Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WIKILEAKS sejatinya menampilkan bocoran informasi kawat rahasia diplomat Amerika Serikat yang belum teruji kebenarannya. Orang-orang kedutaan AS di seluruh dunia, termasuk di Jakarta dan Surabaya, memperoleh informasi dari hasil chit-chat dengan banyak sumber, mulai pejabat pemerintah sampai aktivis lembaga swadaya masyarakat. Obrolan bisa dilakukan di mana saja, di jamuan kenegaraan, pesta koktail, kafe, warung kopi, juga di kantor-kantor.
Informasi berupa background, gosip, desas-desus, dan kabar burung itu lalu disusun serta dilaporkan secara sepihak. Tak ada konfirmasi ihwal kebenarannya. Kadar akurasinya bisa bergerak dari meragukan sampai sangat bisa dipercaya. Tapi tak ada yang menyangkal bahwa kawat rahasia itu benar-benar maujud. Situs spesialis pembocor kawat rahasia itu bukan mengutip sumber bodong.
Materi inilah yang dijadikan berita utama The Age dan Sydney Morning Herald. Reaksi tokoh yang disebut bisa jadi petunjuk kadar kebenaran bocoran ini—walau sikap politik sang tokoh terhadap pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono saat ini perlu diperhitungkan.
Ambil contoh cara Jusuf Kalla menang dalam perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar pada 2004. Ia dikisahkan telah menebar banyak duit. Meski mengoreksi besaran uang serta motifnya, Kalla mengakui kebenaran bocoran itu. Walaupun Kalla—yang sekarang bersikap sangat kritis terhadap Yudhoyono—keberatan disebut menyuap, pengakuannya bisa menjadi petunjuk awal bahwa permainan uang yang disebut WikiLeaks bukan isapan jempol belaka. Bahwa politik uang pada saat Kalla menjabat wakil presiden itu melanggar hukum, masih perlu bukti lebih lanjut.
Begitu pula ketika kedua harian Australia itu memberitakan bahwa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mengintervensi penegak hukum yang menangani sengketa kepengurusan Partai Kebangkitan Bangsa. Jamak terdengar ketika itu bahwa Istana lebih berpihak kepada Ketua Umum Muhaimin Iskandar ketimbang seterunya, Ketua Dewan Syura Abdurrahman Wahid. Faktanya, Gus Dur tersingkir. Kemelut itu akhirnya dimenangi Muhaimin—yang sampai kini mengabdikan partainya sebagai penyokong fanatik pemerintah. Akal sehat rasanya susah menafikan kebenaran isu intervensi ini.
Ada juga bocoran yang tak jelas juntrungannya. Presiden Yudhoyono dikabarkan meminta Hendarman Supandji, saat itu Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, menghentikan perkara korupsi Taufiq Kiemas, suami Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, dalam proyek Jakarta Outer Ring Road. Sejauh yang bisa ditelusuri, Taufiq Kiemas, kini Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, belum pernah berurusan dengan perkara ini.
Pemerintah tak usah panik dalam merespons berita yang sengaja dimunculkan bertepatan dengan kunjungan Wakil Presiden Boediono di Negeri Kanguru itu. Surat pembaca yang dikirim Presiden kepada dua media itu barangkali sementara akan meredam isu ini. Tapi bukan berarti tak perlu ada tindakan lebih jauh. Meskipun bocoran kali ini dinilai Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Scot Marciel, sebagai ”apa adanya, mentah, dan belum lengkap”, masih banyak bocoran yang akan berdatangan. WikiLeaks mengaku memperoleh 3.059 item dari Kedutaan AS di Jakarta, separuhnya berupa dokumen rahasia.
Ketimbang berulang kali menegaskan bahwa hasil liputan kedua koran terkemuka di Australia itu merupakan berita sampah, mending pemerintah menjadikannya sebagai pelajaran untuk melakukan introspeksi. Namanya juga kawat diplomatik, fakta yang sesungguhnya bisa lebih tajam atau sebaliknya. Secuil demi secuil informasi itu, kalau kelak dikompilasi dan dikonfirmasi dengan saksama oleh penggunanya, bukan mustahil menjadi bahan yang utuh dan karenanya mempunyai nilai kebenaran lebih kuat.
Zaman teknologi informasi ini membuat tak ada satu pun negara bisa menghindar dari kebebasan informasi. Berita sensitif bukan lagi merupakan rahasia negara yang mudah ditutup-tutupi. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy pernah dilukiskan sebagai pria berkulit tipis yang otoriter. Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi sering disebut pemimpin lemah yang kurang tidur lantaran doyan pesta hingga larut malam.
Sejauh ini memang belum ada implikasi hukum apa pun atas bocoran informasi ala WikiLeaks ini bagi para tokoh yang disebutkan di dalamnya. Namun fenomena ini bisa menjadi peringatan serius bagi para politikus dan pemimpin bangsa ini, termasuk presiden. Mereka tak punya pilihan selain terus menciptakan tatanan dan menjunjung tinggi etika politik. Praktek buruk intervensi, penyalahgunaan kekuasaan, politik uang, menggalang dana dengan cara tak patut, dan ”main-main proyek” untuk menambang rezeki harus dipastikan tidak terjadi. Presiden sesungguhnya tidak perlu menunggu WikiLeaks untuk menjalankan pemerintahan dengan cara lebih baik dan bersih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo