BERIBU kali mendengar apa yang disebut manusia mesin, sekrup, onderdil, hantu rutinitas. Tapi kalau melihat, apalagi mengalami sendiri, Anda akan mengerti apa artinya jiwa yang tak bisa bernapas. Di situ makna tertinggi kemerdekaan terungkap: membayang-bayangkan kebebasan itu siksaan, membayang-bayangkan penjara itu kenikmatan. Mungkin Anda hanya harus duduk dan menyambung alat pencukur ketangkainya. Itu cukup dikerjakan beberapa detik, tapi mesti dapat diselesaikan 6.000 biji sehari. Atau Anda tak boleh terlambat satu detik pun - karena kedua benda itu keluar dari mesin dalam ritme tertentu dan Anda mesti mengikutinya. Di bagian lain, "ketepatan musikal" itu mutlak perlu - sebab, kalau tidak, seluruh mesin akan macet dan sekalian buruh akan naik pitam. Begitu ringannya pekerjaan itu, tetapi satu dua jam cukup untuk mengerti apa arti neraka. Atau Anda cukup mengontrol barisan ribuan botol kecil yang tumpah dari mesin - jangan sampai ada yang "anarkis" keluar barisan - maka jadilah Anda pemain silat yang lihai sepanjang hari. DI dalam derap rutinitas, yang tak memberi ruang sejengkalpun bagi napas jiwa Anda, Anda tidak tahu di mana sebenarnya Anda berada selama delapan jam sehari itu. Dan kalau itu harus berlangsung sepanjang hidup, 30 tahun masa dewasa dan baya usia, Anda bisa gila. Liburan, bir, film seks, musik yang memabukkan, amat sangat penting. Apalagi kalau kerjanya mesti angkat besi 20 ton sehari dari truk ke dalam pabrik, atau segala yang merusakkan saraf dan menindas tenaga di pabrik - di masa tua Anda akan menjadi arif, atau terus ngomel sendiri sepanjang jalan. Di Eropa Barat, di kehidupan yang amat mengasingkan, dengan rumah-rumah bagaikan gua mewah yang penuh gembok dan kunci otomatis, bertambahnya usia Anda akan menumpukkan ancaman. Orang telanjur terlalu jauh membebaskan diri dari "neraka orang lain". Individu direbut sedemikian rupa sampai pada taraf setiap orang kaget - bahwa sesungguhnya banyak bagian dari dirinya yang justru bisa ditemukan pada orang-orang lain. Jaminan dan santunan atas individu diserahkan tidak kepada manusia, melainkan kepada sistem sosial - yang kini begitu anggun, mewah, perkasa, tapi tak mampu menyodorkan kehangatan kemanusiaan. Maka, makin tua Anda makin cemas: tak akan kelaparan atau mati kedinginan, tapi akan selalu termangu dan bertanya: untuk siapa, dan apa, gerangan, aku bekerja keras hampir sepanjang hidup, jika akhirnya harga manusiaku makin sayup dari keberadaanku? Itu barangkali salah satu alasan orang bisa patah hati pada kemakmuran model itu. Dengan kemakmuran, orang sesungguhnya membayangkan suatu wadah dan tenaga untuk kehangatan dan cinta kasih, tapi yang terjadi adalah suatu bangunan besar kesejahteraan yang memojokkan. Padahal, ada berpuluh alasan lain yang juga tampil. Sesudah struktur ekonomi orang + orang + alam, lantas orang + alat + alam, kini keadaan berkembang menuju alat + alam. Manusia hilang. Sesudah dipertarungkan sistem-sistem bagaimana mengorganisasikan kerja dan alat produksi, hubungan produksi dan kekuatan produksi, saling-silang permintaan dan penawaran, kini sejarah terus ditantang oleh komplikasi pembagian kerja dan pembagian hasil. Selalu ada yang sangat makmur, yang makmur, agak makmur, dan sama sekali tidak makmur, sementara pemerataan itu bayangan yang tak jelas sosoknya. Untuk siapa gerangan aku bekerja keras? Jika rabun-tidaknya mataku, Jika tenaga tubuh dan keterampilan tanganku diukur persis nilai kapasitas produksinya, maka ke tangansiapakah janji kesejahteraan produksi akan sampai? Dan, lagi, di tengah mesin besar lambang abad ke-20 ini, siapakah aku? Banyak orang, setidaknya di Jerman Barat - "negeri teknologi garda depan Eropa Barat" - menolak keterasingan itu. "Di negeri kapitalis maupun sosialis orang tak jelas kerja buat siapa," kata seorang insinyur dari Frankfurt. "Hubungan kerja yang berlangsung adalah hubungan antara majikan dan buruh, subyek dan obyek, bukan manusla dan manusla: saya bisa menjadi mandor, tapi sesungguhnya saya budak gurita raksasa multinasional yang di negara Dunia Ketiga diidam-idamkan". Seperti rekan-rekannya yang tergabung dalam Grune Liste dan Alternatif Liste, ia mengadakan perhitungan total dengan hidup: memutuskan untuk merintis "suatu desa manusia". Itu adalah kebahagiaan pertama, tempat ia bisa menolak menjadi warga dunia besar yang menentukan hidupnya tanpa ia bisa ikut menentukan apa-apa. Dengan sekelompok rekan ia menyewa tanah di Vilbel, desa pinggiran kota bank, Frankfurt. Ini lebih dari sekadar pelarian oleh kekecewaan terhadap sistem: mereka mencari cinta. Menciptakan hubungan antara manusia dan alam yang emansipatif, keseimbangan manusia dan lingkungan, berhenti dari kerakusan eksploatasi yang membunuh kemampuan alam. Mereka bikin pertanian dengan mempertimbangkan ekosistemnya. Rotasi 12 tanaman untuk maksimalisasi produksi dengan tetap memelihara kesuburan tanah, sekaligus menolak pupuk kimia. Tak menolak teknik, tapi teknologi pertanian diperlukan sejauh untuk menjaga keseimbangan, sambil menghindarkan pencemaran udara maupun air. Proyek mereka ini, tiba-tiba, terasa religius. Bukan hanya sikap mereka terhadap alam juga bagaimana mereka mengatur komunitas desa mereka. Tanpa dibantu pemerintah (karena yang dibantu hanya para petani pemakai pupuk kimia), produksi mereka meluap. Toko-toko kecil mereka di kota didatangi orang, dan uang masuk. Tapi mereka menolak pemilikan: "Alam ini titipan Tuhan, juga kemampuan otak kita untuk mengolahnya", kata mereka. Maka, di tutup buku akhir tahun, hasil dibanding keperluan hidup selalu nol. Apa yang disebut laba, "bukan milik kami, tapi milik Tuhan untuk umat manusia" - jadi mereka salurkan buat kegiatan sosial. Mereka "amal jariyah"-kan. Desa mereka itu sendiri, bagai sebuah pesantren kecil, penuh kebersahajaan. Akrab dengan tanah dan segala "kotoran", makan secara arisan antarkeluarga, seperti tumbuh kembali masa silam, mata yang polos dan cahaya wajah yang menemukan kembali harapan yang lebih dalam dari tawaran benda-benda. Tapi jangan bayangkan surga. "Kelompok hijau" ini di Jerman Barat memang cukup besar, tapi ia hanya bisa lahir dari kejenuhan atau keputusasaan rohaniah terhadap gemerlap yang semula dicita-citakan. Ia bukan pepohonan yang kini bisa tumbuh di iklim seperti Indonesia yang sedang rakus-rakusnya. Anda juga bisa bertanya: Apa standar keperluan hidup sehari-hari komunitas seperti ini? Putra-putri mereka bisa juga ingin makan mewah, mengikuti mode pakaian, nonton film dan musik rock, beli mobil, dan segala sesuatu yang "normal". Apa semua mereka bersedia hidup pas-pasan, dengan sisa jualan diberikan orang lain, meski demi keluhuran nilai apa pun? Besok pagi akan menjawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini