyun, atau 58% dari perkiraan untuk APBN 1985/1986. Bila penerimaan lainnya, dan pengeluaran rutin, tidak berubah dari perkiraan RAPBN 1986/1987, maka tabungan pemerintah hanya berjumlah Rp 1,5 trilyun, atau 24% dari APBN 1985/1986. Selanjutnya, bila bantuan luar negeri sama seperti perkiraan RAPBN 1986/1987, maka dana pembangunan hanya mencapai Rp 5,1 trilyun, atau hanya 48% dari APBN 1985/1986. Dengan perhitungan di atas patut dipertanyakan sejauh mana pemerintah masih bersedia mengurangi anggaran pembangunannya. Apabila prinsip anggaran berimbang dipertahankan, ada anggapan bahwa kemungkinan devaluasi tidak tertutup. Simple rules tadi juga mengajarkan bahwa, seperti halnya dengan tahun 1983, bukan tidak masuk akal bila pemerintah mengambil tindakan devaluasi (antara lain) untuk menyelamatkan anggaran. Sejauh ini seharusnya sudah jelas bagi masyarakat bahwa pemerintah lebih bersedia merevisi anggaran daripada melakukan devaluasi. Sebab kali ini, berbeda dengan keadaan tahun 1983, lebih sukar dibuat argumen yang meyakinkan mengenai manfaat ekonomis dari devaluasi. Bahwasanya sikap pemerintah ini ternyata tidak sepenuhnya dipercaya oleh masyarakat merupakan masalah yang memerlukan tanggapan serius. Bila tidak, devaluasi yang memang tidak punya manfaat ekonomis itu mungkin saja terjadi, sebagai akibat situasi perjudian yang digambarkan tadi. Dalam perjudian seperti ini tidak akan ada pihak yang menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini