Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sebuah islam dengan keanekaragaman

Pengarang: fachry ali bandung: mizan, 1984 resensi oleh: goenawan mohamad. (bk)

2 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISLAM, IDEOLOGI DUNIA DAN DOMINASI STRUKTURAL Oleh: Fachry Ali, Penerbit: Mizan, Bandung, 1984 128 halaman JIKA ada yang layak mendapat perhatian dari dunia intelektual Indonesia selama beberapa belas tahun terakhir ini, maka itu datang dari kaum cendekiawan Islam. Dalam pengertian saya, yang termasuk kalangan yang terakhir itU ialah seorang yang punya riwayat erat dengan gerakan sosial politik dan pendidikan Islam, dengan pemikiran yang dinyatakan sebagai suara seorang Islam. Dibandingkan dengan kalangan cendekiawan Indonesia lain - mereka yang punya latar belakang pergerakan nasionalis, misalnya - mengalirnya tulisan dari kalangan yang dulu dicemooh oleh Almarhum Hadisubeno, pemimpin PNI, sebagai "kaum sarungan" ini memang deras sekali. Buku, risalah pendek, artikel, ceramah polemik, dan lain-iain telah menampilkan nama yang kini terkenal, seperti Nurcholish Madjid, Endang Syaifuddin Anshari, Imaddudin, Abdurrahman Wahid, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, Harun Nasution, Syafei Maarief, dan Syu'bah Asa. Fachry Ali adalah salah satu yang termuda di antaranya (ia lahir di tahun 1954), dan di samping Dawam Rahardjo serta Abdurrahman Wahid, yang paling subur tulisannya. Yang tak kurang pentingnya ialah buah pikiran yang lahir dari deretan nama itu menampakkan satu bianglala yang mengandung pelbagai warna dan dengan spektrum yang cukup terbentang. Ketidakakuran antara mereka bisa sangat sengit, konon - buku catatan harian Ahmad Wahib almarhum kabarnya pernah dilarang dibaca di kalangan cendekiawan Muslim tertentu - tapi itu justru memperlihatkan satu khasanah yang, jika dilihat dalam perspektif sejarah, mungkin layak direkam. Pada zaman lampau, di dunia Islam di luar Indonesia, pertentangan paham dan bantah-membantah sebenarnya galib dan asyik diikuti bagi yang ingin menimba pengetahuan (jika kita perhatikan kumpulan terjemahan Nurcholish Madjid, Khasanah Intelektual Islam). Perbedaan, bahkan pertentangan pikiran, yang ada dewasa ini karenanya tak teramat aneh - meskipun tak semua pihak mau menerima pluralisme (dan sedikit keributan) seperti itu. Buku kecil Fachry, saya kira, akan menegaskan pluralisme itu: bukan cuma sebagai sumbangan pikiran yang agak sulaya dari umumnya pemikiran yang ada, tapi juga karena Fachry memang menegaskan kebmekaan Islam. Khususnya sebagai yang tersurat dalam bab terakhir - dan terbagus - dari buku ini, yakni bab VI. Bab ini dibuka dengan sebuah anekdot. Sang penulis suatu hari bertemu dengan Dr. Futaki, tokoh Islam di Jepang. Futaki bertanya kepadanya kenapa agama Islam melarang meminum anggur. Padahal, konsumen anggur di dunia sedang naik jumlahnya, dan anggur karena itu bisa jadi potensi ekonomi Tampaknya, bagi Fachry, pertanyaan ini mencerminkan suatu "varian" dalam sikap orang Islam. Tulisnya: "Dengan kasus ini, sedikit banyak kita menyadari bahwa Islam, yang telah tersebar ke seluruh dunia, menemukan kenyataan-kenyataan lain yang harus dihadapi. Suatu kenyataan yang memperlihatkan bahwa variasi kelompok ataupun wilayah yang menerima Islam akan segera pula melahirkan variasi versi keislaman." Fachry Ali, dengan kata lain, menunjukkan kemampuannya untuk menampilkan suatu cara memandang yang jarang sekali terdapat dalam buah pikiran cendekiawan Islam di Indonesia sebelumnya, yakni cara memandang secara historis. Islam, seperti dikatakannya (halaman 122), adalah "sebuah lembaran nilai yang "netral", dan mengejawantah dalam proses "penyejarahan". Titik antara saat turunnya Sabda "Bacalah!" di Gua Hira sampai dengan titik kenyataan umat Islam sekarang, di pelbagai tempat di muka bumi, bukanlah sebuah garis yang kosong. "Karena itu pula," tulis Fachry, kita "harus ikhlas menerima hasil-hasil - walau tidak diinginkan sekalipun - yang dibentuk oleh lingkungan yang di dalamnya Islam berkembang." Pandangan seperti itu, yang mendasarkan diri pada pengamatan atas kenyataan sejarah, memang berbeda. bahkan bertolak belakang, dengan pandangan yang melihat Islam murni sebagai ajaran. Fachry Ali menerima perbedaan dan perubahan, dan konsekuensi sebuah pandangan historis ialah bahwa ia tak melihat perkembangan sejarah sebagai proses pencemaran. Posisi ini dengan sendirinya memungkinkan seorang Islam terbebas dari rasa cemas berkepanjangan, dan bahkan bisa (sesuai dengan semangat religius yang hakiki) mensyukun kehadlrannya di dunia, dalam sejarah, dengan segala cacatnya. Tapi tentu saja suara seperti yang dibawakan Fachry tak akan dianggap cocok dengan pandangan yang melihat keadaan dunia Islam kini pada titik rcndah, terancam punah atau kotor, dan karenanya harus waspada. Fachry memang, saya kira, bukan seorang anggota "seksi waspada" di kalangan cendekiawan Islam kini. Walaupun buku ini memakai kata-kata "dominasi struktural" dan biasanya para pemakai kata "struktural" yang lagi laku sekarang punya suara yang tajam atau marah - pandangannya di bab terakhir ini tak mencerminkan sikap antagonistis yang lazim. Menurut Fachry, "Persoalan-persoalan yang dihadapi di dalam Islam bukanlah masalah Timur dan Barat, juga bukan persoalan modern dan tradisional." Persoalan yang dihadapi orang Islam adalah "suatu hal yang bersifat universal: sampai sejauh manakah kondisi dan situasi yang berkembang di dunia membebaskan atau memberi wadah bagi manusia untuk mengaktualisasi-kan nilai-nilai kemanusiaannya." Dalam kata-kata saya: bagaimana manusia terus-menerus menciptakan kemungkinan agar ia tetap hidup sesuai dengan harkatnya. Fachry, dengan singkat, telah berani melepaskan diri dari pola pemikiran yang sangat dominan di kalangan cendekiawan Islam selama ini, yang melihat hampir segala problem yang sedang merundung dari sudut pandangan "Barat vs. Islam". Dari sini pintu memang terbuka ke arah semangat "eklektik" - yang sebenarnya disediakan oleh sikap "pragmatis" Nabi: kalau perlu, cari ilmu sampai ke Negeri Cina. Dari ini pula, Islam tak hendak dikucilkan dari perjuangan manusia lain pada umumnya, yang punya (dalam kata-kata Fachry di halaman terakhir) "misi pembebasan umat manusia". BAGI orang yang yakin bahwa Islam adalah satu-satunya ajaran yang punya misi seperti itu di dunia kini - dan lazimnya yang dimaksud "Islam" di situ adalah Islam menurut versinya - pernyataan Fachry memang sulit ditelan, bahkan lebih baik dimuntahkan. Bagi yang melihat Barat sebagai ancaman atau setan, pandangan Fachry bahkan bisa dianggap subversif. Dan bagi mereka yang ingin mclihat Islam kembali "satu" seperti di masa Rasulullah dulu (yaitu di Medinah dan di Mekkah yang latar sosial dan sejarahnya relatif homogen), pikiran Fachry memang terasa seperti menolak "pemurnian kembali". Tapi toh Fachry tidak sembarangan: dia mungkin hampir tak pernah mengutip Quran dan hadis di buku ini, tapi dia memang berbicara dengan sikap seorang pengamat dan penganalisa - seraya tetap berbicara sebagai "orang dalam" kalangan Islam. Ia mengambil jarak, tapi la tetap tak menjadikan soal-soal umat Islam sekadar sebagai obyek telaah. Mungkin itu sebabnya, dalam cara bicara dan merumuskan, ia (seperti siapa saja yang mengambil posisi itu) terasa agak mengalami kesulitan. Sejak bab pertama sampai dengan bab kelima - yang menurut saya bukan bagian yang menarik dalam buku ini - penulis sering menampilkan nada yang ambivalen, mendua, antara pemaparan fakta dan penilaiannya tentang fakta itu. Misalnya, tentang revolusi Turki (hal. 92-96). Dan mungkin itu pula sebabnya Fachry menggunakan gaya penulisan yang kini laim di kalangan ilmuwan sosial Indonesia yang bagi selera saya agak lamban dan remang, tapi mungkin penting untuk menunjukkan sikap teduh dan tak sembrono. Sikap itu agaknya perlu, karena inti yang dikemukakan Fachry sebenarnya kontroversial sementara keleluasaan berbicara tentang perkara yang satu ini belum memadai. Toh dengan itu buku Fachry ini tak kehilangan harganya, juga suatu isyarat bahwa di Indonesia pemikiran Islam lebih hidup, tak cuma itu-itu juga, dibanding, misalnya - sepanjang yang saya ketahui - di negeri lain. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus