Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Di jepang, mereka dipermalukan

Voc yang di batavia begitu berkuasa, ternyata begitu patuh ketika datang ke jepang. bahkan mereka bersedia dipermalukan. hal ini sulit untuk diketahui sebabnya, mungkin hanya kebetulan.

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAIN Deshima, lain Batavia. Di Batavia, di abad ke-17 itu, VOC adalah sebuah organisasi dagang asing yang dengan cepat jadi penakluk. Di kota itu orang Kompeni menemukan pangkalannya. Dari sini mereka menginm petugas dan pasukan, untuk mendeking raja-raja pribumi yang bertikai -- lalu minta bayaran. Dari sini pula para saudagar yang bersenjata itu mendiktekan kehendak mereka ke seluruh Hindia Timur. Dan dari sini mereka menjajah. Di Deshima, Jepang, mereka sebaliknya hanya tamu yang dikucilkan. Mereka tunduk kepada titah shogun yang empunya negeri. Penguasa Jepang itu memang mau menerima mereka -- satu-satunya bangsa Barat yang mereka kasih tempat -- karena orang Jepang tahu: para pedagang asing yang berjanggut merah itu datang bukan untuk Tuhan atau jajahan, melainkan untuk duit. Hal itu telah terbukti sebelumnya. Di tahun 1637, dengan suka hati para pendatang Belanda itu membantu pasukan shogun dengan artileri, untuk menggebuk puluhan ribu orang Nasrani Jepang di Shimabara. Orang-orang yang percaya pada Tuhan Yesus dibasmi dengan bantuan orang lain yang percaya pada Tuhan Yesus. Tentu, para saudagar Belanda, yang Protestan, tak merasa wajib menolong orang Kristen Jepang, yang Katolik. Sisa-sisa perebutan pengaruh antara Belanda dan Portugal, yang membawa Katolikisme ke Timur Jauh, masih terasa -- seperti halnya bara bekas perang agama di Eropa. Namun lebih dari itu, bantuan artileri Belanda di Shimabara itu menunjukkan satu hal: begitu gampang orang Kompeni itu berjual beli, juga dengan nyawa dan keyakinan. Dari dunia mereka yang mengejar untung hal itu tentu halal. Orang-orang Belanda yang kemudian dipindahkan ke Deshima di tahun 1641 itu memang khas orang VOC. Tak ada minat mereka yang lain kecuali mengurus bisnis. Selama 250 tahun di sana, catatan yang mereka tinggalkan hampir tak satu pun merekam hal ihwal kehidupan orang Jepang. Yang ada cuma kalkulasi dagang: laba-rugi, debet-kredit .... Aneh, memang. Masa itu adalah masa ketika Eropa sibuk mencari dan menjelajah. Perdagangan dan ilmu sedang bersemangat ke seluruh penjuru. Tapi apa yang disumbangkan bangsa Belanda tentang negeri elok di Timur itu bagi pengetahuan orang Eropa? Nihil. "Eropa tak berutang apa pun kepada bangsa ini dalam hal pengetahuan tentang Jepang," cerca Adam Krusenstern, seorang nakoda pengelana yang membawa utusan Rusia ke Nagasaki di tahun 1804. Bahkan Krusenstern mencatat hal lain yang baginya aib: bagaimana orang Belanda yang begitu berkuasa di Batavia, ternyata di bandar Jepang itu bersedia membongkok-bongkok di hadapan pejabat pribumi. Krusenstern mungkin agak bodoh untuk tak memahami kata pepatah, bahwa orang harus mengembik untuk masuk ke kandang kambing. Tapi sebelumnya, di akhir abad ke-17, tingkah para pedagang Kompeni itu memang lebih dari cuma mengembik di kandang kambing mereka mau jadi bahan tontonan. Seorang dokter Jerman yang ikut dengan mereka waktu menghadap shogun di Edo mencatat bagaimana lucunya kejadian itu. Orang-orang Belanda itu dengan enaknya oleh sang penguasa Jepang disuruh melepas toga, lalu berdiri, jalan, menari, saling memuji, bertingkah seperti orang mabuk, menyanyi, Hollandspreken bahkan meloncatloncat. Dan mereka patuh. Tak heran bila cerita Yang semacam ini, ketika sampai di Holland, membikin orang merasa geram. Tak urung orang pun membandingkan tingkah VOC di Deshima dan VOC di Batavia. Sebuah lakon, misalnya, ditulis di tahun 1769, dengan tokoh Sultan Ageng dari Banten. Di dalamnya seorang putri berkata lantang: ... di sini Belanda datang tanpa tahu, manusia bebas di Jepang memperbudaknya sampa malu .... Sayang kita tak tahu bertanyakah sang putri di lakon itu: kenapa di Jepang orang Belanda cuma tamu yang dianggap lucu, sedang di sini mereka bisa berkuasa sampai abad ke-20. Dengan kata lain, kita memang ingin pasti adakah sejarah punya sebab-sebab yang jelas. Tapi siapa tahu ia juga cuma sejumlah kebetulan, aksiden-aksiden yang ekornya berkepanjangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus