SESEKALI Hiroyuki Hattori menyeka keringat yang membasahi
wajahnya. Terik matahari Jakarta yang siang itu menerpa juga
telah membasahi baiunya. Hingar bingar memenuhi suasana: truk
pengangkut tanah yang berlalu-lalang, deru traktor pengeras
jalan serta suara ribuan mobil yang melintas perempatan
Pancoran, Jakarta Selatan. Di tengah kebisingan itu tak
henti-hentinya Hattori memberi petunjuk pada penyurvei
(surveyor) Indonesia yang mendampinginya.
Hattori, 28 tahun, adalah salah satu dari 18 insinyur Jepang
yang dipekerjakan oleh PT Hutama Karya, yang bekerja sama dengan
perusahaan Jepang, Takenaka-Nippo, dalam pembangunan jalan
layang Pancoran. Telah setahun ia berada d Indonesia, dan akan
tinggal di sini sampai tahun depan.
Kehadiran Hattori dan kawan-kawan ternyata tak menyenangkan
banyak karyawan Indonesia. "Di sini semua orang rata-rata tidak
suka pada mereka," kata salah seorang karyawan Hutama Karya. Ia
memang memuji tenaga Jepang itu karena mereka "tekun, disiplin,
dan teliti". Tapi kecamannya merupakan deretan panjang.
Orang-orang Jepang itu dianggap "suka memperpanas suasana
kerja," dan "cenderung menganggap orang Indonesia bodoh". Mereka
juga dianggap sering memperlakukan karyawan Indonesia seenaknya
dan kurang memperhatikan adat kebiasaan di sini. "Bayangkan
saja, kalau menunjuk, mereka suka pakai kaki," ujar seorang
insinyur Indonesia.
Yang tambah membuat keki -- dan mungkin juga iri -- karyawan
Indonesia adalah perbedaan gaji serta fasilitas. "Gaji mereka
rata-rata di atas Rp 1 juta, sedang kami orang Indonesia dengan
tingkat keterampilan yang sama paling banter menerima Rp 600
ribu," kata sumber itu. Fasilitas yang disediakan pun berbeda:
untuk orang Jepang disediakan kendaraan, mereka bisa membawa
keluarganya dan mengontrak di daerah perumahan mewah Pondok
Indah.
Kecaman seperti itu lazim dan telah lama terdengar. Namun tak
semua tuduhan itu terbukti. Hattori sendiri, yang menilai tenaga
Indonesia setaraf dengan orang Jepang, mengakui pertentangan
yang terkadang timbul diakibatkan oleh perbedaan sistem kerja
Indonesia dan Jepang. Hattori tidak tinggal di Pondok Indah.
Karena masih bujangan, ia tinggal di sebuah mess di Tebet
bersama 4 temannya (lihat: Yang Datang . . . ). Untuk mereka
disediakan kendaraan jip buat dipakai bergantian.
Namun kehadiran tenaga kerja asing di suatu negara memang hampir
selalu mengundang kecaman -- terutama bila mereka dianggap
merebut porsi tenaga lokal. Di Indonesia sendiri, tenaga asing
deras masuk sejak keran penanaman modal asing dibuka pada 1967.
Mula-mula mereka memang disambut gembira. Mereka dianggap akan
segera mengalihkan keahlian dan teknologi baru. Tapi benturan
ternyata kemudian terjadi.
Di sektor kehutanan, misalnya, banyak penebang kayu Filipina dan
Malaysia yang pada awal 1970-an bekerja di Kalimantan. Mereka
sering mengundang protes. Selain karena mereka menutup
kesempatan kerja buat tenaga Indonesia, juga bisa timbul
gara-gara lain: persoalan "kawin kontrak" buruh asing tersebut
dengan para wanita Indonesia. (TEMPO, Hukum, 11 Juni 1983).
Maka, sejak 1974, keluar Surat Keputusan Presiden Nomor 23.
Pembatasan penggunaan tenaga asing pendatang pun dilakukan.
Berdasar SK itu, Menteri Tenaga Kerja menetapkan jenis pekerjaan
yang terbuka dan tertutup bagi tenaga asing. Setiap enam bulan
daftar ini ditinjau dan diperbaharui. Sejak akhir 1982,
misalnya, jabatan juru masak di sektor minyak dan gas bumi
(migas) tertutup bagi tenaga asing. Alasan: tenaga Indonesia
dinilai telah mampu mengisinya.
"Bila tidak ada pembatasan dan Indonesianisasi, pada akhir 1982
jumlah tenaga kerja asing bisa mencapai 30 ribu orang," kata
Danang Joedonagoro, Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Departemen Tenaga Kerja.
Tapi tenaga asing, menurut Danang, tetap masih diperlukan di
beberapa sektor, terutama yang menggunakan teknologi baru.
Alasan ini pula yang menyebabkan mereka datang. Menurut catatan
BKPM, pada akhir 1982 ada sekitar 16 ribu tenaga asing di
Indonesia. Yang terbanyak berkebangsaan Jepang (3.300), Malaysia
(2.100), dan Amerika (2.000). Sektor yang paling banyak
mempekerjakan mereka adalah industri minyak dan gas, kehutanan,
dan bangunan.
Ada dua jenis tenaga asing di Indonesia: tenaga kerja yang
ditunjuk pemegang saham dan mewakili perusahaan asing, dan
tenaga teknis. Sebagian besar tenaga asing di sini adalah jenis
terakhir. Kehadiran mereka memerlukan berbagai izin, dari Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Departemen Tenaga Kerja,
Imigrasi, dan Laksusda. Izin ini bisa diperpanjang bila
kehadiran mereka dianggap masih diperlukan.
Jumlah tenaga asing di Indonesia ternyau terus bertambah,
sekalipun tidak begitu melonjak (lihat tabel). "Itu karena
penanaman modal asing dan proyek pembangunan bertambah, hingga
banyak jabatan baru yang terbuka," kata Danang. Ia menyebut
contoh di bidang minyak dan gas. Di sektor ini banyak tenaga
asing berjubel karena teknologi baru yang dipakai.
Teknologi baru tampaknya memang tak terelakkan. Perusahaan
pertambangan Freeport Indonesia Inc. (FII) di Tembagapura, Irian
Jaya, misalnya, sekarang ini mempekerjakan 285 karyawan Filipina
pada tambang bawah tanahnya. Mereka dianggap perlu, mengingat
metode block caving yang digunakan baru sejak 1981 diterapkan di
Indonesia. Di Filipina metode ini telah digunakan sejak 40 tahun
yang lalu.
Sekitar 150 tenaga asing yang saat ini bekerja di PT Caltex
Pacific Indonesia (CPI) dari keseluruhan 6.029 karyawan --
umumnya juga bekerja di bidang yang memakai teknologi baru.
Misalnya, di lapangan minyak Duri. Di sana digunakan proses
steamflood (penyemprotan uap untuk menaikkan minyak).
Mungkin itu sebabnya Baihaki Hakim Koordinator Eksplorasi dan
Produksi CPI beranggapan, "Selama teknologi masih berkembang,
kita masih membutuhkan tenaga kerja asing." Menurut dia,
Indonesianisasi di CPI hanya dilakukan "pada bidang yang
teknologinya sudah mapan". Ia menilai kebijaksanaan pemerintah
luwes: setiap ada teknologi baru, lapangan pekerjaan terbuka
untuk tenaga kerja asing, tetapi mereka harus didampingi tenaga
kerja Indonesia.
Dengan langkah itu tampaknya diharapkan tenaga Indonesia bisa
belajar teknologi baru itu, dan kemudian bisa mengambil alih
pekerjaan itu. Direktur Jenderal Danang Joedonagoro sendiri
menyebut adanya gagasan di kalangan instansinya untuk
mengeluarkan suatu peraturan yang mengharuskan setiap tenaga
asing didampingi dua orang "pendamping" buat lebih cepat
menyerap pengetahuan dari tamu-tamu ahli itu.
Namun bisakah tenaga Indonesia sepenuhnya bisa mengisi semua
jabatan? Banyak yang menyebut munculnya beberapa orang Indonesia
yang memegang jabatan puncak pada beberapa perusahaan asing
sebagai bukti keberhasilan Indonesianisasi. Misalnya, Direktur
Utama PT Unilever Indonesia Yamani Hasan, Direktur Utama PT Good
Year Indonesia Syahfiri Alim, dan Direktur Utama PT CPI Harun Al
Rasjid. Kedudukan mereka memang menonjol, karena ketiga
perusahaan tersebut perusahaan multi nasional yang besar.
Syahfiri Alim bahkan merupakan satu-satunya pribumi yang
memegang jabatan puncak dari 47 perusahaan Good Year di seluruh
dunia.
Di beberapa perusahaan multi nasional, Indonesianisasi seratus
persen memangtidak dimungkinkan. Misalnya, di PT Unilever
Indonesia. Perusahaan ini menganut prinsip: manajemen terbaik
adalah selalu manajemen campuran, -- terdiri dari berbagai
kebangsaan -- hingga memungkinkan terjadinya "penyerbukan silang
ide-ide". Karena itu beberapa tenaga Intonesia saat ini ada juga
bekerja di perusahaan Unilever di beberapa negan. Sebelum
menjabat direktur uuma, Yamani Hasan sendiri pernah memegang
jabatan manajer pemasaran di Rotterdam, Belanda.
Namun yang dianggap hambatan utama bagi Indonesianisasi
tampaknya adalah kualitas tenaga kerja Indonesia sendiri. "Dalam
disiplin kerja dan kualitas, tenaga Indonesia masih kalah jauh,"
kata Ketua BKPM Suhartoyo.
Ia bahkan sampai berkata: "Bila ada bule satu, semua beres."
Disebutnya contoh sebuah hotel di Indonesia tatkala dipimpin
oleh seorang asing, keadaannya rapi dan bersih. Tetapi, begitu
dialihkan ke orang Indonesia, segera kebersihan itu tidak
diperhatikan.
Menurut Suhartoyo, dalam motivasi kerja pun tenaga kerja
Indonesia kalah. Misalnya, yang bekerja di tengah hutan pada
perusahaan perkayuan, atau di tengah laut pada perusahaan
pengeboran minyak. "Mereka tidak uhan menderita dan kesepian,"
katanya.
Ini dibenarkan oleh Baihaki Hakim. "Kebanyakan orang profesional
di Indonesia maunya tinggal di kota besar," katanya.
Bila benar demikian, persoalan masih akan panjang. Menumbuhkan
disiplin dan motivasi kerja, rasanya lebih sulit dibanding
mendidik keahlian dan keterampilan. Salah satu cara ditawarkan
Suhartoyo: "Mungkin perlu dipertimbangkan agar perusahaan bisa
memberi gaji yang lebih tinggi pada tenaga kerja kita."
Pada banyak perusahaan asing, perbedaan gaji karyawan Indonesia
dengan asing memang cukup menyolok. Di Caltex, kabarnya, gaji
tenaga asing bisa dua atau tiga kali lipat tenaga Indonesia
dengan kualifikasi yang sama. Tentu saja alasan bisa diberikan.
"Perbedaan itu bukan karena diskriminasi, melainkan karena
pasaran," kata Victor Siburian, manajer Hubungan Masyarakat dan
Pemerintah PT CPI.
Tenaga kerja Amerika, kata Siburian, biasanya meminta gaji yang
lebih besar dari yang didapatnya di negerinya. "Soalnya, kalau
dia tak diberi tambahan, mana mau ia pergi jauh-jauh dari
negerinya sendiri," katanya. Victor sendiri, yang lulusan salah
satu perguruan tinggi di AS, tak merasa keberatan bahwa gaji
yang didapatnya menurut takaran gaji orang Indonesia. "Soalnya,
ini kan negara saya sendiri," katanya. Namun di CPI ada hal
lain: sekalipun gaji berbeda, fasilitas yang diterima tenaga
Indonesia yang setaraf kedudukannya tidak berbeda.
Di PT Good Year Indonesia, fasilitas perumahan dan kendaraan
yang diperoleh manajer senior Indonesia juga sama dengan tenaga
asing. "Bahkan untuk manajer Indonesia, rumah yang ditinggalinya
akan menjadi miliknya setelah ia mencapai usia pensiun," kata
Direktur Utama Syahfiri Alim.
Syahfiri menganggap, berkurangnya tenaga asing malah
menguntungkan perusahaan, mereka tidak perlu membayar mahal
dengan mendaungkan keluarga dan menyediakan fasilitas perumahan.
Di perusahaan yang dipimpinnya kini cuma ada enam tenaga asing
dan jumlah keseluruhan karyawan sebanyak 1.638 orang.
Pada PT Multi Bintang Indonesia, yang memproduksi bir Bintang,
gaji tenaga asing selal lebih tinggi. "Mereka kan harus
meninggalkan keluarga dan kampung halaman. Tenaga kita kalau
dikirim ke luar negeri, misalnya, ke pabrik bir di Papua Nugini,
juga mendapat far allowance," kata Katik Soeroso, orang ketiga
di Multi Bintang.
Tak semua karyawan Indonesia iri pada gaji tenaga asing yang
tinggi. "Mereka memang dibayar karena keahliannya," kata
Budiharto, 24 tahun, yang telah tiga tahun bekerja di PT Benua
Indah, salah satu industri perkayuan terpadu di Kalimantan
Barat. Di perusahaan yang mempekerjakan 13 tenaga asing dari
1.100 karyawan itu, kata Budiharto, tidak pernah terjadi
keributan karena perbedaan gaji karyawan Indonesia dan asing.
Tapi tanpa rasa iri, toh tak semua soal mudah. Mempekerjakan
tenaga asing melewati batas masa kerjanya bisa dikenai sanksi.
Denda itu berwujud iuran Wajib Pendidikan dan Latihan (IWPL)
yang berlaku sejak 1974. Pertengahan Maret lalu, Menteri Tenaga
Kerja menaikkan IWPL dari US$ 100 menjadi US$ 400 per orang
setiap bulan, berlaku surut sejak Januari 1983.
Kecuali sektor minyak dan gas, "karena peranan mereka yang
vital," kata Danang semua perusahaan bisa terkena sanksi
tersebut. Membayar IWPL tak menghilangkan kewajiban buat
perusahaan yang terkena untuk mengadakan program pendidikan dan
latihan pada tenaga Indonesia untuk mengganti tenaga asing. Dana
yang terkumpul dari IWPL digunakan untuk mengadakan pendidikan
bagi tenaga Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan masing-masing
departemen yang memungut iuran tersebut.
Pada umumnya perusahaan asing menerima kenaikan ini tanpa banyak
cingcong. "Latihan untuk tenaga kerja Indonesia memang
diperlukan. Jadi pemungutan itu wajar kalau dilihat dari sudut
itu," kata M. Komiya, Koordinator Perwakilan Mitsubishi
Corporation di Jakaru. Menurut pendapatnya pribadi, kenaikan itu
tidak terlalu berat bagi perusahaan patungan yang dimodali
Mitsubishi.
Melihat itu sasaran utama IWPI untuk mendorong pelaksanaan usaha
pengindonesiaan tenaga kerja tampaknya kurang tercapai. Kabarnya
banyak perusahaan asing yang menilai lebih murah membayar IWPL
daripada harus mendatangkan tenaga baru dari negara lain.
Peraturan tentang pembatasan tenaga asing memang masih banyak
bolongnya. Akibatnya cukup banyak tenaga asing yang bekerja
tanpa izin di Indonesia. Menurut suatu sumber di Departemen
Tenaga Kerja, ratusan juru masak dari Hong Kong dan Taiwan
sekarang ini secara gelap bekerja di Jakarta. Di Medan, banyak
juga pengusaha restoran yang mempekerjakan familinya dari Taiwan
dan Malaysia, yang datang ke Indonesia dengan visa wisatawan.
Malah ada tenaga asing yang melenggang masuk ke sini tanpa
sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja. Misalnya, yang datang
dari negara anggota ASEAN, hingga bebas dari keharusan memiliki
visa.
Pekan lalu saja, beberapa puluh tukang kayu Singapura tampak
membongkar pameran Indo Energy 1983 setelah usai diselenggarakan
di Arena Promosi dan Hiburan Jakarta (APHJ). Peralatan yang
mereka pergunakan cuma martil dan pencabut paku. Pekerjaan ini
sebenarnya dapat dilakukan pekerja Indonesia. Tapi buruh
Singapura datang karena penyelenggara pameran tersebut sebuah
perusahaan Singapura.
Kemungkinan masih adanya tenaga asing yang lolos dari berbagai
peraturan dan perizinan diakui oleh Direktur Jenderal Danang
Joedonagoro. "Pengawasan terhadap mereka memang perlu kita atur
lebih baik," katanya.
Jumlah mereka sebenarnya tak teramat sulit untuk dikontrol.
Bahkan menurut Ketua BKPM Suhartoyo, di sektor minyak dan gas,
perkayuan, dan industri kimia, tenaga asing sudah jauh
berkurang. Menurut perkiraannya, di sektor minyak dan gas
tenaga asing dalam lima tahun mendatang akan dapat diganti
tenaga Indonesia.
Namun ketinggalan Indonesia di bidang teknologi yang cukup jauh
dengan negara maju tampaknya masih akan menyebabkan kehadiran
tenaga asing masih akan lama di Indonesia. Yang bisa dilakukan
tampaknya adalah memperketat pengawasan terhadap masuknya tenaga
asing non-ahli, serta melipatgandakan pendidikan dan latihan
bagi tenaga pribumi.
Tindakan serupa juga dilakukan banyak negara lain. Singapura,
misalnya, dalam dua tahun mendaung akan memulangkan sekitar 20
ribu buruh asing -- terutama dari Filipina, Sri Lanka,
Muangthai, dan Indonesia. Langkah itu, menurut Menteri Tenaga
Kerja Wong Kwei Chong, merupakan bagian dari kebijaksanaan
Pemerintah Singapura untuk mendorong untuk memiliki seluruh
angkatan kerjanya sendiri pada 1992.
Indonesia sendiri, nampaknya, belum punya target seperti itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini