Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soalnya kemudian, seberapa luas itu dialami dan apa yang harus dilakukan. Dari laporan Tim Relawan Kemanusiaan yang dipimpin Romo Sandyawan, tergambar sebuah pemerkosaan massal dalam skala besar: ada 168 korban, di antaranya 130 jatuh di Jakarta dalam dua hari, yakni 12 dan 13 Mei. Romo Sandyawan sendiri cenderung menduga bahwa kejahatan itu terorganisasi. Tapi penilaian Human Rights Watch Asia terhadap laporan itu mencoba menunjukkan, dengan berhati-hati, bahwa mungkin sekali jumlah korban yang sebesar itu adalah hasil dari suasana kacau (chaotic) waktu orang memberi informasi kepada Tim Relawan--sesuatu yang lumrah ketika sebuah kota dilanda kerusuhan selama dua hari. Dalam laporan Human Rights Watch itu disebutkan bahwa jumlah kasus yang bisa dicek jauh di bawah (substantially below) yang dihitung Tim Relawan.
Human Rights Watch berbicara tentang kasus yang "bisa dicek". Tidak berarti bahwa kasus yang tidak bisa dicek itu sebenarnya tak pernah terjadi: tidak semua hal yang tak bisa dibuktikan adalah omong kosong. Maka, evaluasi organisasi internasional yang independen itu--dan punya kredibilitas yang tinggi itu--tidak menafikan begitu saja laporan Tim Relawan, yang diduga memakai pengertian "pemerkosaan" dalam arti yang luas, tak cuma pemaksaan hubungan seksual. Namun, laporan Tim juga tidak diiyakan sepenuhnya.
Romo Sandyawan tidak perlu berkecil hati. Angka atau besarnya sebuah kekejaman selamanya mengandung selisih yang mungkin terjadi antara mata yang memandang dan bahu yang memikul, antara fakta dan persepsi. Pengalaman memberikan contoh. Berapa banyak korban pembunuhan oleh pasukan Kapten Westerling pada akhir 1940-an di Sulawesi Selatan: 40 ribu atau 4.000? Berapa jumlah orang yang dituduh sebagai PKI dibinasakan pada 1965-1966 di Jawa: satu juta atau 80 ribu? Berapa orang yang tak ditemukan lagi ketika kantor PDI diserbu pada 27 Juli 1996: 100 orang atau lima? Sejauh ini, tidak ada kesimpulan yang final. Dan ini tak hanya berlaku di Indonesia. Sampai hari ini pun, di Eropa orang masih berdebat tentang angka korban pembantaian orang Yahudi oleh Nazi: enam juta atau kurang? Di bagian dunia lain, angka korban pemerkosaan di Bosnia bisa beragam: 30 ribu kasus atau 800.
Kepentingan yang Tak Menjijikkan
Jelas bahwa angka tentang sebuah peristiwa bisa merupakan ekspresi kepentingan seseorang dengan peristiwa itu. Tapi harus segera ditambahkan bahwa "kepentingan", seperti halnya politik, tidak selamanya menjijikkan. Jika ada kepentingan Tim Relawan, itu bukanlah untuk mencemarkan nama baik Indonesia. Yang dilakukan oleh Tim adalah sebuah advokasi untuk menarik perhatian publik tentang sebuah perkara yang kotor dan gawat, yang telah melukai orang yang tak berdaya.
Dalam hal inilah sebenarnya tim itu berhasil. Memang, mereka bukan satu-satunya yang mengurus akibat kejahatan itu--meskipun menimbulkan tanda tanya juga, mengapa organisasi lain di kalangan umat Buddha, Kong Hu Cu, ataupun gereja-gereja Kristen, tidak terdenggar didatangi para korban yan umumnya keturunan Cina itu. Sebuah organisasi yang dibentuk setelah kerusuhan Mei, Solidaritas Nusa Bangsa, yang dipimpin Ester Jusuf, tanpa banyak menarik perhatian, melakukannya. Di samping itu, ada pula individu-individu yang selama ini tak dikenal, seperti wanita yang menolong Mona dengan tenaga sendiri.
Bagaimanapun, Tim Relawanlah, dengan laporannya yang mengejutkan itu, yang telah menggerakkan masyarakat dan pemerintah untuk menjadi saksama dalam menangani kekerasan ini. Mungkin karena itu pula, seperti indikasi yang kami peroleh dari jajak pendapat, hampir 80 persen responden percaya bahwa pada Mei yang lalu sebuah pemerkosaan massal terjadi--meskipun itu tidak menunjukkan bahwa kejadian itu sudah sepenuhnya tersingkap. Pemerintah juga akhirnya bereaksi secara positif. Sebuah tim gabungan pencari fakta dibentuk. Menteri Kehakiman bahkan mengatakan pemerintah mengakui bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan keturunan Cina itu memang terjadi.
Namun, tak berarti tak ada kritik buat Tim Relawan. Dalam setiap aksi menarik perhatian publik, ada kecenderungan untuk membuat sebuah kasus menjadi dramatis--terutama jika yang dihadapi adalah sebuah kekuatan yang telah kehilangan kepekaannya, misalnya sebuah rezim otoriter. Dramatisasi bukanlah sesuatu yang tercela, selama disadari itu hanya sebagai sebuah teknik mengemas dan menawarkan sebuah kesimpulan, juga selama tidak sampai mengabaikan akal sehat. Sayang, para penggerak kampanye antipemerkosaan cenderung--mungkin tanpa sadar--memasang angka jumlah korban sebagai soal yang tak bisa ditawar.
Betapa tidak perlu. Sebuah kampanye antipemerkosaan adalah sebuah aksi politik. Sebuah aksi politik harus bisa mendapatkan dukungan seluas-luasnya. Untuk itu, penyampaian yang dramatis perlu disertai isi yang membuat orang ramai yakin. Akal sehat tidak bisa terus-menerus terkejut oleh cerita tragis. Pada gilirannya, orang akan bertanya: jika pemerkosaan Mei begitu massal, dan ada lebih dari 160 orang yang jadi korban, kenapa sulit sekali menemukan saksi mata yang mau berbicara ke publik? Jika pemerkosaan Mei begitu terorganisasi, dapatkah dibayangkan adanya sebuah organisasi yang bukan ABRI yang bisa menjalankan itu--kecuali, tentu, jika ABRI sendiri yang terlibat?
Maka, yang lebih penting dari ketepatan angka jumlah korban adalah tampilnya para saksi. Tentu saja kebutuhan akan saksi tidak bisa memaksa seorang korban mengisahkan kembali sebuah pengalaman yang begitu traumatik. Di sinilah diperlukan saksi lain: orang-orang yang bisa dipercaya masyarakat yang dapat mengatakan bahwa mereka telah menemukan korban. Terutama para dokter. Bahwa sampai sekarang belum ada dokter--di dalam maupun di luar negeri--yang muncul ke publik untuk bersaksi, itu memang menimbulkan tanda tanya besar. Kasus ini begitu merisaukan, kepentingan banyak orang dipertaruhkan, juga nasib korban. Jika para dokter terus-menerus diam, apa pun alasannya, usaha kampanye antipemerkosaan akan rontok.
Apalagi, masalahnya bukanlah sekadar sebuah kejahatan biasa. Dari kejadian yang dapat kami temui sebagai kasus kekerasan seksual itu--di antaranya perusakan alat kelamin--ada tendensi kebencian rasial yang sengit, yang dalam susana brutal hal itu diarahkan kepada perempuan.
Para dokter, atau siapa saja yang tak bersedia hidup terus-menerus dengan kebencian, tak layak diam. Setiap bangsa perlu berbersih diri. Untuk itu, ia perlu mengakui bahwa dirinya mungkin saja--atau memang--pernah kotor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo