Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mendiagnosis Talasemia dalam Kandungan

Pemeriksaan penyakit talasemia pada janin kini bisa dilakukan di Jakarta. Sebelumnya, diagnosis prenatal hanya bisa dilakukan di negara maju.

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, Haryanto merasa plong setelah sebulan silam putri keduanya lahir dalam keadaan sehat. Sebagai pembawa sifat (carrier) penyakit talasemia yang beristrikan pembawa sifat yang sama pula, ia sempat cemas bila bayinya akan menderita talasemia seperti kakaknya. Si kakak setiap bulan harus mendapat pasokan darah melalui transfusi. Putranya yang baru tujuh tahun itu juga sudah kehilangan limpanya karena penyakit yang hingga sekarang belum ada obatnya itu.

Haryanto sebenarnya boleh lega sekitar tujuh bulan lalu. Ketika usia kehamilan istrinya menginjak 10 minggu, Lembaga Eijkman dan Bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) telah mendiagnosis bahwa bakal putrinya itu normal. Hal itu memang terbukti kemudian.

Maka, untuk pertama kalinya Indonesia boleh bangga berhasil melakukan diagnosis prenatal (sebelum kelahiran) dengan teknologi biologi molekuler. Pemeriksaan materi genetik untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin itu selama ini hanya dilakukan di negara maju. Kini hal itu bisa dilakukan di Jakarta, setelah Eijkman dan RSCM mengabarkan keberhasilan mereka mendeteksi adanya cacat molekul yang mendasari talasemia.

Menurut ahli darah dan Direktur Pusat Talasemia Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM, Bulan Ginting Munthe, sebagai penyakit turunan, talasemia adalah penyakit yang terbanyak di dunia. Di sini, pembawa sifat talasemia kebanyakan talasemia-B (beta), yang jumlahnya 3--5 persen dari populasi penduduk. Di beberapa daerah angkanya lebih tinggi, misalnya di Ujungpandang 7,8 persen atau di Palembang bahkan sampai 10 persen.

Penyakit ini diturunkan sesuai dengan hukum Mendel. Jadi, dari pasangan pembawa sifat talasemia, setiap kehamilan berpeluang melahirkan anak sakit 25 persen, membawa sifat 50 persen, dan normal 25 persen.

Penderita talasemia hidupnya sangat bergantung pada darah karena butir darah mereka sendiri tidak normal, mudah hancur. Dalam keadaan normal, darah baru rusak--dan karena itu tubuh memproduksi lagi--setelah 120 hari. Namun, pada penderita talasemia baru 4 atau 5 minggu saja butir-butir darah merah mereka sudah rusak. Maka, agar tubuh tak kekurangan darah, pasien harus mendapat darah dari luar.

"Kalau terlambat (transfusi), badan rasanya lemas, capek, kayak baterainya mau habis," kata Irwan Hermawan, 18 tahun, penderita talasemia yang sejak berusia empat bulan harus menjalani transfusi rutin setiap bulan.

Menurut Bulan Ginting, jika penanganan terhadap kasus kekurangan darah dan gejala anemia seperti itu terlambat, jantung akan membesar, bengkak, dan akhirnya maut akan menjemput. Ironisnya, karena darah yang ditransfusikan mengandung zat besi, lama-kelamaan terjadi penumpukan zat besi dalam tubuh. Kalau timbunan besi ini tak segera dihilangkan, fungsi paru-paru, ginjal, hati, dan jantung bisa terganggu. "Penderita ditolong oleh transfusi tapi yang membunuhnya juga darah itu," kata Bulan Ginting. Sebagai penyakit yang belum ada obatnya, yang bisa dilakukan sekarang adalah mencegah penderita baru. Salah satunya adalah dengan pemeriksaan prenatal.

Diagnosis prenatal sendiri sebenarnya sudah dilakukan terutama untuk penyakit trisomi 21 (sindrom Down/Mongoloid). Tapi, menurut Direktur Eijkman, Prof. Sangkot Marzuki, diagnosis itu masih menggunakan cara pengembangan kultur dan baru melihat cacat atau mutasinya.

Dengan teknologi biologi molekuler, sampel yang dibutuhkan hanya sedikit, waktu pemeriksaan pun bisa jauh lebih singkat daripada cara pembiakan kultur.

Oleh Eijkman, diagnosis prenatal talasemia dilakukan dengan mengambil informasi genetik bayi, DNA, yang diperoleh dari vili khorialis atau plasenta. Materi tersebut kemudian diperbanyak dengan menggunakan enzim restriksi spesifik untuk mengetahui mutasi DNA pada bayi.

Masalahnya kemudian, apa upaya yang bisa dilakukan setelah diketahui bahwa janin dalam kandungan didiagnosis menderita talasemia. Secara medis, bila kehamilan tak ingin dilanjutkan pada usia kandungan 10 minggu, bisa dilakukan aborsi dengan aman. Cuma, akan muncul perdebatan soal boleh-tidaknya aborsi itu, terutama dari sudut agama. Dalam hal ini, pendapat Haryanto patut dipertimbangkan: ??Apakah manusiawi membiarkan anak terlahir untuk menderita seumur hidup??? Memang, menjadi dilema.

Gabriel Sugrahetty, Dwi Arjanto, L.N. Idayanie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus