DEVALUASI! Sepatah kata itu seperti sebuah tembakan di arena balap mobil bagi orang-orang berduit untuk berlomba menubruk dolar, yen, mark, dan pound sterling. Hanya dalam waktu kurang dari dua minggu, uang kertas valuta asing (banknotes) bernilai ratusan milyar rupiah tersedot dengan cepat dari laci Bank Indonesia. Perpindahan uang melewati pelbagai tempat penukaran uang dan bank devisa di awal Maret itu tidak menimbulkan suara gemuruh, tapi iramanya cukup membikin waswas. Bayangkan, hanya karena harga minyak merosot lagi hingga mendekati angka US$ 12 per barel, orang kemudian dengan cepat berkesimpulan: devaluasi rupiah pasti dilakukan. Soalnya, ketika devaluasi 30 Maret 1983 dilakukan, harga minyak sebelumnya meluncur dari US$ 34 ke angka US$ 29. Apalagi saat penurunan US$ 5 itu, yang juga terjadi di bulan Maret, beberapa hari sebelum tutup tahun anggaran. Jadi, kalau harga minyak sekarang sudah turun pukul rata US$ 10 per barel, apakah tidak mungkin devaluasi dilakukan lagi? Tidak jelas bagaimana penyederhanaan kesimpulan itu kemudian berkembang, sebelum akhirnya meledak jadi sebuah rush kecil-kecilan. Hanya, yang pasti, kesalahan dalam mengambil keputusan sebagian masyarakat itu mengakibatkan transaksi devisa di Bursa Valuta Asing BI mendadak bagai kena setrum. Tanggal 7 Maret itu, peredarannya melompat mendekati angka US$ 75 juta, padahal sebelumnya rata-rata hanya US$ 45 juta. Tiga hari kemudian naik jadi US$ 86,7 juta, lalu mencapai puncaknya, 13 Maret, dengan jumlah peredaran US$ 120 juta. Naiknya transaksi devisa di bursa itu tampaknya, tidak sedikit pun bisa dipengaruhi oleh pernyataan Menko Ekuin Ali Wardhana dari Denpasar. Menjawab pertanyaan Suara Karya dan Sinar Harapan, 8 Maret itu, Menteri menegaskan bahwa pemerintah tidak akan melakukan devaluasi. Karenanya, orang nomor 1 di bidang moneter itu meminta agar masyarakat tenang-tenang saja. "Tidak akan ada apa-apa," tambahnya berusaha meyakinkan. Tapi orang tetap ingat pada hari-hari menjelang devaluasi Maret 1983 lalu dilakukan secara terbuka. Tanggal 16 Agustus 1982, di depan DPR, Presiden Soeharto mengatakan: pemerintah berpendapat dan menegaskan tidak perlu mengadakan devaluasi rupiah. Kata Kepala Negara, nilai rupiah terhadap mata uang asing akan tetap dibiarkan mengambang terkendali seperti sekarang. Juga Menteri Keuangan Ali Wardhana dalam wawancara khusus dengan TEMPO 27 November 1982, menyatakan, "Tak ada kebutuhan melakukan devaluasi lagi, karena rupiah sudah diambangkan." Namun, apa yang terjadi? Empat bulan kemudian rupiah toh didevaluasi 38% dari Rp 702,5 jadi Rp 970 untuk setiap dolar Amerika. Orang awam waktu itu banyak yang kaget, tapi tidak bagi kalangan berduit, yang sudah mulai menggedor pelbagai tempat penukaran uang sejak akhir Februari. Jadi, bisa dipahami, orang yang mengikuti turunnya harga minyak dari hari ke hari di koran-koran, pekan lalu, tetap tak terusir dari antrean panjang di pelbagai tempat penukaran uang -- sekalipun menteri kelas Menko Ekuin Ali Wardhana sudah angkat bicara. Buktinya, lihat saja, pelbagai bank devisa, yang belakangan ini agak seret menyalurkan kredit, mendadak bagai kejatuhan rezeki nomplok ketika harus melayani permintaan masyarakat akan valuta asing yang tiba-tiba melonjak. Sebuah bank swasta di Kebon Sirih, 10 Maret itu, dengan gampang melepas dolar sebesar US$ 20 juta. Sehari kemudian, lebih dari US$ 30 juta bisa dilepasnya secara mulus dengan harga sekitar Rp 1.135 untuk setiap dolar Amerika. Padahal, di hari-hari biasa, penjualannya tidak lebih dari US$ 10 juta sehari. Rem ternyata tetap sulit diinjak, sekalipun 10 Maret itu Gubernur BI Arifin Siregar dan Menko Ekuin Ali Wardhana menerangkan secara panjang lebar posisi benteng devisa pemerintah. Kata Gubernur Arifin, kurs rupiah dianggap sudah cukup realistis, dan devaluasi tak perlu dilakukan mengingat cadangan devisa sebesar US$ 10,7 milyar dianggap kuat untuk memenuhi kebutuhan impor (lihat Memamerkan Celengan Semar). Jika itu masih belum mencukupi, pemerintah masih punya pinjaman siap pakai (sandby loan) dari pelbagai sumber, sebesar US$ 2,558 milyar. Jumlah persetujuan pinjaman sebesar itu diperoleh secara sedikit demi sedikit, tanpa gembar-gembor dan kalau perlu bisa digunakan untuk memenuhi banyak kebutuhan. Karena itu, Gubernur Arifin, secara terbuka, menantang akan melayani berapa pun permintaan devisa oleh pengusaha dan anggota masyarakat. Tapi ada hal penting lain yang, mungkin, lupa dijelaskan: akibat menurunnya harga minyak terhadap APBN 1985-86 dan 1986-87 --sekalipun penurunannya bersifat temporer. Boleh jadi, soal realisasi sasaran penerimaan pajak migas tahun anggaran berjalan sebesar Rp 11.160 milyar sengaja tak disebut, untuk mencegah meledaknya permintaan valuta asing di masyarakat. Tidak disebutnya sisi itu, tentu saja, mendorong banyak orang partikelir lalu berusaha menghitung sendiri pengaruh turunnya harga minyak setiap dolar per barel, baik terhadap pot devisa pemerintah maupun sasaran pajak migas. Hasilnya memang sangat sederhana: penurunan setiap dolar akan menyebabkan berkurangnya devisa hampir US$ 1 juta, jika ekspor minyak digenjot ke angka satu juta barel sehari. Dari situ, kehilangan pajak minyak pemerintah kira-kira US$ 450 ribu setiap hari. Jadi, kalau harga minyak turun sampai US$ 10 per barel, hitung saja melesetnya anggaran itu. Lalu, kalau tidak dengan devaluasi, dari mana pemerintah akan mencari kekurangan rupiah itu? Hampir sebagian besar kalangan berduit di Jakarta, di luar dugaan, menganut kesimpulan seperti itu. Buktinya, sekalipun penjelasan Gubernur Arifin dan Menko Ali Wardhana sudah dimuat sebagai berita utama di pelbagai koran, antrean orang membeli dolar toh masih panjang. Bank Pacific, misalnya, 11 Maret itu, masih bisa menjual valuta asing US$ 7,5 juta lebih - padahal di hari-hari normal tidak lebih dari US$ 5 juta. Pembelinya ternyata bukan orang sembarangan. Tidak diperoleh angka pasti, berapa jumlah penjualan valuta asing di semua bank devisa dan tempat penukaran uang di hari-hari panas itu. Juga tak diketahui persis seberapa besar pihak bank sentra membuka kerannya untuk melayani permintaan banknotes itu. Yang sudah diketahui, banyak tempat penukaran uang di Medan, Jakarta, Bandung, dan Surabaya memetik banyak keuntungan dari naiknya transaksi penjualan valuta asing -- yang rata-rata bertambah 50% di atas permintaan normal. Secara berkelakar seorang pengamat ekonomi menyebut, rush kecil-kecilan itu, ternyata, berperanan cukup besar dalam menaikkan posisi kekayaan banyak bank devisa. Dan sekali ini Panin Bank membuat pukulan lumayan dalam melayani penjualan valuta asing itu. Bank swasta itu tidak kecele, seperti dialaminya tahun 1985 lalu, karena sebagian dananya ditanam dalam bentuk dolar. Sial baginya, sepanjang tahun itu, penguatan dolar ternyata tidak sebesar yang dibayangkannya. Kegiatan spekulatif semacam itu, seperti disebut Gubernur BI Arifin, memang menonjol tiga tahun terakhir ini. Tentu, banyak alasan bisa dikemukakan untuk menjelaskan mengapa kegiatan spekulatif itu cenderung menonjol: Orang mulai gemar membuat perkiraan. Padahal, "Dalam situasi seperti sekarang, tidak ada seorang gubernur bank sentral negara mana pun bisa mengetahui berapa kurs mata uang mereka besok," kata Dr. Anwar Nasution, dalam diskusi TEMPO. Krisis kepercayaan? Mungkin. Hilangnya sejumlah barang impor dari peredaran, menyusul suasana pemborongan dolar, agaknya bisa dijadikan ilustrasi. Banyak grosir dan pedagang eceran di Glodok, Jakarta, yang seperti tidak percaya terhadap penjelasan para pejabat moneter, hari-hari itu berusaha menahan barang mereka. Wajar agaknya usaha itu dilakukan karena, siapa tahu, sesaat barang impor dilepas, devaluasi benar-benar dilakukan. Tapi kalaupun barangnya kemudian 'nongol, harganya pasti sudah naik. Suasana mulai mendingin, sesudah 14 Maret itu, koran memuat pernyataan Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang menganjurkan agar masyarakat tak usah gelisah dan terus-terusan merengek menghadapi kesulitan ekonomi. Ia mengingatkan bahwa kesulitan akibat merosotnya harga minyak itu, sejak November lalu, sebenarnya sudah bisa dilihat. "Yang penting sekarang adalah apa yang bisa dilakukan untuk mengisi kekurangan penerimaan anggaran itu," katanya, selesai menghadap Kepala Negara. Untuk menenteramkan kalangan berduit agar tidak main tubruk dolar lagi. Prof. Sumitro menunjuk pada tebalnya benteng devisa yang dikuasai pemerintah. Jumlah devisa US$ 10,7 milyar itu dianggapnya cukup kuat untuk membiayai impor enam sampai tujuh bulan. Dan lagi, "Buat apa devaluasi, wong dolar sudah turun 30% setahun. Bagaimana ya masuk akalnya?" kata guru besar itu. "Gertakan yang kredibel" dari profesor itu, seperti kata seorang ekonom, tentu berpengaruh. Nilai dolar memang secara berangsur-angsur dipukul mundur, sejak gubernur bank sentral Inggris, Prancis, Jepang, dan Jerman Barat bertemu dengan Menteri Keuangan AS James Baker, 22 September 1985 lalu, di Washington. Sesudah Group of Five (G-5) itu bertemu, ternyata, hanya yen yang menguat secara mencolok di antara mata uang Eropa. Sampai pekan ini, nilainya sudah menguat hampir 27%. Jadi, kalau September lalu orang harus mengeluarkan 241 yen untuk memperoleh satu dolar, maka sekarang cuma 177 yen. Yang terjadi terhadap rupiah malah sebaliknya, mata uang kertas itu point demi point merosot nilainya terhadap dolar -- hingga awal Maret lalu, kurs tengah untuk pembelian devisa mencapai angka Rp 1.130. Pemborongan dolar lalu terjadi. Kata Subekti Ismaun, Direktur Utama Bapindo, gejala itu menunjukkan kurangnya kredibilitas rupiah kita. "Masalahnya sekarang bagaimana mengembalikan kepercayaan terhadap rupiah," katanya. Aneh tapi nyata, sesudah kritik Prof. Sumitro itu dimuat di pelbagai media massa, peredaran devisa berangsur menurun hingga 15 Maret lalu, transaksinya tinggal US$ 9,5 juta. Permintaan valuta asing di pelbagai bank devisa juga turun. "Nah itu, kalau begawan di bidang ekonomi sudah 'ngomong, orang baru percaya," kata seorang pengamat ekonomi. Turunnya kurs tengah dari Rp 1.130 jadi Rp 1.128 untuk setiap dolar Amerika berbarengan dengan dipublikasikannya pernyataan Prof. Sumitro, tampaknya, juga berperanan dalam meredupkan kegelisahan hati banyak orang. Sehari kemudian, kurs tengah itu turun lagi jadi Rp 1.126. Bagi kalangan awam, perubahan kurs tengah yang mempengaruhi harga jual dan beli banknotes itu, memang sulit diikuti. Bagaimana cara menetapkannya, hanya pihak yang mendapat masukan dari dealing room (tempat memantau transaksi pasar uang duma), yang mengetahui alasan dan perhitungannya secara persis. Memang, dibandingkan dengan rush besar-besaran menjelang devaluasi Maret 1983 lalu, demam rupiah barusan itu tak ada artinya. Jika Januari sebelumnya penjualan valuta asing dari BI saja hanya US$ 40 juta, maka selama Maret itu diduga mencapai akumulatif US$ 1 milyar. Kendati tidak besar, sikap masyarakat yang meningkatkan transaksi devisa dan pembelian dolar itu, agaknya, mencerminkan segolongan orang yang kira-kira menyetujui devaluasi perlu dilakukan. Tujuannya jelas: mengamankan sasaran penerimaan migas tahun anggaran berjalan. Kalau devaluasi dilakukan untuk mendorong ekspor, efektivitasnya diragukan Anwar Nasution -- sekalipun eksportir menyukainya. Sebab, di hampir semua lini, harga pelbagai komodltl nonmigas -- kecuali kopi yang naik gengsi gara-gara kegagalan panen di Brasil sedang jatuh. "Impor memang turun, tapi bukan secara alamiah, melainkan karena ada pengendalian dan kuota," katanya. Pemerintah sendiri kabarnya punya resep jitu untuk mengkompensasikan menurunnya rencana penerimaan migas 1986-87 yang dianggarkan Rp 9,738 milyar itu. Kata seorang pejabat ekuin, jika diperlukan, beberapa proyek Inpres masih ada yang bisa dikorbankan. Persetujuan bantuan proyek yang sudah ditandatangani sebesar US$ 12 milyar, bisa pula ditarik oleh pemerintah. Rupiahnya? "Diambilkan dari dana Siap yang carry over ke tahun anggaran berikutnya," tambahnya. Cara mengatasi seperti itu memang belum pernah diumumkan secara terbuka -- suatu hal yang sudah dimulai PM Singapura Lee Kuan Yew dalam mengatasi kesulitan d dalam negerinya. Juga tentang pandangan pemerintah dalam memperkirakan harga minyak sepanjang 1986-87. "Kalau dalam dokumen resmi seperti APBN dikatakan harga minyak akan berada di bawah US$ 20 per barel, dampaknya akan menyulitkan," tambahnya. Hanya rencana menaikkan produksi minyak dari 1,3 juta ke 1,6 juta yang baru belakangan dikatakan secara terbuka. Nah kalau serangkaian ikhtiar sudah dilakukan, apa masih perlu devaluasi? "Jika devaluasi benar dilakukan, maka biaya barang modal industri substitusi impor akan makin mahal," sahut Anwar Nasution. "Struktur biaya yang sudah mereka susun akhirnya juga akan berantakan." Jadi, bagi para penanam modal, yang masih mengimpor bahan baku dan punya utang valuta asing, devaluasi banyak mudharatnya. Selain akan memukul para penanam modal, devaluasi juga akan menendang harga barang. Risiko seperti itu, tentu, tak ingin dipikul di saat daya beli kini sedang loyo -- apalagi menjelang pemilu. Pada umumnya, PMA Jepang juga menginginkan agar pemerintah mau menjamin stabilitas ekonomi untuk kelangsungan investasi mereka. Jika ekonomi sedang macet, sebagian besar dari 248 perusahaan Jepang yang disurvei pengusaha muda Jepang (Keizai Doyukai) juga menyatakan, tidak menginginkan pemerintah mendevaluasikan rupiah. Maklum, luka akibat pukulan Maret 1983, berupa rugi akibat kenaikan kurs, masih tersisa hingga kini. Jadi, kalau masih menginginkan mereka di sini, segala sesuatu yang tak disukai investor terbesar itu perlu dihindari. Peta buminya sudah demikian jelas, perlukah Anda bertanya: kapan devaluasi? Eddy Herwanto Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini