Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan ini sangat relevan karena Indonesia telah mencapai beberapa prestasi yang diakui lembaga internasional seperti United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) untuk keberhasilan menurunkan laju pertumbuhan penduduk, Organisasi Pangan Sedunia (FAO) untuk swasembada pangan, dan United Nations Development Program (UNDP) untuk keberhasilan menurunkan jumlah penduduk di bawah garis kemisikinan.
Keberhasilan pembangunan selama puluhan tahun telah menumbuhkan rasa percaya diri yang berlebihan (over-confidence). Menurut teori Pavlov tentang "refleksi yang terkondisikan" (conditioned reflex), keberhasilan beruntun akan mengondisikan orang untuk percaya bahwa setiap usahanya akan diikuti keberhasilan.
Ketika krisis finansial memukul Thailand awal Juli 1997, banyak orang tidak percaya krisis itu bisa menular ke Indonesia. Kalaupun mengimbas juga ke sini, pemerintah percaya bisa menanggulanginya, seperti sukses mengatasi berbagai krisis ekonomi pada masa lalu. Jadi, krisis tidak perlu dibesar-besarkan, "badai pasti berlalu".
Namun, nilai tukar rupiah terhadap dolar ikut goyang. Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Pengawasan Pembangunan, Saleh Afiff, pada Agustus 1997 mencanangkan serangkaian kebijakan perombakan struktural (structural adjustment) seperti penghapusan monopoli, meniadakan tata niaga komoditi tertentu, membebaskan pasar dari kekangan administrasi pemerintah, deregulasi, dan debirokratisasi.
Rencana itu, sayang sekali, tidak diterima sidang kabinet dan Bung Afiff kemudian diam-diam menepi. Penanggulangan krisis ekonomi diambil alih Dewan Pemantapan Kebijakan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK), yang dipimpin langsung Presiden Soeharto. Karena DPKEK berada di luar struktur pemerintah, efektivitas pelaksanaan keputusannya bergantung pada komitmen dan kemauan politik para menteri. Kenyataan menunjukkan banyak keputusan DPKEK, terutama yang menyangkut perombakan struktural seperti menghapus monopoli, tidak ditindaklanjuti secara konsekuen. Dan tampaklah biduk ekonomi Indonesia terombang-ambing diamuk topan krisis finansial, sementara pucuk pimpinan pemerintahan tidak serius menanggapinya.
Berbagai komitmen pemerintah seperti "Memorandum tentang Kebijakan Ekonomi dan Keuangan" yang disepakati dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tidak dilaksanakan dengan "semangat urgensi" (sense of urgency) yang tinggi. Selama Oktober-Mei 1998 telah ditandatangani empat memorandum tapi pelaksanaannya mencla-mencle, bahkan terkesan "pilih kasih," seperti dalam penutupan 16 bank pada November 1997. Penghapusan monopoli tata niaga cengkeh masih juga ditawar-tawar. Lalu, berbagai proyek besar terombang-ambing antara ditunda atau dilanjutkan pelaksanaannya.
Bila ekonomi Indonesia kemudian terpuruk lebih dalam ketimbang Thailand, Korea Selatan, atau Malaysia, salah satu sebab penting adalah tidak tegasnya pemerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi sehingga buyarlah kepercayan para pelaku ekonomi terhadap kemampuan pemerintah.
Krisis ekonomi Indonesia juga diperberat oleh erosi yang menggerus fondasi ekonomi selama sepuluh tahun terakhir ini, terutama setelah Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, dan "naik kelas" menjadi negara berpendapatan menengah lalu memilih pola industrialisasi. Sejak itu, timbullah kerancuan dalam kebijakan pembangunan.
Sebelum itu, selama empat Pelita (1968-1988) Indonesia dibangun dengan sasaran jelas; "mencapai swasembada beras", yang memungkinkan seluruh kekuatan ekonomi tercurahkan ke sini. Setelah sasaran ini tercapai dan titik berat pembangunan beralih ke industri, tumbuhlah aneka ragam selera mengenai industri apa dan bagaimana yang perlu diutamakan. Berbagai konsep berkembang seperti membangun industri yang dimulai dari hulu untuk kemudian bergerak ke hilir, membangun spektrum industri yang luas, membangun industri berdasarkan keunggulan persaingan ketimbang keunggulan komparatif dan mengembangkan industri atas dasar sumber daya alam.
Namun, tidak ada kesungguhan untuk membahas berbagai konsep ini secara tuntas. Dalam banyak kasus para konseptor "menjual" gagasannya dengan menempuh jalan "ke-istana-sendiri-sendiri" (KISS). Akibatnya, muncul keputusan bersifat ad hoc dan lebih mengutamakan pertimbangan ekonomi mikro dan mengabaikan kaitannya dengan ekonomi makro. Tumbuhlah kebijakan industrialisasi yang berkeping-keping (fragmented). Forum sidang Ekuin tidak lagi menjadi wahana koordinasi dan tumbuh suburlah "egoisme sektoral". Lalu lahirlah silang pendapat antara apa yang secara simplistis disebut Habibienomics dengan Widjojonomics.
Berkuasanya pemimpin nasional untuk waktu lama menumbuhkan kelompok elite di sekitarnya yang berkepentingan menunjang keberlanjutan kekuasaan di tangan yang sama. Terjadilah konsentrasi pengambilan keputusan ekonomi, politik, sosial, dan hukum di tangan penguasa. Sedangkan pengawasan atas kesewenang-wenangan pengelolaan ekonomi, yang seharusnya dilaksanakan DPR/MPR/DPRD, media pers, partai politik, atau organisasi masyarakat, tidak berjalan efektif dan akhirnya memuncak pada kegagalan fungsi kontrol (control failure).
Berbagai kebijakan yang dilaksanakan atas dalih "menjadi tuan di rumah sendiri" cenderung menguntungkan kelompok elite yang sama. Dan lahirlah perusahaan yang hanya mampu bertahan di balik proteksi pemerintah atau memerlukan perlakuan khusus. Akibatnya, kebijakan pembangunan gagal menaikkan tingkat efisiensi dan kemampuan bersaing (policy failure) bangsa kita. Dan akhirnya di sinilah kita berada, di dasar jurang ekonomi yang teramat dalam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo