Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Apa arti sebuah nama? Bunga tetap harum meski tak dinamai mawar.
Tapi, untuk nama Indonesia, ia punya makna perjuangan yang berdarah-darah.
Renungan memaknai kembali Indonesia di Hari Sumpah Pemuda.
JIKA kita percaya Juliet, gadis remaja dalam lakon termasyhur Shakespeare itu, sebuah nama tak berpengaruh terhadap apa yang dinamai. Juliet yakin setangkai kembang yang wangi akan tetap harum andai tak dinamai “mawar”. That which we call a rose/By any other name would smell as sweet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi Juliet, yang sedang kasmaran, tak sepenuhnya benar. Nama punya genealogi yang berbeda-beda dan tak selalu terpisah dari wujud yang menyandangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya pernah menghadiri sebuah pertemuan informal antara beberapa cendekiawan Malaysia dan Indonesia di Jakarta. Dalam percakapan, salah seorang menyebut “Indonesia” dengan “Indo”—sebuah kebiasaan mereka yang merasa lima suku kata dalam “Indonesia” bisa diringkas jadi dua. Mendengar itu, sejarawan Taufik Abdullah yang hadir di antara kami menegur: sebutan “Indo” sebaiknya jangan dipakai. Nama “Indonesia”, kata Taufik Abdullah, “adalah nama yang diperjuangkan dengan berdarah-darah”.
Saya selalu ingat teguran itu. Taufik Abdullah benar.
Nama “Indonesia” tak bermula pada 28 Oktober 1928, dan tak dipungut begitu saja dari sebuah persediaan vokabuler yang sudah siap. Bennedict Anderson menulis Imagined Communities di tahun 1983 yang sangat berpengaruh, dan para cendekia menyadari, sebuah bangsa adalah sebuah komunitas yang tak lahir di saat terbentuknya bumi; bangsa tak bermula sejak the Big Bang. Bangsa adalah sebuah komunitas yang dianggit.
Saya memakai kata “dianggit” untuk menerjemahkan “imagined”. Kata “anganggit” dalam bahasa Jawa kira-kira sama dengan “menggubah” dan “merekayasa”. Kata “rekayasa” saya kembalikan ke pengertian semula: “merancang dan mendesain”, bukan “memanipulasi” yang kini diartikan dalam bentuk yang mencong.
Sebuah komunitas, kata Anderson, “dianggit [sebagai satu] sebab, walaupun di dalamnya ada ketidaksetaraan yang nyata… bangsa selalu diasumsikan (conveived) sebagai sebuah pertalian horizontal dan mendalam, a deep, horizontal comradeship”.
Dalam The Idea of Indonesia, buku sejarah yang layak dibaca kembali setiap “Hari Sumpah Pemuda”, R.E. Elson menyajikan rekaman pertemuan-pertemuan para pemuda yang datang dari wilayah yang disebut “Hindia Belanda” di kota-kota Nederland di dasawarsa awal abad ke-20. Mereka merasakan persamaan, tapi belum tahu bagaimana mengidentifikasikan diri sebagai satu kelompok. Yang menyatukan mereka hanya kesadaran diri sebagai kaum yang dijajah kolonialisme Belanda.
Perubahan terjadi sejak Suwardi Suryoningrat, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker tiba di Nederland sebagai orang buangan: mereka bertiga disingkirkan karena jadi pembangkang di koloni nun di Timur. Mereka menggerakkan organisasi Indische Vereneging hingga pertalian makin erat antar-suku dan etnis. Mereka bahkan menolak berdirinya cabang “Boedi Utomo” karena dianggap terlalu eksklusif “Jawa”.
Suwardi (yang kelak akan dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara) memimpin bulanan Hindia Poetra tempat ia menyebarkan ide-idenya—dan memperkenalkan nama “Indonesia” untuk menyebut komunitas dalam proses itu.
Seperti ketika ia aktif di tanah air dalam Indische Partij, Suwardi dan kawan-kawan melihat “Indonesia” mengatasi dinding-dinding lama. “Orang Indier atau Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Indies atau Indonesia sebagai tanahair, tak peduli apakah dia murni Indonesia, atau apakah di tubuhnya mengalir darah Tionghoa, Belanda atau Eropa umumnya”. Bagi Cipto, orang Indonesia akan harus “menyisihkan apa yang khas bagi dirinya”. Ia sendiri, seorang Jawa, menganggap adat Jawa “sembah dan dodok” sebagai sesuatu yang kuno.
Hindia Poetra sendiri menandai itu. Di dewan redaksinya, di samping Suwardi, ada Yap Hong Tjoen dan J.A. Jonkman.
Di tanah air, nama “Indonesia” juga bergaung. Dalam pidatonya di depan umum yang pertama, di tahun 1917, Bung Karno mulai menggunakan penanda “Indonesia” bagi bangsa yang sedang dianggitnya. Tapi bukan tanpa persoalan. Dinding etnis, agama, kelas, dan adat lama masih tebal. “Tradisi semua generasi yang sudah mati memberat seperti mimpi buruk di dalam otak generasi yang masih hidup”, kata Marx. Dalam menganggit “Indonesia” masih dibayangi konflik pendapat tentang bagaimana mengelola perbedaan yang ada.
Tapi di sini kita bisa menyaksikan bagaimana nama mengandung daya performatif. Nama “Indonesia” mengkonstruksi kesadaran—dan “Indonesia” mendapatkan artinya ketika orang siap memperjuangkannya.
Anderson menunjuk ke makam pahlawan tak dikenal. “Monumen-monumen itu disikapi dengan hormat dalam upacara publik persis karena mereka sengaja kosong atau tak seorang pun tahu siapa yang terbaring di dalamnya”.
Makam itu penanda yang isinya masih samar, dan dengan demikian yang ditandai, atau isinya, bisa dipertegas bersama-sama. Bukan nama individu yang pernah ada yang muncul dari sana, melainkan sebuah lambang kebersamaan. Ia cerminan diri komunitas yang dianggit bersama-sama—menandai sebuah himpunan dengan wajah baru, bukan wajah masing-masing yang sudah ada.
Sajak Toto Sudarto Bachtiar, “Pahlawan Tak Dikenal”, menggambarkan itu dengan menyentuh, saya kutip sebagian:
Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri
yang tak dikenalnya.
Yang muncul wajah “bangsa”. Pahlawan tak dikenal itu bukan sesuatu yang beku (ia terbaring, “tapi bukan tidur, sayang”). Ia sesuatu yang produktif. Ia bisa mengingatkan, dan membangkitkan semangat, bahwa untuk sebuah komunitas yang disebut bangsa orang bisa bersedia berkorban. Di Surabaya, 10 November 1945, pelbagai golongan, orang dari pelbagai daerah, siap mati melawan kekuatan yang jauh lebih perkasa—meskipun identitas diri mereka, yang disebut “bangsa Indonesia” belum jelas benar apa artinya.
Tak harus ada rumusan yang sudah selesai.
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur, sayang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo