Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepulan asap putih beraroma gaharu membubung dari tungku parukuyan (pemujaan). Angklung gubrak, angklung dari bambu-bambu besar dan tinggi yang bernada monoton, mulai dipukul-pukul sebagai tanda awal upacara puncak Seren Taun Gurubumi di Kampung Pasir Eurih, Desa Sindang Barang, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, pada Jumat, 21 Januari lalu. Inilah upacara tahunan penyerahan hasil bumi seusai panen di desa permai di kaki Gunung Salak itu setelah puluhan tahun tak digelar.
Puluhan warga berpakaian rengkon, pakaian tradisional Sunda yang serba hitam, lengkap dengan ikat kepalanya, berkumpul di imah Bali pada Jumat, 21 Januari lalu. Imah atau rumah di tepi Jalan Raya Pasir Eurih itu milik kokolot (sesepuh) desa, yang terletak sekitar enam kilometer dari Bogor.
Setelah pembacaan doa yang dipimpin seorang kokolot, aleutan atau iring-iringan itu mulai berjalan untuk mengambil air di tujuh mata air, yakni mata air Cipamali, Cimalipah, Cimaheja, Cikubang, Jalatunda, Ciputri, dan Cieming. Kecuali di Sumur Jalatunda, kokolot mengambil air sekitar satu kendi di setiap tempat itu dengan menggunakan kekel, bambu berdiameter sekitar 15 sentimeter dan panjang 30 sentimeter.
Tempat pertama yang dikunjungi adalah mata air Cipamali di tepi Sungai Cipamali, tak jauh dari rumah kokolot. Mata air itu tepat berada di bawah jembatan Cipamali, yang dianggap pula seÂbagai gerbang masuk kawasan Sindang Barang.
Kemudian rombongan bergerak ke Cimalipah, sekitar 150 meter dari mata air Cipamali, dan dua mata air lain yang berdekatan, Cimaheja dan Cikubang. Menurut Encem Masta, salah satu kokolot di sana, Cimalipah dan Cimaheja dulu adalah tampian atau pancuran mandi. Adapun Cikubang adalah tempat memandikan peliharaan raja, seperti kuda. Kini ketiga tempat tersebut jadi tempat mandi dan mencuci warga sekitar. Letaknya pun berada di belakang rumah penduduk.
Ketiga mata air itu, bersama Sumur Jalatunda, berada di bagian selatan Jalan Raya Pasir Eurih. Sedangkan mata air Ciputri dan Cieming berada di bagian utaranya. Ciputri, yang kini juga jadi tempat mandi warga, konon dulunya merupakan tempat mandi putri raja. Adapun Cieming, menurut legenda, dulu adalah tampian milik Mak Eming, seorang tokoh perempuan sakti.
Sumber air terpenting adalah Sumur Jalatunda, yang kini dirawat Encem Masta. Nama itu dari bahasa Sanskerta, yang artinya mulut air. ”Walau hujan deras airnya tak bertambah, walau kemarau airnya tak berkurang,” kata Encem, yang rumahnya hanya sepelemparan batu dari tempat itu, tentang kelebihan mata air ini.
Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia yang pertama meneliti benda purbakala di kawasan ini, memperkirakan sumur ini dulu meruÂpaÂkan pancuran batu dan, menurut warga, bentuknya dulu berupa sumur bulat. Tapi, untuk mempertahankannya, masyarakat kemudian mengeraskannya dengan batu dan menyemen dinding mata air jadi berbentuk segi empat.
Tempat seluas sekitar 3 x 4 meter itu kini dikelilingi tembok setinggi manusia. Di dalamnya terdapat satu sumber air kecil dekat pintu masuk dan sebuah sumber air besar. Di sana juga terdapat tiga batu bulat bersusun yang sering digunakan untuk bersemadi. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata telah menetapkan situs ini sebagai kawasan cagar budaya dan menempatkan sebuah tiang dengan papan biru muda yang mengumumkan hal tersebut di salah satu pojoknya.
Menurut Encem, sumur yang dinaungi rumpun bambu lebat itu peninggalan kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran (sekitar abad ke-15 hingga awal abad ke-16 Masehi). Masyarakat setempat menyebut sumur ini Tugu, karena, menurut legenda, di atas susunan batu itu dulu ada sebuah batu menhir. ”Tapi, ketika Pajajaran jatuh karena diserang kerajaan Banten, batu ini diambil dan dibawa ke Pelabuhan Ratu, takut dihancurkan atau dirusak,” kata Encem.
Prosesi pengambilan air di tempat ini secara khusus dilakukan Sang Rama, julukan bagi Achmad Mikami SumaÂwijaya, 40 tahun. Berdasarkan Pantun Bogor, lalakon Curug Sipada Weruh dan cerita rakyat, Sang Rama merupakan keturunan ke-22 dari Prabu Amuk Murugul, penguasa Keraton Surabima sekaligus putra mahkota Raja Sunda, Prabu Susuk Tunggal.
Saat pengambilan air, Sang Rama membaca Jangjawokan. ”Jangjawokan itu isinya doa meminta izin kepada alam dan berharap berkah yang melimpah bagi masyarakat dari Allah,” kata Maki, panggilan sehari-hari Mikami.
Mata air Jalatunda mengalir ke sebuah kolam berukuran sekitar 10 x 40 meter bernama Taman Sri Bagenda. Taman ini juga telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya. Dari kolam, air mengalir ke sebuah pancuran pemandian. Menurut Maki, Jalatunda merupakan tempat mandi suci penguasa dan pembesar Sindang Barang ketika hendak menggelar Seren Taun.
Keesokan paginya, Sang Rama beserta para kokolot dan warga menggelar upacara ijab dan sedekah kue, yakni rengginang, jipang, kue ali, dodol, serabi, apem, dan cucur, yang dikumpulkan dari sumbangan warga dan panitia yang disimpan dalam 40 tampah.
Tampah diletakkan berderet di tengah Alun-alun Tanjung Salikur, lapangan di Kampung Budaya Sindang Barang, sekitar satu kilometer dari Imah Bali. Parukuyan dibakar dan Sang Rama mengucapkan ijab, yang menyebut 22 nama leluhurnya, mulai dari Prabu Langlang Buana, Prabu Amuk Murugul, hingga Etong Sumawijaya, kakek Mikami. Sang Rama juga memanggil 20 nama tokoh masa lalu dari wilayah Gunung Salak barat, tengah, dan timur. ”Semuanya ada 42 nama yang diijab,” ujar Mikami.
Akhir dari rangkaian upacara ini adalah sedekah kue. Warga yang hadir berebut mengambil kue di tampah terÂsebut. Mereka percaya, kue itu membeÂri berkah yang berlimpah bagi yang menÂdapatkannya. Hari itu juga diisi dengan ritual penyembelihan kerbau, yang dagingnya kemudian dibagikan kepada warga yang tidak mampu, dan makan tumpeng bersama. Malamnya diisi dengan pertunjukan wayang golek.
Seluruh rangkaian Seren Taun diakhiri pada Minggu, ketika air dari tujuh mata air dan 40 dondang (tempat hasil bumi dari pelepah daun aren) dimasukkan ke leuit (lumbung padi tradisional) bernama Leuit Ratna Inten di tepi Alun-alun Tanjung Salikur.
Kegiatan ditutup dengan serangkaian pergelaran seni, seperti angklung gubrak, rampak silat, rampak parebut seeng, tari tani, jaipong, dan angklung gubrak Jasinga. Pesta tahun ini juga dimeriahkan oleh pertunjukan kesenian sumbangan dari Pura Bali, yang terletak di kaki Gunung Salak, serta barongsai dari Vihara Dhanagun.
Seren Taun merupakan upacara tahunan seusai panen yang dilakukan di Sindang Barang secara longgar, karena sebagian besar penduduknya tidak bertani, tapi membuat sepatu dan sandal atau pekerjaan lain. Tokoh yang diagungkan adalah dewi kesuburan padi, Sang Ambu Pohaci Sri Rumbiyang Jati, dan dewa kesejahteraan, Sang Hyang Ayah Kuwera Guru Bumi. Namun upacara itu sekarang tinggal tradisi saja, karena segala doanya sudah berdasarkan Islam.
Menurut Mikami, kegiatan ini sudah berlangsung pada masa Pajajaran dan berhenti ketika Pajajaran runtuh. Empat windu kemudian upacara itu hidup lagi di Sindang Barang, Kuta Batu, dan Cipakancilan. Namun akhirnya berhenti benar pada 1970-an di masa Etong Sumawijaya.
Setelah kegiatan ini vakum selama 36 tahun, Mikami, yang meneruskan kepemimpinan Etong, mencoba menghidupkan kembali Seren Taun pada 2006 dan mendirikan Padepokan Giri Sunda Pura, yang mengembangkan seni dan budaya Sunda. Gagasannya didukung sejumlah budayawan Sunda seperti Anis Djatisunda, Hendra Wijaya, dan Inotji Hayatullah.
Pada tahun itu pula kebetulan para budayawan itu mengikuti diskusi Simpay oleh Paguyuban Guar Sunda di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Di situlah mereka mengenalkan beberapa situs keramat yang diduga sebagai situs bersejarah yang patut dilindungi. Pada Juni di tahun tersebut Agus Aris Munandar dan tim dari fakultas tersebut mengunjungi Sindang Barang dan melakukan kajian awal terhadap sebagian dari puluhan situs, seperti sumur Jalatunda, Taman Sri Bagenda, dan beberapa punden berÂundak, yakni Majusi, Surawisesa, dan Leuweung Keramat, serta kelompok megalitik Hunyur Kadoya. Dari kajian awal ini Agus menyimpulkan bahwa sebagian dari situs tersebut merupakan situs tradisi megalitik dari masa Pajajaran, bukan peninggalan meÂÂgalitik dari masa prasejarah.
Penemuan itu memancing perhatian para arkeolog lain untuk meneliti lebih jauh. Balai Pelestarian PeninggalÂan Purbakala Serang juga datang meneliti dan menilai sejumlah situs sebagai benda cagar budaya.
Pendapat para ilmuwan dan keinginan masyarakat untuk menghidupkan budayanya telah mendorong pemerintah Jawa Barat untuk turut membantu pembangunan Kampung Budaya Sindang Barang, berupa kompleks perumahan bergaya Sunda kuno yang dibangun berdasarkan naskah Pantun Bogor. Sejak 2007, kampung itu menjadi pusat upacara Seren Taun.
Upacara yang berlangsung sekitar sepekan itu menelan biaya sekitar Rp 100 juta. Selama 2007-2008 pemerintah Kabupaten Bogor mengucurkan bantuan senilai Rp 50 juta. Pada 2009, pemerintah hanya mengucurkan Rp 35 juta dan pada 2010 bantuan menciut menjadi Rp 25 juta. Tahun ini, bertepatan dengan pencanangan Visit Bogor 2011, bantuan yang dikucurkan pemerintah hanya Rp 13 juta. ”Kekurangan biaya diambil dari sumbangan warga dan keuntungan yang disisihkan dari penyelenggaraan kegiatan di Kampung Budaya,” kata Mikami.
Sejak itu Kampung Sindang Barang mulai banyak dikunjungi wisatawan, khususnya di akhir pekan. Jalan menuju Kampung Budaya, yang dulunya cuma batu, kini sudah diaspal. Kampung itu pun hidup dengan napas barunya.
Kurniawan, Diki Sudrajat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo