Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Inilah periode terkelam dalam sejarah hubungan agama dan kekerasan di masa reformasi. Setelah pecah insiden Cikeusik, Banten, dan Temanggung, Jawa Tengah, pemerintah tidak kunjung menindak tegas para pelaku kekerasan kolektif itu. Yang terjadi justru sebaliknya: membesarnya ”bola salju” intimidasi terhadap kelompok Ahmadiyah, sekte minoritas yang dianggap sesat.
Warga negara yang menjadi korban kekerasan itu bukannya mendapat perlindungan negara, malah kian terancam kelangsungan hidupnya. Dengan kata lain, bukan efek jera (deterrent effect) yang kita jumpai, melainkan justru dorongan kepada pelaku untuk lebih kreatif memodifikasi kekerasan.
Di Jawa Barat, para pejabat setempat (Musyawarah Pimpinan Daerah) menggelar Operasi Sajadah. Sayang, niat baik untuk melakukan persuasi—ketimbang agresi—berkembang menjadi intimidasi yang sama sekali tidak pantas terjadi di masa reformasi, ketika komitmen untuk menghormati hak asasi manusia ditegaskan kembali. Dan ironis sekali, negara yang telah berbulan-bulan absen—lebih tepat lagi: mangkir—dari tanggung jawab melindungi kelompok minoritas dari aneka kekerasan ini tiba-tiba muncul dan ikut serta dalam intimidasi itu.
Kehadiran negara yang salah alamat ini semakin terasa ketika diketahui bahwa Operasi Sajadah ternyata melibatkan Tentara Nasional Indonesia. Aparat komando rayon militer mengumpulkan data, kemudian memaksa pengikut Ahmadiyah menghadiri penyuluhan dan ikrar pertobatan. Disaksikan Musyawarah Pimpinan Daerah, Rabu pekan lalu, contohnya, 18 anggota Jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Sukabumi berikrar kembali ke ajaran Islam. Apa boleh buat, sebuah preseden baru untuk mendesak kelompok minoritas ini telah lahir dan di mata sebagian orang hal ini menjanjikan hasil istimewa. Dan yang menyedihkan, tak seorang pun pejabat menyadari—apalagi bicara—bahwa pelanggaran konstitusi telah terjadi. Negara sudah terlampau jauh mencampuri urusan hak berkeyakinan warganya.
Kita masih menunggu kapan hal yang sama bakal terjadi pada 15 provinsi lain yang telah mengeluarkan peraturan gubernur yang melarang keberadaan Ahmadiyah. Dan semua ini hanya berpijak pada seberkas Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2008. Surat itu mengatur pembinaan, pelarangan penyebarluasan paham, dan pengawasan terhadap Jemaat Ahmadiyah.
Besar kemungkinan para kepala daerah menerbitkan peraturan ini hanya lantaran takut dengan derasnya desakan sejumlah organisasi massa. Dan adalah ironi besar jika produk hukum itu ternyata memang dibuat atas desakan ormas yang justru merupakan pelaku aksi anarkistis terhadap warga Ahmadiyah. Ironis, karena yang seharusnya dibubarkan malah dirangkul, sedangkan yang menjadi korban kekerasan malah dilarang berkegiatan. Perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membubarkan organisasi pelaku aksi anarkistis seperti hilang tanpa bekas. Susah diterima nalar jika perintah Presiden ini merupakan sebuah gertak atau pemoles citra semata.
Ironi yang menimpa negeri ini memang bukan hanya itu. Undang-Undang Dasar, yang menjamin kebebasan beragama, seakan telah ditaklukkan oleh peraturan yang kedudukan hukumnya lebih rendah, yakni surat keputusan bersama. Diakui atau tidak, kini para penguasa baru telah melumpuhkan hak konstitusional tersebut. Menyedihkan, tak satu kuasa pun terlihat mampu menghentikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo