DI Tegalrejo, tentu saja saya tidak menemukan lagi Diponegoro. Seorang pengantar hanya bisa menunjukkan kendi tempat air wudu sang Pangeran. Beberapa meter di sekitarnya, melintang dua batang meriam yang tak jelas asal-usulnya. Lalu sebuah lempengan batu, pipih, bagai tapak raksasa. "Inilah bekas tempat tidur Pangeran dalam keprihatinannya," ujar orang itu. Selebihnya adalah deretan kantor, musala, gedung kesenian yang sekaligus berfungsi sebagai tempat pertemuan. Lalu sebuah museum. Tak juga saya temukan juru tulis desa, yang pernah mengatakan bahwa sang Pangeran adalah pendosa, seorang berandal, kepada Brumund, pendeta Belanda yang berkunjung ke Tegalrejo pada 1850-an, hampir satu setengah abad yang lalu. Tapi di bagian belakang kompleks itu masih tersisa sekeping pagar tembok. Konon, dulu, pagar tembok dalem Pangeran. Sebuah lubang, bulat besar, menganga dan dibiarkan utuh. Dari tembok yang terluka inilah Diponegoro meloloskan diri dari kepungan Belanda. Luka yang menganga dari tembok yang tebalnya puluhan sentimeter itu, kata si pengantar, adalah akibat pukulan tangan Pangeran sendiri. Tidaklah perlu saya menunduk untuk melongok keluar lewat lubang itu. Tapi, entah karena sugesti Brumund, tiba-tiba, di dalam lubang yang menganga itu, hati saya berdesir. Bukankah, seperti juga dirasakan Brumund, Jawa tiba-tiba bergenangan darah, begitu tapak kaki pertama Diponegoro menginjak bagian luar tembok itu dalam usahanya melarikan diri? Bukankah ini merupakan awal perang Jawa yang dahsyat, yang menurut Peter Carey telah melibatkan dua juta rakyat Jawa dan menewaskan 200.000 di antaranya? Bukankah pemerintah Belanda harus mengeluarkan dana 20 juta gulden untuk memadamkannya, sementara juga harus merelakan 8.000 orang pasukan Eropa serta 7.000 "Belanda hitam" lainnya tewas terkubur dalam genangan darah itu? Pun di Gua Selarong, yang menjulang tinggi, tak saya temukan sosok pribadi besar dalam sejarah Jawa itu. Di depan gua itu, yang telah dipagari, yang mirip sebuah kamar -- tetapi dengan langit-langit yang terlalu rendah -- saya menengok ke bawah. Sebuah kolam, agak ke kanan, pepohonan yang rindang, anak-anak tangga, gubuk, menerpa pandangan saya. Dl hadapan gua itu, di sela-sela pepohonan, saya bisa melihat perbukitan nun jauh di depan. Kapur-kapur yang diendapnya telah menyebabkan kawasan itu tidak subur. Tapi justru di sini -- lagi-lagi, dibimbing oleh tulisan Brumund emosi saya bangkit. Di tempat inilah ia menggumamkan kata-kata dahsyat, untuk dirinya sendiri: "Engkaulah keturunan raja-raja Mataram, engkaulah sahabat sang Nabi, engkaulah satu-satunya yang berani dan siaga di antara ribuan orang Jawa lainnya angkatlah pedang pelaksana iman dan dendam, jadilah raja dan pengatur agama di Tanah Jawa!" Di tempat ini, yang sunyi dan melelapkan, dia toh terbakar dalam dialog imajiner dengan dirinya sendiri, yang membuat dialah satu-satunya orang yang masih "hidup" di tengah-tengah jutaan rakyat Jawa yang "mati". Dialah yang masih bisa mempertahankan jati dirinya, di tengah-tengah jutaan orang berjiwa budak, tunduk kepada rezim asing yang terkutuk itu. Dan rezim yang dikutuknya itu, perebutan kekuasaan dan intrik-intrik gelap di dalam Keraton Yogyakarta, demoralisasi serta kondisi sosial ekonomi masyarakat Jawa, telah menempatkan Diponegoro dalam situasi peralihan sejarah yang membingungkan. Sejak Daendels (1808 - 1811) berkuasa, pola VOC, yaitu perdagangan -- yang memperlakukan kerajaan-kerajaan Jawa sebagai daerah otonom, di mana perwakilan-perwakilan Belanda hanya bertindak sebagai duta dari suatu kerajaan tetangga -- telah mulai berubah kepada suatu periode kolonial. Raja-raja, dalam periode ini, tidak lagi memerintah, tapi diperintah. Keraton-keraton, dalam realitasnya, tidak lagi menjadi pusat kehormatan, tapi mulai dijarah dan dinodai. Keagungan aura (cahaya) raja, yang diwariskan Sultan Agung, dicabik-cabik oleh aneksasi wilayah demi wilayah. Raja, keraton, dan kerajaan yang pernah memerintah seluruh tanah Jawa, tiba-tiba menemukan dirinya takluk di bawah duli orang-orang asing, yang dulu mungkin bahkan pernah dibantunya. Dan Diponegoro, dalam laku prihatinnya, dalam tapanya yang sepi, di gua ini, mengeram. Dengan ikat kepalanya yang khas, dengan jubahnya yang melambai-lambai, ia menyerukan "Perang Sabil". Seruan ini bukan saja mendorong rakyat Kedu memihak kepadanya, seperti juga rakyat Pckalongan. Tetapi juga, dan lebih penting lagi, mendapat dukungan 15 pangeran dari 29 pangeran Yogyakarta yang tersisa dan 41 bupati dari 88 bupati di daerah Yogyakarta itu menyatakan diri berada di bawah panji pemberontak. Dan Jawa, selama lima tahun, bergenangan darah. Tapi titik simpul dari keseluruhan proses sejarah yang bermuara pada perang yang dahsyat itu, antara lain, terletak pada pajak. Proses kolonialisasi, seperti di mana pun, baru sempurna kalau pemerintahnya memiliki hak dalam memungut pajak. Tapi jika proses pemungutan itu, seperti dilaporkan MacGallivry, residen Surakarta pada 1823, telah melahirkan hasil yang menggembirakan bagi pemerintah bangsa Eropa (tahun 1812-1814, pendapatan pemerintah kolonial dalam bidang pajak meningkat menjadi 700 persen, dibandingkan dengan 1811), tidaklah demikian halnya bagi rakyat desa. Sebuah laporan dari Kedu pada 1821 memberitakan betapa beratnya beban pajak yang harus dipikul. Para petani terpaksa menjual seluruh tanaman tembakaunya untuk melunasi pembayaran pajak tanah. Sementara mereka sendiri harus hidup, tulis Peter Carey, dengan susunan makanan yang terdiri dari sedikit jagung belaka. Toh sistem pajak yang amat menekan ini masih harus ditambah lagi dengan buntut dari sistem itu sendiri: pemungutan pajak tol. Orang-orang Cina yang mendapatkan sewa jalan-jalan tol meninggikan harga pajak lewat bagi para pedagang desa -- yang karenanya kerap harus berpisah dengan barang dagangannya, hanya untuk memenuhi pajak tol tersebut. Bahkan juga para bupati, yang akan menyerahkan "pajak" atau upeti kepada raja, akan mendapatkan perlakuan yang serupa bila ia harus melewati gerbang tol tersebut. Kerap kali para bupati harus membayar pajak tol dengan mengurangi jumlah "upeti" yang harus diserahkannya kepada raja. Sistem pajak yang menghinakan dan menyengsarakan ini, kemerosotan kehormatan dan moral keraton-keraton Jawa tempat rakyat selama ini berkiblat -- dan lalimnya pemerintah kolonial inilah yang mendorong rakyat, bahkan juga kaum bangsawan, memimpikan seorang Ratu Adil. Dan Diponegoro, yang juga mengalami keprihatinan mendalam, menyambutnya. Dan Jawa berkobar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini