Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Merawat Bayi Lokal

Pemerintah menaikkan tarif bea masuk kain ban untuk melindungi industri lokal. 6 produsen ban anggota APBI terpaksa membeli kain ban lokal PT Branta Mulia. Akibat proteksi ini, Intirub kelabakan.(eb)

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INTIRUB, badan usaha milik negara penghasil ban, hampir kempis. Dan produksinya niscaya bakal berhenti jika, minggu ini, persediaan kain ban jenis nilon di gudangnya benar-benar habis. Minggu-minggu ini, usahanya menghasilkan ban dengan kain ban jenis rayon sudah dihentikannya -- karena persediaan bahan penolong itu sudah habis. Habisnya persediaan kain ban, tentu, tak akan terjadi kalau BUMN ini mau membayar bea masuk 40% untuk bahan penolong yang diimpornya itu. Tapi Intirub hanya mau membayar 5%, seperti berlaku selama ini, karena kenaikan bea masuk otomatis akan menendang harga jual bannya. Akibatnya bisa ditebak: kain ban tak bisa dikeluarkan dari Tanjungpriok, sementara persediaan di gudang makin tipis. BUMN ini menunjuk PT Branta Mulia, PMDN penghasil kain ban di Bogor, sebagai penyebab keruwetan. Pemerintah, mulai dua pekan lalu -- seperti disebut SK Menteri Perdagangan No. 79/Kp/III/86 -- memang menentukan bahwa impor kain ban hanya bisa dilakukan tiga persero negara. Dan, seperti model yang be!akangan berlaku, persero yang ditunjuk itu kemudian sama sekali tidak melakukan impor kain ban -- bahan pelapis ban luar yang memberikan bentuk, daya tahan, dan stabilitas. Jadi, penunjukan itu sifatnya hanya formalitas, sekadar menghindari tindakan balasan dari berbagai negara yang selama ini bisa menjual bebas kain ban di sini. Keputusan Menteri Rachmat Saleh itu, sepertinya, menyambut gayung Menteri Perindustrian Hartarto yang -- dua kali -- minta agar impor kain ban dikendalikan. Padahal, seperti diketahui, Departemen Perindustrian adalah "bapak" Intirub. "Kami sekarang rasanya sedang digiring untuk menggunakan kain ban lokal," kata seorang manajer puncak Intirub. Yang boleh dianggap aneh, kendati Menteri Keuangan Radius belum memutuskan kenaikan bea masuk kain ban dari yang berlaku 5% selama ini, mulai November 1985 lalu, Intirub sudah dipaksa membayar 40%. Padahal, seperti sudah diketahui, tarif 40% yang diusulkan pihak Branta Mulia ditolak mentah-mentah Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI). Kalaupun bea masuk akan dinaikkan, APBI cenderung tarifnya disesuaikan jadi 15% saja. Tarif bea masuk -- selain usaha mengendalikan impor dengan kuota -- hakikatnya merupakan instrumen efektif untuk melindungi industri lokal. Dengan menaikkan bea masuk, seperti juga dilakukan banyak negara industri, maka otomatis harga bahan penolong atau bahan baku impor bakal makin mahal. Bagi industri ban, kenaikan bea masuk kain ban dari 5% ke 15% akan menendang ongkos produksi dari 26% jadi 28%. Mau tak mau, harga ban kemudian harus dinaikkan. Tapi, dalam situasi loyo, siapa yang berani menaikkan harga ban? "Kami sudah terlalu banyak dibikin susah Branta Mulia," kata seorang pengusaha ban. Kedongkolan bertambah-tambah karena Branta Mulia dituduh tidak mampu menjual produksinya dengan harga bersaing Usaha yang dilakukan Grup Indocement ini, memang, memasang mesin dengan kapasitas 12 ribu ton setahun -- sementara kebutuhan lokal akan kain ban paling banter 8.000 ton. Jadi, jangan heran, untuk menutup biaya investasi raksasa, yang kelak bakal menelan Rp 92 milyar itu (baru 35% disetor), kain ban terpaksa dijual Rp 5.035 per kg. Jika didolarkan, harga Branta Mulia itu kira-kira US$ 4,7 per kg. Menurut Ibrahim Risjad, Direktur Utama Branta Mulia, tingkat harga itu sama dengan eks Jepang. "Dan semua pabrik ban lokal sudah menerima tingkat harga itu," katanya kepada wartawan TEMPO Budi Kusumah. Baru Goodyear yang, ternyata, mengambil kain ban dengan harga itu dalam jumlah besar. Disusul Bridgestone, dengan bersungut-sungut. Jangan heran kalau Goodyear membeli, karena pembuatan kain ban jenis nilon dari Citeureup itu sepenuhnya menggunakan teknologi Goodyear. Tingkat harga Rp 5.035 itu sendiri, tampaknya, merupakan sebuah pilihan terbaik bagi Branta Mulia untuk mencapai kompromi, sesudah sebelumnya produsen lokal ini kabarnya 'ngotot memasang Rp 5.750. Sementara produsen ban seperti Intirub bisa membeli ban eks Jepang USX 4,5, dan Gadjah Tunggal mendapat eks Korea dengan US$ 3,8 -- jika bea masuknya 5%. Akhirnya disepakati kain ban Branta disamakan harganya dengan eks Jepang. "Saya kira harga internasional kini tak akan lebih murah dari Rp 5.035 per kg," kata Sjahfiri Alim, Ketua APBI, dan Direktur Utama Goodyear. Sebuah perundingan cukup berat, tentu, harus dilewati untuk mencapai kesepakatan antara enam produsen ban anggota APBI dan Branta Mulia -- sebelum akhirnya kedua belah pihak menelurkan agreed minutes, November 1985. Di situ secara terbuka dinyatakan bahwa enam perusahaan ban anggota APBI pada saat ini umumnya bekerja dalam keadaan merugi. Dari tujuh juta kapasitas terpasang, tahun lalu, produksi mereka ternyata hanya 4,1 juta ban atau sekitar 58% dari kapasitas. "Karena pasar lesu," kata Sjahfiri Alim. Menyadari keadaan konsumennya itu, maka Branta Mulia akhirnya setuju untuk mempertahankan harga jual kain ban pada tingkat Rp 5.035, dan bersedia menjamin kelangsungan pemasokannya. Perubahan harga hanya bisa dilakukan jika kedua pihak menyepakatinya -- seperti adanya kenaikan kurs dolar dan yen yang digunakan untuk membiayai impor bahan baku pembuatan kain ban. "Kalau Branta Mulia mau memanipulasi harga, bisa saya cek ke para pemasok seperti Du Pont di Amerika," ujar Sjahfiri. Untuk sementara duel dua kepentingan itu bisa diredakan dengan agreed minutes yang sifatnya mengikat dan mempunyai konsekuensi hukum jika salah satu pihak cedera janji. Dan kini Branta Mulia sudah mulai bisa bekerja tenang menghasilkan kain ban, yang secara berangsur akan mencapai 400 ton per bulan, hingga Juni kelak bisa mengekspor. "Pokoknya, pabrik ban tidak usah takut, selama bahan baku kain ban tidak naik, kami juga tidak akan menaikkan harga," ujar Ibrahim Risjad. Toh, masih ada juga pabrik ban yang merasa terancam, kalau sewaktu-waktu Branta Mulia -- yang praktis menutup kesempatan investor lain masuk ke situ karena kapasitasnya sudah melampaui daya serap pasar lokal -- mempermainkan harga. Tapi, disukai atau tidak, swasta yang sudah telanjur menanamkan uangnya di industri hulu memang perlu dirawat -- tentu selagi masih bayi saja. EH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus