Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sang Ahli Waris Sinatra

Penyanyi jazz Kanada, Michael Bublé, memukau penonton Malaysia. Paduan keahlian bernyanyi Frank Sinatra dan komunikasi yang mumpuni.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara instrumen dawai dan perkusi yang ditabuh berdentam-dentam dengan megah itu naik perlahan-lahan. Pada puncaknya, ketukan berhenti sejenak, seakan memberi jeda bagi terbukanya tirai panggung. Michael Bublé (baca: buble), yang tadi hanya tampak bayangannya di balik tirai, muncul dengan jas abu-abu terang yang necis. Dia langsung menyanyikan lagu pertamanya, Cry Me a River, diiringi 13 pemusiknya. Intro yang megah tadi dirancang sendiri oleh penyanyi jazz Kanada ini, yang ingin memberi sentuhan elegan seperti musik pembuka film James Bond pada lagu blues karya Arthur Hamilton dari masa 1950-an itu.

Kemunculan penyanyi berusia 36 tahun itu sontak disambut histeris oleh sekitar sembilan ribu penonton yang memadati Stadium Melawati, Shah Alam, Negara Bagian Selangor, Malaysia, Ahad malam dua pekan lalu. Penggemar yang sebagian besar perempuan muda itu berteriak-teriak dan bertepuk tangan seakan tak berhenti.

Bublé melambai-lambaikan tangan kepada para penggemarnya di setiap sudut. Seusai lagu pertama, dia menyanyikan lagu kedua, All of Me. Kedua lagu itu dipetik dari Crazy Love, album terbarunya, yang menang Grammy Award untuk kategori album vokal tradisional terbaik dan menjadi tajuk konsernya ini. Malaysia adalah negara terakhir yang dihampiri Bublé dalam rangkaian konsernya tahun ini di Australia, Singapura, dan Hong Kong.

Konser Bublé di Selangor ini sempat tertunda sekitar satu jam karena hujan deras menyiram kompleks olahraga itu. Bagi masyarakat negeri jiran, konser ini istimewa karena dibuka oleh Najwa Mahiaddin. Penyanyi jazz muda itu adalah putri Wakil Perdana Menteri Malaysia Tan Sri Muhyiddin Yassin dan Puan Sri Noorainee Abdul Rahman. Sang ibu bahkan turut hadir menyaksikan putrinya beraksi di panggung selama sekitar 30 menit membawakan lagu-lagu jazz ciptaan Najwa, seperti Love Song, Your Love, dan Got to Go. Najwa juga memainkan Jealousy, single pertamanya, sebagai lagu menjelang penutup. Setelah menyapa penonton, dia memberi kabar baik. ”Saya akan merilis album pekan depan,” katanya, yang disambut tepuk tangan para penonton.

Namun aksi panggung Bublé-lah yang paling ditunggu-tunggu. Pria necis itu sebenarnya membawa lagu-lagu lama, kebanyakan jazz standar, yang mungkin tak dikenal dengan baik oleh para penggemarnya. Para penonton, misalnya, tampak sangat antusias turut bernyanyi dan berdansa hanya ketika lagu-lagu dari album terbarunya dimainkan, terutama yang terbilang populer seperti Crazy Love.

Bublé adalah ahli waris Frank Sinatra. Dia adalah artis yang disebut-sebut sebagai penampil paling menyenangkan. Dia memang punya vokal bariton yang kuat, tapi juga penghibur yang pandai. Ketika matanya tertambat pada sebuah kertas bertulisan namanya yang dipegang seorang penggemar di baris depan, dia langsung menawarkan diri menandatanganinya. Dia membungkuk di bagian tengah panggung, menggoreskan tanda tangannya, dan serentak para penggemar lain mengerumuninya sambil menyerahkan poster atau CD atau sekadar menya­laminya. Dalam konser di Australia, menurut pengakuannya, para perempuan penggemarnya bertindak lebih gila dengan—maaf—melepas celana dalam di depan mukanya.

Tiket konser ini terbilang mahal, bahkan bagi Malaysia. Harganya RM 250-1.098 atau sekitar Rp 750 ribu-3,3 juta. Bandingkan, misalnya, dengan tiket konser Air Supply di negeri itu pada November tahun lalu, yang hanya berkisar antara RM 103 dan RM 303. Nyatanya, hanya beberapa bangku yang tersisa untuk konser Bublé, bahkan beberapa puluh orang rela membeli tiket untuk berdiri.

Bublé tampak menghargai benar para penggemarnya yang telah membayar mahal itu. Dia bahkan turun panggung, berjalan memutari deretan penonton kelas I dan VIP, dan bernyanyi di panggung kecil di sisi seberang panggung utama dengan hanya ditemani seorang musikus serta gitar akustik. Berkali-kali dia melempar kaus dan pernik cendera mata ke penonton dan melayani mereka yang ingin menyalaminya sambil berdesak-desakan.

Orang Indonesia banyak pula yang tergila-gila pada Bublé dan memburunya hingga ke Malaysia. Dian Okta dari Surabaya, misalnya, gagal mendapat tiket konser di Singapura dan baru bisa menonton di Selangor dengan membeli tiket VIP dengan harga termahal itu. ”Tapi enggak rugilah, kami di VIP sudah bisa sangat dekat, dan mendapat foto-foto yang lumayan bagus. Pokoknya puas!” kata perempuan penggemar Bublé yang nonton bersama suaminya itu.

Michael Bublé adalah keturunan keluarga nelayan di British Columbia, Kanada. Di masa remajanya, pada 1970-an, sang ayah mengenalkannya pada rekaman lama dengan penyanyi seperti Frank Sinatra, Ray Charles, Bobby Darin, dan Elvis Presley. Dia sempat bekerja sebagai nelayan selama enam tahun sebelum menjadi penyanyi klub malam pada usia 16 tahun, difasili­tasi kakeknya, Demetrio Santaga, tukang ledeng yang menukar jasa perawatan ledeng dengan kesempatan pentas bagi cucunya.

Kariernya mencorong setelah bertemu dengan ”si Midas” David Foster dan album perdananya, yang memakai namanya, masuk daftar 10 lagu teratas di Libanon, Inggris, dan Kanada. Tapi namanya benar-benar melejit setelah album berikutnya, It’s Time dan Call Me Irresponsible, meledak di Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Hingga kini, Bublé telah menjual kurang-lebih 20 juta keping CD di seluruh dunia dan mengumpulkan seabrek penghargaan.

Sebagai penampil, Bublé terlihat sangat menguasai panggung. Dia tampil santai di Selangor. Sesekali dia mengomentari lagu-lagu yang dia nyanyikan atau menyapa para penggemarnya. ”Ini lagu Billy and the Beaters, dan aku suka menyanyikan medley lagu-lagu mereka,” katanya sebelum melantunkan At This Moment karya Billy Vera.

Lalu ia melanjutkannya dengan Mack the Knife. ”Ini sebuah lagu standar lama yang sangat indah, tentang seseorang yang membunuh orang tak bersalah,” katanya. Lagu karya Kurt Weill dengan lirik Bertolt Brecht itu sebenarnya diciptakan untuk The Threepenny Opera, tapi kini praktis menjadi lagu jazz standar.

Penonton juga dihibur dengan aksi Bublé meluncur di panggung, terutama di panggung miring di bagian tengah, yang menghubungkannya ke lantai tempat para pemusiknya bermain. Tapi dia juga senang bercanda.

Saat memperkenalkan para anggota band-nya, dia mengatakan pemain trompetnya berasal dari Malaysia. Tentu saja sang pemusik mendapat tepuk tangan meriah saat berdiri. Setelah sang musikus duduk, Bublé nyeletuk, ”Dia sebenarnya dari Texas!”

”Orang bilang aku seperti Sinatra, tapi waktu kecil aku sebenarnya ingin menjadi Michael Jackson. Sungguh,” katanya. Lalu dia langsung berubah jadi Jacko dan menampilkan Billie Jean, lengkap dengan suara falsetto dan dansanya. Bahkan dia pun menirukan cara berjalan Jacko dan, tentu saja, moonwalk. Tak terhindarkan lagi, aksinya itu mengundang jerit-jerit kagum dan riang dari para penggemarnya.

Bublé tampil selama sekitar satu jam dan membawakan belasan lagu, baik yang riang maupun yang sendu, termasuk World on a String, Home, Crazy Love, dan Georgia on My Mind. Sambutan paling hangat datang ketika dia membawakan lagu ciptaannya yang populer, Everything. Berbeda dengan lagu-lagu lainnya yang kental dengan jazz, lagu ini lebih pop.

”Lagu terakhir malam ini adalah lagu yang aku tulis untuk memberi harapan kepada setiap orang,” katanya. Lagu hit Haven’t Met You Yet yang rancak pun mengalir dan Bublé memimpin para penonton bernyanyi bersama, sebelum akhirnya meninggalkan panggung.

Tapi penonton enggan beranjak dan malah berteriak-teriak memanggil sang pujaan agar kembali. Akhirnya Bublé kembali ke panggung dan melantunkan Feeling Good dan Me and Mrs Jones. Konser itu kemudian ditutupnya dengan menyanyikan Song for You, yang bagian akhirnya dinyanyikannya tanpa musik dan mikrofon.

You are a friend of mine, and when my life is over

Remember, remember, remember when we were together

And we are alone now, and I was ­singing this song to you

We were alone, and I was singing, yeah singing

We were alone, and I was singing this song for you

Singing my song, I’m singing my song for you…

Stadium jadi sunyi. Semua menatap bagaimana sang idola memamerkan kemampuan vokalnya yang terdengar hingga ujung terjauh kursi penonton.

Kurniawan (Selangor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus