Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Memamerkan Celengan Semar

Pemerintah tak segan-segan memamerkan cadangan devisa untuk menangkis isu devaluasi. Perkembangan devisa sejak 1978. Dua kali pengalaman devaluasi untuk merangsang eksportir dan penerimaan pajak migas. (eb)

22 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CADANGAN devisa merupakan benteng andalan pemerintah untuk mematahkan isu-isu devaluasi dalam dua tahun terakhir. Arifin Siregar, sejak menjabat Gubernur Bank Sentral, tak bosan mengulang-ulang menyebutkan cadangan devisa berjumlah US$ 10,7 milyar sebagai penangkis devaluasi. Bahkan jika perlu, katanya, pemerintah masih mempunyai "pinjaman tunggu" di luar negeri sekitar US$ 2,5 milyar. Dan, jangan lupa, masih ada US$ 12 milyar yang telah disepakati IGGI tapi belum dicairkan. Kata putus seperti datang dari Profesor Sumitro Djojohadikusumo: cadangan devisa sekarang cukup tangguh untuk mengamankan impor 6-7 bulan. Benarkah Pengamat ekonomi dari CSIS, Hadi Soesastro, secara main-main dengan angka memperkirakan bahwa dolar di BI bisa diborong habis para spekulan dalam tempo 7 minggu. Seorang pejabat Ekuin, meski mengakui bahwa cadangan devisa yang dikuasai BI hanya sekitar US$ 6 milyar, masih juga lantang menantang, "Siapa mau beli, silakan. Sisa yang US$ 4,7 milyar kebanyakan juga di tangan bank-bank pemerintah." Kalangan perbankan swasta pun tak yakin pemegang rupiah 'nganggur mampu memborong cadangan devisa di BI. Uang beredar di seluruh Indonesia -- menurut laporan mingguan BI yang terakhir -- seluruhnya hanya Rp 9,9 trilyun, terdiri dari uang tunai (kartal) Rp 4,4 trilyun dan uang giral (seperti deposito dan obligasi) Rp 5,4 trilyun. "Deposito tak bisa ditarik begitu saja. Uang tunai rupiah juga masih perlu ditahan untuk bayar taksi dan beli sayur," ujar Sekjen Perbanas, Jusuf Wantah. Cadangan devisa sebenarnya bukanlah sebuah lemari penuh emas batangan, atau lembaran dolar, atau valuta asing. Wujudnya hanyalah kumpulan catatan: jumlah rekening dari semua saldo dalam bentuk valuta asing di semua bank devisa di dalam dan di luar negeri. Pemiliknya bisa perorangan, badan swasta, tapi pemerintah merupakan pemegang cadangan devisa terbesar. Maklum, sumber-sumber terbesar, seperti minyak, jasa angkutan, pinjaman luar negeri, paling banyak dikelola pemerintah atau badan usaha milik negara (BUMN). Cadangan bisa meningkat bila neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri bisa mencatat transaksi menguntungkan, dan pemasukan modal bersih masih surplus. Cadangan devisa di awal November 1978 tercatat US$ 2,7 milyar -- sebenarnya meningkat dibandingkan cadangan pada Maret 1978 yang hanya berjumlah US$ 1,7 milyar. Impor rata-rata per bulan di akhir 1978 itu sekitar US$ 1 milyar, sehingga cadangan sebenarnya masih bisa mengamankan impor untuk sekitar 2,6 bulan. Tapi devaluasi toh tetap dilakukan. Apa tujuannya? Mendorong ekspor? Waktu itu, harga komoditi nonmigas sedang bagus di pasar internasional. Dengan devaluasi 50% itu, eksportir dirangsang untuk lebih bergairah mencari devisa dengan meningkatkan ekspor. Hal itu penting untuk memperkuat cadangan devisa, mengingat selama Pelita III, pemerintah memprogramkan pembangunan proyek-proyek padat modal yang banyak menyedot valuta asing. Devaluasi itu memang berhasil menaikkan penerimaan dari ekspor komoditi nonmigas dari US$ 3,9 milyar pada tahun anggaran 1978-79 hingga hampir dua kali lipat pada tahun fiskal berikutnya. Kebetulan pula terjadi boom minyak, akibat harga minyak dikerek dari US$ 29 jadi US$ 34 per barel. Tahun pertama Pelita III sempat mencatat neraca pembayaran yang sangat bagus dengan surplus US$ 2,198 milyar dan US$ 2,131 milyar, hingga cadangan devisa yang dikuasai BI menggelembung sampai US$ 7,341 milyar pada akhir Maret 1981. Pada 1983, cadangan sempat amblas, hingga angka US$ 3 milyar -- tapi masih terhitung cukup guna membiayai impor sekitar 1,5 bulan. Resesi sedang melanda dunia dan harga komoditi nonmigas lagi jatuh, hingga sebenarnya tak ada manfaatnya bila devaluasi dilakukan untuk merangsang ekspor. Toh, pemerintah melakukan devaluasi juga di bulan Maret 1983 itu. Tujuannya: untuk menyelamatkan target penerimaan pajak migas yang dianggarkan Rp 8.170 milyar dari rongrongan turunnya harga minyak OPEC US$ 34 jadi US$ 29. Kalangan pengusaha sudah lebih dulu membaca hal itu, sehingga mereka sempat mendolarkan rupiah 'nganggur sebelum terjadi devaluasi Maret 1983. Sejak itu, tampaknya, pemerintah selalu berusaha mengerem niat melakukan devaluasi yang dianggap peka oleh para investor. "Celengan Semar" di sana sini -- berupa cadangan devisa atau pinjaman yang tinggal dicairkan -- dipamerkan. Tapi, namanya juga spekulan, pekan lalu mereka mencoba memborong dolar. Para pemilik barang pun ragu-ragu melepas barangnya. Hal itu dirasakan antara lain oleh PT Pantja Niaga. Persero pemerinta yang aktif mencari devisa dengan mengekspor komoditi pertanian dan hasil industri itu, menurut Direktur Utama Djukardi Odang, di hari-hari panas tadi kesulitan mendapatkan barang dagangan. "Pemilik barang banyak yang menunggu datangnya devaluasi," ujarnya. Max Wangkar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus