Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang datang, bekerja, dan makan...

Ada yang cuma menghabiskan waktu nongkrong di bar. ada yang keluar masuk kampung dan membikin buku. tapi tak semua pekerja asing bergaji lebih tinggi. mengapa pula mereka kerasan?

2 Juli 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Coffee Shop di lantai bawah Hotel Tambora, Kebayoran Baru, Jakarta, sejumlah lelaki Barat duduk menghadapi gelas. Di ruang remang-remang yang bising dengan musik disko itu pun banyak cewek ikut minum, atau hanya diam menunggu teguran. "Karno, bagaimana saya menerangkan tentang ayam yang bisa didapat di sini?" teriak seorang dengan aksen Inggris Amerika kepada pemilik warung kopi itu, ketika ditanya mengapa ia suka nongkrong di sini. Orang itu, ternyata datang dari Texas, seorang pekerja sebuah perusahaan pengeboran minyak lepas pantai. Itulah salah satu gambaran bagaimana pekerja asing di Indonesia menghabiskan waktu senggangnya. Sebuah gaya hidup yang bisa menimbulkan citra pemborosan, ugal-ugalan dan hal yang buruk lainnya. Di Coffee Shop itu memang sesekali terjadi pula perkelahian karena berebut perempuan. Dan Karno, si pemilik warung, memang sengaja membiarkan yang berkelahi. "Untuk atraksi sekalian," katanya kepada TEMPO. Risiko yang ditanggung Karno: sejumlah gelas dan botol hancur, satu dua kursi patah. Tapi agaknya itulah rahasia Karno berdagang. Buktinya, tempat itu hampir tiap malam selalu ramai dengan pekerja-pekerja bule. "Di Jakarta ini sulit mendapatkan kegiatan yang sesuai dengan kebudayaan kami," kata seorang dari Los Angeles, Amerika Serikat, yang mengaku bernama Louis. Buruh perusahaan pengeboran minyak berusia 38 tahun ini, masih bujangan, telah bekerja di Indonesia lebih dari tujuh tahun. Ia merupakan langganan tetap Coffee Shop Tambora. Empat malam dalam seminggu pasti si Louis ini nongkrong di situ, minum whiski, ditemani seorang cewek. "Di Los Angeles saya biasa menghabiskan waktu senggang dengan nonton baseball atau basketball," tutur Louis. "Tapi di Jakarta saya tak tahu di mana kegiatan itu diadakan. Juga saya tak tahu di mana harus nonton pertunjukan musik." Bila Louis yang sudah lama di sini itu pun masih kebingungan, bisa dibayangkan mereka yang baru satu-dua tahun menetap di Jakarta. Tapi sebenarnya ada ICAC (International Community Activity Center -- pusat kegiatan masyarakat asing) di Jakarta. Lembaga ini berdiri pada 1975, dengan tujuan "menolong pendatang baru untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan Indonesia," kata Kay Janeway-Fenton, direkturnya. Cuma lembaga ini rupanya lebih banyak berurusan dengan orang asing yang telah berkeluarga. Dari daftar kegiatannya nampak arah itu: ceramah tentang bagaimana bergaul dengan pembantu rumah tangga, kursus memasak masakan Indonesia, kursus membatik, mengadakan tour ke pasar-pasar, mengadakan acara anak-anak. Bisa dimengerti bila ICAC tak menarik buat orang semacam Louis. Itulah sebabnya ICAC hanya mencatat 1.500 anggota, sementara pekerja asing di Jakarta terdaftar sekitar 4.700. Tapi gaya Louis memang bukan satu-satunya gaya hidup orang asing di sini. Di Bandung misalnya, orang-orang asing mempunyai cara lain menghabiskan waktu senggang. Mereka sempat menerbitkan buku telepon khusus expatriates -- maklum orang-orang asing itu tak terdaftar pada buku telepon -- yang dijual Rp 1.500 per buku. Juga ada buletin dua mingguan, bernama What,s On. Isinya: jadwal kegiatan yang bisa diikuti orang asing, iklan mencari pembantu rumah tangga, dan iklan menjual barang karena pemiliknya akan pulang ke negeri sendiri. Ada pula Bandung International Theatre Society yang mengadakan pergelaran drama rata-rata 4 kali setahun. Dan bila libur panjang, bila para expatriates itu tak pulang kampung, mereka suka menjelajah sudut-sudut Indonesia. Turis jenis ini ternyata tak menyukai bimbingan pandu wisata. Mereka suka memilih jalan dan tempat sendiri. Bahkan ada yang suka berpetualang menjelajahi liku-liku Kota Bandung, dan kemudian menuliskan pengalaman mereka menjadi satu buku: Bandung & Beyond -- lengkap dengan peta dan keistimewaan lokasi yang dikisahkan. Selain itu ada acara rutin lain. Misalnya, Bandung Hash, lari lintas alam tiap Senin sore. "Pengikutnya rata-rata 200 orang tiap Seninnya," tutur Nyonya Wendi Ramsel orang Inggris yang telah tiga tahun tinggal di Bandung sebagai wakil kepala Bandung International School. Tentu saja acara itu tak hanya sekadar melelahkan tubuh, mencari keringat. Akhir lari lintas alam ini -- selalu berganti lintasan agar tidak membosankan adalah pesta bir. Dan di tiap Rabu ada pula acara yang sama tapi khusus untuk anak-anak. Dari sana mungkin terkesan hidup yang lebih santai dan makmur ketimbang di negeri asal. Tapi nampaknya tak semua mereka setuju. "Tidak," kata Kay Fenton, direktur ICAC. "Rumah saya di Amerika lebih besar daripada rumah saya di sini. Mobil saya di sini cuma satu, di sana dua." Toh diakuinya ada satu "kemewahan" di sini ialah gampangnya mencari pembantu rumah tangga. Juga: gaji yang tinggi, dengan dollar, di tengah negeri yang berkembang-kempis rupiahnya. Tapi Louis dari perusahaan pengeboran minyak bisa punya dalih tentang ini. Gaji yang besar itu, tuturnya, sebenarnya sesuai dengan keperluan: "Saya tak bisa meninggalkan kebiasaan sarapan dengan minum sekaleng orange juice yang di sini harganya lebih mahal daripada di Amerika." Kemudian tambahnya dengan bersemangat: "Dan kalian kan tak banyak yang tahu bahwa orang seperti saya ini tetap harus membayar pajak pendapatan kepada Pemerintah Amerika." Sementara itu bukan rahasia lagi: tarif sewa atau kontrak rumah buat orang asing bisa berlipat-lipat. "Harga kontrak rumah di Jakarta ini memang gila," kata Patrice Levang, orang Prancis yang bekerja sebagai penasihat di Departemen Transmigrasi. Ia yang tinggal di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, harus membayar kontrak US$ 24 ribu (sekitar Rp 35 juta) per tahun. Padahal tampaknya rumah itu tak tergolong sangat mewah: ada dua kamar, sebuah ruang tamu, sebuah ruang keluarga, dan pekarangan yang lumayan luas dengan tanaman. Cuma keluarga Levang kini bebas dari gangguan tetangga-tetangga yang suka mencubiti pipi anaknya, di tempat kontraknya yang lama, yang lebih murah. "Jadi sebenarnya pemilik rumah yang kami kontraklah yang seharusnya punya penghasilan yang mewah," tutur Nyonya Wendy Ramsel dari Bandung International School. "Sewa rumah di Bandung ini seperti di Central London saja." Ia menyebut daerah elite di London yang mahal. Tapi tak semua pekerja asing harus mengeluarkan puluhan ribu dollar untuk tempat tinggal. Ada yang cukup tinggal bersama-sama di sebuah rumah. Orang-orang Jepang yang bekerja dalam pembuatan jalan layang Cawang-Tomang, yang masih bujangan, dikontrakkan rumah di kawasan Tebet: satu rumah untuk lima orang. Hiroyuki Hattori, salah seorang di antaranya, mengaku tak tahu berapa besar kontrak rumah itu. Ia tinggal menempati. Ia tak banyak berfoya-foya: "Saya senang bekerja," katanya. Dan yang menarik, Hiroyuki dan kawan-kawannya hidup sehari-harinya mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ia misalnya, suka makan sate, mie goreng, dan nasi goreng. Rupanya memang ada beda gaya hidup Barat dan gaya hidup negeri Timur yang baru kejangkitan ethos kerja. Lihatlah cara hidup Yoon Suk Yong, direktur PT Miwon Indonesia di Gresik, Jawa Timur. Sarjana hukum dari Korea Selatan ini telah dua tahun di Gresik. Bahasa Indonesianya sudah fasih. "Saya dulu belajar dari karyawan saya," tuturnya. "Ia saya minta mengajari saya di rumah tiap hari, tiap malam." Ia juga mengaku tak banyak kesempatan rekreasi. Meskipun resminya jam kerja cuma sampai pukul 16.00, bapak dua anak ini suka bekerja sampai malam. Minggu? "Ya pergi ke gereja," jawabnya ringkas. Orang semacam Yook Suk Yong ternyata dikagumi bawahannya. "Dia memberikan contoh bagaimana harus bekerja, bukan cuma perintah ini-itu," tutur Wardoyo, salah seorang pejabat di PT Miwon. "Dan dia sabar sekali, seperti pastor saja," kata yang lain. Tak semua orang asing tentu seperti pastor yang sabar dan pergi ke gereja. Di antara mereka, misalnya, ada penari strip tease. Tapi seperti halnya Yook yang alim, di bidang ini pun orang senang. "Di Amerika saya harus bekerja 12 jam sehari," cerita Brandy, wanita hitam penari telanjang di Hayam Wuruk Theatre, Jakarta, "tapi di sini saya cuma bekerja 4 jam sehari." Ia juga tak banyak pusing bagaimana harus menghabiskan waktu senggang yang longgar itu. "Saya sering keluyuran dengan cowok-cowok sini," katanya. Para penari telanjang biasanya hanya dikontrak selama dua bulan: kadang diperpanjang kadang tidak. Mungkin singkatnya waktu mereka tinggal di sini bikin mereka praktis. Misalnya, Aje, penari strip tease dari Filipina yang dikontrak Hayam Wuruk Theatre. Ia menghabiskan waktu luangnya dengan berbelanja, jalan-jalan, atau baca novel. Habis. Jenis orang asing lain yang tak begitu pusing dengan waktu senggangnya ialah para volunteer atau pekerja suka rela. Mereka biasanya bekerja di lembaga-lembaga yang tidak komersial, misalnya di Lembaga Studi Pembangunan (LSP) atau di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Gaji mereka pun tak besar. Julia Larsen, misalnya, yang datang dari Australia dan bekerja di LSP. Cewek 24 tahun itu cuma mendapat Rp 150 ribu per bulan. Rumah di kawasan Jalan Hang Jebat, Jakarta, dikontraknya bersama tiga rekannya: Rp 3 juta untuk dua tahun. Itu mereka bayar dari uang simpanan mereka sewaktu bekerja di Australia. Praktis di sini mereka hidup jauh lebih sederhana daripada di negerinya sendiri. "Di Australia kami punya mobil," tutur Sue Skowron, 27 tahun, sarjana antropologi yang kini bekerja di Pusat Pengembangan Agribisnis. "Di sini, bila tak ada jemputan mobil, ke mana-mana kami naik bis," tuturnya. Mereka memang hidup sederhana, tak asing pula dengan lauk cuma tempe dan tahu. Tapi mengapa orang-orang itu seperti kerasan tinggal di Indonesia? "Tiap-tiap orang mempunyai alasannya sendiri," kata pekerja suka rela Peter Britton yang bekerja di LP3ES. Tapi umumnya para pekerja suka rela cuma untuk mencari pengalaman di negara Dunia Ketiga buat bahan penelitian. Ada juga alasan lain. "Kehidupan di Amerika bagi saya begitu kering, segalanya bisa diperhitungkan, membosankan," tutur Marta Felber, 53 tahun, penasihat di ICAC. Hujan emas di negeri orang? Atau rumput di sana yang nampak lebih hijau? Dia tentu termasuk kategori yang lain dibanding orang seperti Louis, misalnya. Di negeri sendiri Louis merasa susah mendapat kerja "yang seenak di sini."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus