DI Coffee Shop di lantai bawah Hotel Tambora, Kebayoran Baru,
Jakarta, sejumlah lelaki Barat duduk menghadapi gelas. Di ruang
remang-remang yang bising dengan musik disko itu pun banyak
cewek ikut minum, atau hanya diam menunggu teguran.
"Karno, bagaimana saya menerangkan tentang ayam yang bisa
didapat di sini?" teriak seorang dengan aksen Inggris Amerika
kepada pemilik warung kopi itu, ketika ditanya mengapa ia suka
nongkrong di sini. Orang itu, ternyata datang dari Texas,
seorang pekerja sebuah perusahaan pengeboran minyak lepas
pantai.
Itulah salah satu gambaran bagaimana pekerja asing di Indonesia
menghabiskan waktu senggangnya. Sebuah gaya hidup yang bisa
menimbulkan citra pemborosan, ugal-ugalan dan hal yang buruk
lainnya.
Di Coffee Shop itu memang sesekali terjadi pula perkelahian
karena berebut perempuan. Dan Karno, si pemilik warung, memang
sengaja membiarkan yang berkelahi. "Untuk atraksi sekalian,"
katanya kepada TEMPO.
Risiko yang ditanggung Karno: sejumlah gelas dan botol hancur,
satu dua kursi patah. Tapi agaknya itulah rahasia Karno
berdagang. Buktinya, tempat itu hampir tiap malam selalu ramai
dengan pekerja-pekerja bule.
"Di Jakarta ini sulit mendapatkan kegiatan yang sesuai dengan
kebudayaan kami," kata seorang dari Los Angeles, Amerika
Serikat, yang mengaku bernama Louis. Buruh perusahaan pengeboran
minyak berusia 38 tahun ini, masih bujangan, telah bekerja di
Indonesia lebih dari tujuh tahun. Ia merupakan langganan tetap
Coffee Shop Tambora. Empat malam dalam seminggu pasti si Louis
ini nongkrong di situ, minum whiski, ditemani seorang cewek.
"Di Los Angeles saya biasa menghabiskan waktu senggang dengan
nonton baseball atau basketball," tutur Louis. "Tapi di Jakarta
saya tak tahu di mana kegiatan itu diadakan. Juga saya tak tahu
di mana harus nonton pertunjukan musik." Bila Louis yang sudah
lama di sini itu pun masih kebingungan, bisa dibayangkan mereka
yang baru satu-dua tahun menetap di Jakarta.
Tapi sebenarnya ada ICAC (International Community Activity
Center -- pusat kegiatan masyarakat asing) di Jakarta. Lembaga
ini berdiri pada 1975, dengan tujuan "menolong pendatang baru
untuk menyesuaikan diri dengan kebudayaan Indonesia," kata Kay
Janeway-Fenton, direkturnya.
Cuma lembaga ini rupanya lebih banyak berurusan dengan orang
asing yang telah berkeluarga. Dari daftar kegiatannya nampak
arah itu: ceramah tentang bagaimana bergaul dengan pembantu
rumah tangga, kursus memasak masakan Indonesia, kursus membatik,
mengadakan tour ke pasar-pasar, mengadakan acara anak-anak.
Bisa dimengerti bila ICAC tak menarik buat orang semacam Louis.
Itulah sebabnya ICAC hanya mencatat 1.500 anggota, sementara
pekerja asing di Jakarta terdaftar sekitar 4.700.
Tapi gaya Louis memang bukan satu-satunya gaya hidup orang asing
di sini. Di Bandung misalnya, orang-orang asing mempunyai cara
lain menghabiskan waktu senggang. Mereka sempat menerbitkan buku
telepon khusus expatriates -- maklum orang-orang asing itu tak
terdaftar pada buku telepon -- yang dijual Rp 1.500 per buku.
Juga ada buletin dua mingguan, bernama What,s On. Isinya: jadwal
kegiatan yang bisa diikuti orang asing, iklan mencari pembantu
rumah tangga, dan iklan menjual barang karena pemiliknya akan
pulang ke negeri sendiri.
Ada pula Bandung International Theatre Society yang mengadakan
pergelaran drama rata-rata 4 kali setahun. Dan bila libur
panjang, bila para expatriates itu tak pulang kampung, mereka
suka menjelajah sudut-sudut Indonesia.
Turis jenis ini ternyata tak menyukai bimbingan pandu wisata.
Mereka suka memilih jalan dan tempat sendiri. Bahkan ada yang
suka berpetualang menjelajahi liku-liku Kota Bandung, dan
kemudian menuliskan pengalaman mereka menjadi satu buku:
Bandung & Beyond -- lengkap dengan peta dan keistimewaan
lokasi yang dikisahkan.
Selain itu ada acara rutin lain. Misalnya, Bandung Hash, lari
lintas alam tiap Senin sore. "Pengikutnya rata-rata 200 orang
tiap Seninnya," tutur Nyonya Wendi Ramsel orang Inggris yang
telah tiga tahun tinggal di Bandung sebagai wakil kepala Bandung
International School. Tentu saja acara itu tak hanya sekadar
melelahkan tubuh, mencari keringat. Akhir lari lintas alam ini
-- selalu berganti lintasan agar tidak membosankan adalah pesta
bir. Dan di tiap Rabu ada pula acara yang sama tapi khusus untuk
anak-anak.
Dari sana mungkin terkesan hidup yang lebih santai dan makmur
ketimbang di negeri asal. Tapi nampaknya tak semua mereka
setuju. "Tidak," kata Kay Fenton, direktur ICAC. "Rumah saya di
Amerika lebih besar daripada rumah saya di sini. Mobil saya di
sini cuma satu, di sana dua."
Toh diakuinya ada satu "kemewahan" di sini ialah gampangnya
mencari pembantu rumah tangga. Juga: gaji yang tinggi, dengan
dollar, di tengah negeri yang berkembang-kempis rupiahnya.
Tapi Louis dari perusahaan pengeboran minyak bisa punya dalih
tentang ini. Gaji yang besar itu, tuturnya, sebenarnya sesuai
dengan keperluan: "Saya tak bisa meninggalkan kebiasaan sarapan
dengan minum sekaleng orange juice yang di sini harganya lebih
mahal daripada di Amerika." Kemudian tambahnya dengan
bersemangat: "Dan kalian kan tak banyak yang tahu bahwa orang
seperti saya ini tetap harus membayar pajak pendapatan kepada
Pemerintah Amerika."
Sementara itu bukan rahasia lagi: tarif sewa atau kontrak rumah
buat orang asing bisa berlipat-lipat. "Harga kontrak rumah di
Jakarta ini memang gila," kata Patrice Levang, orang Prancis
yang bekerja sebagai penasihat di Departemen Transmigrasi.
Ia yang tinggal di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, harus
membayar kontrak US$ 24 ribu (sekitar Rp 35 juta) per tahun.
Padahal tampaknya rumah itu tak tergolong sangat mewah: ada dua
kamar, sebuah ruang tamu, sebuah ruang keluarga, dan pekarangan
yang lumayan luas dengan tanaman. Cuma keluarga Levang kini
bebas dari gangguan tetangga-tetangga yang suka mencubiti pipi
anaknya, di tempat kontraknya yang lama, yang lebih murah.
"Jadi sebenarnya pemilik rumah yang kami kontraklah yang
seharusnya punya penghasilan yang mewah," tutur Nyonya Wendy
Ramsel dari Bandung International School. "Sewa rumah di Bandung
ini seperti di Central London saja." Ia menyebut daerah elite di
London yang mahal.
Tapi tak semua pekerja asing harus mengeluarkan puluhan ribu
dollar untuk tempat tinggal. Ada yang cukup tinggal bersama-sama
di sebuah rumah. Orang-orang Jepang yang bekerja dalam pembuatan
jalan layang Cawang-Tomang, yang masih bujangan, dikontrakkan
rumah di kawasan Tebet: satu rumah untuk lima orang. Hiroyuki
Hattori, salah seorang di antaranya, mengaku tak tahu berapa
besar kontrak rumah itu. Ia tinggal menempati. Ia tak banyak
berfoya-foya: "Saya senang bekerja," katanya.
Dan yang menarik, Hiroyuki dan kawan-kawannya hidup
sehari-harinya mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan. Ia
misalnya, suka makan sate, mie goreng, dan nasi goreng.
Rupanya memang ada beda gaya hidup Barat dan gaya hidup negeri
Timur yang baru kejangkitan ethos kerja. Lihatlah cara hidup
Yoon Suk Yong, direktur PT Miwon Indonesia di Gresik, Jawa
Timur. Sarjana hukum dari Korea Selatan ini telah dua tahun di
Gresik. Bahasa Indonesianya sudah fasih. "Saya dulu belajar dari
karyawan saya," tuturnya. "Ia saya minta mengajari saya di rumah
tiap hari, tiap malam."
Ia juga mengaku tak banyak kesempatan rekreasi. Meskipun
resminya jam kerja cuma sampai pukul 16.00, bapak dua anak ini
suka bekerja sampai malam. Minggu? "Ya pergi ke gereja,"
jawabnya ringkas.
Orang semacam Yook Suk Yong ternyata dikagumi bawahannya. "Dia
memberikan contoh bagaimana harus bekerja, bukan cuma perintah
ini-itu," tutur Wardoyo, salah seorang pejabat di PT Miwon. "Dan
dia sabar sekali, seperti pastor saja," kata yang lain.
Tak semua orang asing tentu seperti pastor yang sabar dan pergi
ke gereja. Di antara mereka, misalnya, ada penari strip tease.
Tapi seperti halnya Yook yang alim, di bidang ini pun orang
senang. "Di Amerika saya harus bekerja 12 jam sehari," cerita
Brandy, wanita hitam penari telanjang di Hayam Wuruk Theatre,
Jakarta, "tapi di sini saya cuma bekerja 4 jam sehari."
Ia juga tak banyak pusing bagaimana harus menghabiskan waktu
senggang yang longgar itu. "Saya sering keluyuran dengan
cowok-cowok sini," katanya.
Para penari telanjang biasanya hanya dikontrak selama dua bulan:
kadang diperpanjang kadang tidak. Mungkin singkatnya waktu
mereka tinggal di sini bikin mereka praktis. Misalnya, Aje,
penari strip tease dari Filipina yang dikontrak Hayam Wuruk
Theatre. Ia menghabiskan waktu luangnya dengan berbelanja,
jalan-jalan, atau baca novel. Habis.
Jenis orang asing lain yang tak begitu pusing dengan waktu
senggangnya ialah para volunteer atau pekerja suka rela. Mereka
biasanya bekerja di lembaga-lembaga yang tidak komersial,
misalnya di Lembaga Studi Pembangunan (LSP) atau di Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES).
Gaji mereka pun tak besar. Julia Larsen, misalnya, yang datang
dari Australia dan bekerja di LSP. Cewek 24 tahun itu cuma
mendapat Rp 150 ribu per bulan. Rumah di kawasan Jalan Hang
Jebat, Jakarta, dikontraknya bersama tiga rekannya: Rp 3 juta
untuk dua tahun. Itu mereka bayar dari uang simpanan mereka
sewaktu bekerja di Australia.
Praktis di sini mereka hidup jauh lebih sederhana daripada di
negerinya sendiri. "Di Australia kami punya mobil," tutur Sue
Skowron, 27 tahun, sarjana antropologi yang kini bekerja di
Pusat Pengembangan Agribisnis. "Di sini, bila tak ada jemputan
mobil, ke mana-mana kami naik bis," tuturnya. Mereka memang
hidup sederhana, tak asing pula dengan lauk cuma tempe dan tahu.
Tapi mengapa orang-orang itu seperti kerasan tinggal di
Indonesia? "Tiap-tiap orang mempunyai alasannya sendiri," kata
pekerja suka rela Peter Britton yang bekerja di LP3ES. Tapi
umumnya para pekerja suka rela cuma untuk mencari pengalaman di
negara Dunia Ketiga buat bahan penelitian.
Ada juga alasan lain. "Kehidupan di Amerika bagi saya begitu
kering, segalanya bisa diperhitungkan, membosankan," tutur Marta
Felber, 53 tahun, penasihat di ICAC.
Hujan emas di negeri orang? Atau rumput di sana yang nampak
lebih hijau? Dia tentu termasuk kategori yang lain dibanding
orang seperti Louis, misalnya. Di negeri sendiri Louis merasa
susah mendapat kerja "yang seenak di sini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini