Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Modal Politik

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekitar 30 tahun lalu, sisa-sisa pemerintah demokratis di Indonesia dimusnahkan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dan para perwira ABRI pendukung Soeharto. Proses pemusnahan itu sebenarnya dimulai oleh pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang diciptakan pada akhir 1950-an oleh Presiden Soekarno dan para pemimpin ABRI. Sebelumnya, demokrasi diberi kesempatan berkembang cuma sekitar tujuh tahun, sejak 1949 sampai akhir 1956. Pada awal 1957, Soekarno dan pucuk pimpinan ABRI mulai tampil ke depan untuk menanggulangi pemberontakan yang meletus di beberapa daerah dan ketidakmampuan anggota Konstituante menyelesaikan konflik tentang bentuk negara. Kini, setelah masa kepemimpinan Soeharto berakhir, ada kemungkinan Indonesia akan menempuh jalan demokratisasi sekali lagi. Setidak-tidaknya Presiden Habibie berjanji bahwa pemilihan umum yang betul-betul demokratis akan diadakan. Apakah ada pelajaran dari masa demokrasi tahun 1950-an yang bisa diterapkan pada proses demokratisasi yang sedang berjalan sekarang? Berbeda dengan senior saya seperti Goerge Kahin atau Herb Feith, saya tidak menyaksikan periode itu. Saya datang untuk pertama kali tahun 1962, yaitu pada zaman Demokrasi Terpimpin, ketika tak ada lagi kekuatan politik yang berarti kecuali PKI dan ABRI. Namun, saya merasa bahwa saya juga sedikit banyak mengalami langsung periode demokrasi. Sebab, selama hampir dua tahun, sampai 1964, saya tinggal di daerah, tempat partai-partai yang berpartisipasi dalam Pemilu 1955 masih hidup dan aktif, dan tidak di pusat, yang sangat diwarnai obsesi Soekarno untuk menguasai semua kekuatan. Daerah saya adalah Sumatra Utara, khususnya Kabupaten Simalungun dan Kota Madya Pematangsiantar, yang terletak di bekas Karesidenan Sumatra Timur. Saya memilih daerah itu, pertama, karena terdapat berbagai suku, etnis, agama, dan kelas sosial. Kedua, beberapa partai politik nasional telah menyebar ke daerah itu dan mendirikan cabang-cabang menjelang Pemilu 1955. Topik penelitian saya adalah hubungan antarpartai di pusat dan di daerah dalam rangka demokrasi dan integrasi nasional. Sejauh mana partai-partai yang diciptakan di pusat pada awal Revolusi bisa membangun organisasi nasional ke daerah? Apakah organisasi itu betul-betul bisa menanam akarnya? Dengan cara bagaimana? Melalui solidaritas primordial dan kelas sosial atau lainnya? Dan akhirnya, bagaimana dampak sistem kepartaian ini pada perwakilan demokratis, kestabilan nasional, dan persatuan bangsa? Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa wakil partai nasional yang mampu menarik dukungan di daerah ternyata mengerti betapa pentingnya menyesuaikan diri dengan alam politik setempat. Masjumi cabang Simalungun dan Siantar, umpamanya, cenderung mewakili kepentingan etnis orang Padang dan Tapanuli Selatan. Parkindo, yang di tingkat nasional mewakili orang Protestan, di daerah saya adalah partai orang Tapanuli Utara. Karena orang Kristen non-Tapanuli di daerah itu merasa dijajah oleh orang Tapanuli Utara, mereka memilih partai lain, teristimewa PNI. NU, yang tidak punya pesantren di daerah itu, merupakan gabungan dari dua minoritas kecil: orang Melayu pesisir dan orang Batak Simalungun yang beragama Islam. Kedua-duanya menolak Masjumi karena mereka tidak mau dipimpin oleh suku etnis lain, seperti orang Padang atau Tapanuli Selatan. Bulan-bulan pertama di lapangan, kenyataan ini membingungkan saya. Apakah sistem kepartaian yang serancu itu bisa menghubungkan kepentingan orang daerah dengan proses politik nasional di Jakarta? Tapi akhirnya saya menyimpulkan bahwa segi positifnya jauh lebih penting daripada segi negatifnya. Pertama, masyarakat yang saya amati betul-betul yakin bahwa mereka memiliki partai-partai itu. Kedua, sifat nasional dari hampir setiap partai tercermin juga di daerah. PNI cabang Simalungun dan Siantar, umpamanya, berhasil merangkul wakil dari banyak kelompok etnis dan agama di bawah bendera nasionalisme dan karisma Soekarno. PKI mewakili orang (kebetulan hampir semua orang Jawa dan Tapanuli Utara) yang dieksploitasi oleh ekonomi perkebunan. Ketiga, tingkah laku para pemimpin partai ini lama-kelamaan menciptakan semacam "modal politik" di tingkat daerah. Modal politik adalah kemampuan yang melembaga, institutionalized capability, untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi bersama oleh masyarakat lokal. Di tingkat nasional, para pemimpin partai pada waktu itu jarang bersedia bekerja sama karena lawan politik dianggap musuh. Tapi, di Simalungun dan Siantar, para pemimpin tingkat cabang partai sering bertemu, di DPRD atau di lembaga lain, misalnya untuk membuat peraturan daerah atau menyelesaikan konflik berbau SARA. Selama dua tahun, saya menghadiri setiap sidang DPRD di kabupaten dan kota madya, dan sering bertemu dengan pemimpin dari semua partai. Jadi, saya tahu betul bahwa sebagian besar kaum politikus lokal, yang sudah lama saling mengenal dan menghormati, punya semangat kompromi. Sekarang, berpuluh tahun kemudian, partai yang sedang dibentuk di Simalungun dan Siantar, dan di daerah lainnya, tentu berbeda dengan partai tahun 1950-an. Namun, saya tetap yakin keberhasilan partai-partai baru akan sangat bergantung pada kemampuan pemimpinnya untuk menciptakan visi nasional sekaligus mewakili kepentingan bermacam orang yang tinggal di daerah. Tapi yang paling penting adalah proses pengembangan kembali modal politik di daerah, yang terputus sejak akhir 1960-an. Pola konflik lokal yang marak di banyak daerah kini hanya bisa diatasi lembaga politik dan pemerintahan lokal yang betul-betul mewakili dan dipercaya masyarakat. R. William Liddle, Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, AS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus