Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dewan Pengawas KPK mengungkap kasus pungutan liar di rumah tahanan KPK dan menemukan sipir bisa disuap untuk memasukkan telepon seluler dan menyimpan barang berharga.
Dewan Pengawas tampaknya lebih sibuk mengurusi hal-hal yang bukan tanggung jawab utamanya, yakni menindak tegas pelanggaran etik pimpinan KPK.
Ada begitu banyak kasus pelanggaran dari pimpinan KPK yang tidak diselesaikan oleh Dewan Pengawas, dari kasus pemakaian helikopter hingga pembocoran dokumen penyidikan.
TERUNGKAPNYA kasus pungutan liar (pungli) di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi kian mencoreng wajah komisi antirasuah. Kebobrokan di lembaga itu rupanya telah menggerogoti segala lapisan. Namun sikap tegas Dewan Pengawas KPK dalam kasus ini justru menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, mereka justru melempem ketika harus menindak pelanggaran etik yang dituduhkan kepada pimpinan KPK.
Penarikan pungli di Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Timur Cabang KPK diperkirakan terjadi selama Desember 2021-Maret 2022. Nilai pungutan yang terungkap mencapai Rp 4 miliar. Modusnya berupa suap untuk memasukkan telepon seluler hingga membiarkan tahanan menyimpan uang. Pungutan ini diduga ditarik oleh penjaga dan petugas bagian perawatan rumah tahanan. Kasus ini tentu saja perlu diselidiki lebih jauh untuk memastikan semua jaringan pelaku terungkap. Selain itu, seluruh sistem pengelolaan tahanan KPK perlu dikaji agar kasus semacam ini tidak terjadi lagi.
Yang kini menjadi pertanyaan justru standar ganda Dewan Pengawas dalam kasus ini. Dalam sejumlah kasus dugaan pelanggaran etik yang melibatkan pimpinan KPK, Dewan Pengawas terkesan pasif dan enggan bergerak cepat. Sikap sebaliknya dipertunjukkan Dewan Pengawas ketika mengungkap kasus pungli para bawahan di komisi antirasuah. Wajar jika muncul syak wasangka. Apalagi tugas utama Dewan Pengawas sejatinya adalah mengawasi pimpinan KPK. Mata Dewan seakan-akan sibuk melihat semut di kejauhan tapi membiarkan gajah di pelupuk mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap semacam itu jelas tak mencerminkan prinsip keadilan dan kesetaraan di depan hukum. Ketua KPK Firli Bahuri, misalnya, sudah dua kali terbukti melanggar kode etik, yakni bertemu dengan pihak yang sedang beperkara dan memamerkan gaya hidup hedonisme. Kedua tindakan itu bisa saja berujung pada pelanggaran yang lebih besar jika diselidiki lebih saksama. Namun Dewan Pengawas memilih mengabaikannya begitu saja.
Belum lagi sejumlah keputusan Firli yang punya dampak lebih luas. Dia memberhentikan puluhan pegawai KPK melalui manipulasi Tes Wawasan Kebangsaan; memulangkan paksa Direktur Penyelidikan KPK, Brigadir Jenderal Polisi Endar Priantoro, ke kepolisian ketika Endar sedang menangani kasus Formula E; dan hendak memberhentikan Komisaris Polisi Rossa Purbo Bekti, penyidik yang sedang menangani perkara korupsi Harun Masiku. Semua tindakan itu jelas-jelas mengintervensi proses penyidikan dan bisa dipersoalkan secara etik.
Baca beritanya:
Ironisnya, dalam semua kasus pelanggaran etik yang terkait dengan Firli, Dewan Pengawas terkesan lembek. Alih-alih menjatuhkan hukuman berat, Dewan hanya memberi sanksi ringan. Firli cuma mendapat teguran tertulis dalam kasus pelanggaran gaya hidup dan lolos dari sidang etik untuk sejumlah kasus lain. Sikap serupa ditunjukkan Dewan Pengawas ketika memeriksa dugaan pelanggaran etik lain oleh pimpinan KPK. Lili Pintauli Siregar, eks pemimpin KPK, hanya dikenai sanksi pemotongan gaji yang nilainya tak seberapa. Padahal pelanggarannya tergolong berat: menerima tiket perhelatan MotoGP di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dan fasilitas penginapan. Lili belakangan mengundurkan diri dari KPK.
Dengan mengangkat kasus pungli di rumah tahanan, Dewan Pengawas seolah-olah peduli pada upaya membenahi muruah KPK. Namun, tanpa mengungkap pelanggaran etik para pemimpin KPK sendiri, tindakan Dewan Pengawas itu nyaris tak ada artinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Membidik Semut, Mengabaikan Gajah"