LAIN Deshima, lain Batavia.
Di Batavia, di abad ke-17 itu, VOC adalah sebuah organisasi
dagang asing yang dengan cepat jadi penakluk. Di kota itu orang
Kompeni menemukan pangkalannya.
Dari sini mereka menginm petugas dan pasukan, untuk mendeking
raja-raja pribumi yang bertikai -- lalu minta bayaran. Dari sini
pula para saudagar yang bersenjata itu mendiktekan kehendak
mereka ke seluruh Hindia Timur. Dan dari sini mereka menjajah.
Di Deshima, Jepang, mereka sebaliknya hanya tamu yang
dikucilkan. Mereka tunduk kepada titah shogun yang empunya
negeri. Penguasa Jepang itu memang mau menerima mereka --
satu-satunya bangsa Barat yang mereka kasih tempat -- karena
orang Jepang tahu: para pedagang asing yang berjanggut merah itu
datang bukan untuk Tuhan atau jajahan, melainkan untuk duit.
Hal itu telah terbukti sebelumnya. Di tahun 1637, dengan suka
hati para pendatang Belanda itu membantu pasukan shogun dengan
artileri, untuk menggebuk puluhan ribu orang Nasrani Jepang di
Shimabara. Orang-orang yang percaya pada Tuhan Yesus dibasmi
dengan bantuan orang lain yang percaya pada Tuhan Yesus.
Tentu, para saudagar Belanda, yang Protestan, tak merasa wajib
menolong orang Kristen Jepang, yang Katolik. Sisa-sisa perebutan
pengaruh antara Belanda dan Portugal, yang membawa Katolikisme
ke Timur Jauh, masih terasa -- seperti halnya bara bekas perang
agama di Eropa. Namun lebih dari itu, bantuan artileri Belanda
di Shimabara itu menunjukkan satu hal: begitu gampang orang
Kompeni itu berjual beli, juga dengan nyawa dan keyakinan.
Dari dunia mereka yang mengejar untung hal itu tentu halal.
Orang-orang Belanda yang kemudian dipindahkan ke Deshima di
tahun 1641 itu memang khas orang VOC. Tak ada minat mereka yang
lain kecuali mengurus bisnis. Selama 250 tahun di sana, catatan
yang mereka tinggalkan hampir tak satu pun merekam hal ihwal
kehidupan orang Jepang. Yang ada cuma kalkulasi dagang:
laba-rugi, debet-kredit ....
Aneh, memang. Masa itu adalah masa ketika Eropa sibuk mencari
dan menjelajah. Perdagangan dan ilmu sedang bersemangat ke
seluruh penjuru. Tapi apa yang disumbangkan bangsa Belanda
tentang negeri elok di Timur itu bagi pengetahuan orang Eropa?
Nihil. "Eropa tak berutang apa pun kepada bangsa ini dalam hal
pengetahuan tentang Jepang," cerca Adam Krusenstern, seorang
nakoda pengelana yang membawa utusan Rusia ke Nagasaki di tahun
1804.
Bahkan Krusenstern mencatat hal lain yang baginya aib: bagaimana
orang Belanda yang begitu berkuasa di Batavia, ternyata di
bandar Jepang itu bersedia membongkok-bongkok di hadapan pejabat
pribumi.
Krusenstern mungkin agak bodoh untuk tak memahami kata pepatah,
bahwa orang harus mengembik untuk masuk ke kandang kambing. Tapi
sebelumnya, di akhir abad ke-17, tingkah para pedagang Kompeni
itu memang lebih dari cuma mengembik di kandang kambing mereka
mau jadi bahan tontonan.
Seorang dokter Jerman yang ikut dengan mereka waktu menghadap
shogun di Edo mencatat bagaimana lucunya kejadian itu.
Orang-orang Belanda itu dengan enaknya oleh sang penguasa Jepang
disuruh melepas toga, lalu berdiri, jalan, menari, saling
memuji, bertingkah seperti orang mabuk, menyanyi,
Hollandspreken bahkan meloncatloncat. Dan mereka patuh.
Tak heran bila cerita Yang semacam ini, ketika sampai di
Holland, membikin orang merasa geram. Tak urung orang pun
membandingkan tingkah VOC di Deshima dan VOC di Batavia. Sebuah
lakon, misalnya, ditulis di tahun 1769, dengan tokoh Sultan
Ageng dari Banten. Di dalamnya seorang putri berkata lantang:
... di sini Belanda datang tanpa tahu,
manusia bebas di Jepang memperbudaknya sampa malu ....
Sayang kita tak tahu bertanyakah sang putri di lakon itu: kenapa
di Jepang orang Belanda cuma tamu yang dianggap lucu, sedang di
sini mereka bisa berkuasa sampai abad ke-20.
Dengan kata lain, kita memang ingin pasti adakah sejarah punya
sebab-sebab yang jelas. Tapi siapa tahu ia juga cuma sejumlah
kebetulan, aksiden-aksiden yang ekornya berkepanjangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini