BENARKAH banyak orang seperti ketakutan, seolah dikejar-kejar petugas pajak? Sejak Dirjen Pajak Mar'ie Mohammad menctapkan keterkaitan rekening telepon, listrik, dan giro dengan NPWP (nomor pokok wajib pajak), maka gejala seakan dikejar-kejar, agaknya memang ada. Tentu, bisa saja dianggap bahwa perasaan itu agak berlebihan, apalagi Dirjen Pajak sudah berjanji tidak akan bertindak hantam kromo. Untuk memperkuat ini, Senin pekan lalu, dalam kesempatan mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh), Presiden Soeharto menyatakan, "Yang diwajibkan membayar hanya mereka yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan perundang-undangan." Pada kesempatan di Kantor Inspeksi Pajak IV Jakarta Pusat itu Presiden juga menjelaskan perhitungan PPh. Penghasilan yang kena pajak bervariasi, tergantung jumlah penghasilan dan tanggungan wajib pajak. Seorang yang belum berkeluarga, misalnya, penghasilannya yang dikenakan PPh adalah yang di atas Rp 80 ribu per bulan. Sedangkan untuk suami istri adalah penghasilan di atas Rp 120 ribu per bulan. Tarifnya juga berbeda-beda. Presiden menyebutkannya secara persis: 15% untuk keuntungan usaha Rp 10 juta 25% untuk keuntungan sampai Rp 50 juta dan keuntungan di atas itu kena 35%. Jadi, kata Presiden, tidak semua pengusaha, pegawai negeri, karyawan atau buruh harus membayar pajak. Ditegaskannya: hanya perusahaan yang untung, wajib membayar PPh. Tapi, "Kalau terbukti untung dikatakan rugi, itu menyalahi undang-undang dan membohongi pemerintah," katanya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa umumnya wajib pajak cenderung membayar pajak sekecil mungkin. Karena itu terjadi apa yang disebut sebagai tax avoidance (pengelabuan pajak), yang menurut Dietrich Lerche seorang penellti -- merugikan penerimaan pajak di Indonesia sampai 22,8%. Penyebabnya, antara lain, kurangnya kesadaran membayar palak di satu pihak, di samping kecurigaan wajib pajak pada aparat pajak. Menghadapi ini, Kanwil VI Pajak di Surabaya, Suyono Sontodimerto menyatakan, "Kita enforcement kalau perlu, apalagi terhadap wajib pajak yang bandel." Tapi dari Bandung, seorang pengusaha yang tak mau disebut namanya berkomentar, "Memang ada pengusaha yang bandel, itu kenyataan. Tapi wajib pajak juga berpikir, jangan-jangan pajaknya bocor di tengah jalan, atau tak bakal kembali ke masyarakat dalam bentuk public service." Terlepas dari siapa menuding siapa, Dirjen Pajak Mar'ie Mohammad terus berusaha menciptakan kondisi -- agar wajib pajak membayar sesuai dengan aturan. Juru sita akan ditambah jumlahnya, mengingat bahwa tunggakan pajak kini mencapai Rp 612 milyar. "Jumlah tunggakan itu tidak termasuk Pajak Bumi dan Bangunan," kata Mar'ie ketika berbicara pada seminar pajak di Universitas Diponegoro Semarang, pekan lalu. Satu hal pasti, beban pajak semakin berat. Meurut Soemarso S.R., pengamat perpajakan dan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, ekstensifikasi PPh harus lebih digiatkan. Sebab pengenaan PPh tak seregresif pada PPN maupun PPn BM. "Tapi mesti selektif menjaring wajib pajaknya," kata ketua CFMS (Central for Fiscal and Monetary Studies) itu. Ia mengkaji perkembangan wajib pajak dan jumlah penerimaan pajak, dengan membandingkan antara kurun 10 tahun sebelum undang-undang pajak baru (1983/84) dan kurun era pajak baru. Ternyata laju peningkatan penerimaan pajak selama 1974/75-1983/84 adalah 26,3%, sedangkan laju pada periode 1984/85-1986/87 cuma 16,5%. Sementara itu laju peningkatan wajib pajak selama dua kurun waktu di atas, naik dari 8% menjadi 31,4%. Artinya: laju peninkatan jumlah wajib pajak, justru disertai dengan menurunnya laju penerimaan pajak. Penyebabnya, antara lain, kepatuhan wajib pajak menurun. Mungkin juga wajib pajak yang terjaring tidak potensial. "Misalnya pegawai negeri harus punya NPWP yang menyebabkan wajib pajak tampak meningkat, tanpa efek peningkatan penerimaan palak pemerintah," tutur Soemarso. Sedangkan langkah Ditjen Pajak menjaring wajib pajak dari pelanggan telepon, listrik, dan giro itu dianggapnya sudah betul. Begitu juga dengan PPh atas bunga deposito. Namun menggalang pajak dari PPh masih demikian rumitnya, terutama dihambat akurasi data dan kesiapan aparat. Sehingga dalam jangka pendek, termasuk kurun Pelita V April mendatang, PPN tetap masih mendominasi penerimaan pajak. "Jangan lupa, masih banyak jenis obyek pajak yang belum dijamah," ujar Soemarso. Tampaknya memang begitu. Awal tahun ini, misalnya, telah diperkenalkan aturan perpajakan baru, yang menyangkut perluasan obyek pajak, maupun kenaikan tarif Pajak Penjualan aus Barang Mewah (PPn BM). Tak pelak lagi, industri mobil, seperti dikatakan Ketua Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) Soebronto Laras -- dalam dengar pendapat dengan Komisi VI DPR-RI, pekan lalu -- merasa terpukul dengan PPn BM per 15 Januari lalu. Kendaraan sedan terkena PPn BM 30%, dulu 20%. Ang Kang Hoo, pimpinan PT Imora Motor, tak bisa memastikan bahwa penjualan sedannya, Honda Accord, bisa bertahan seperti tahun lalu yang mencapai 9.600 unit -- meningkat 600 unit dari tahun sebelumnya. Paling terpukul justru kendaraan kategori I, kendaraan niaga, seperti Suzuki, Daihatsu, Jetstar, yang PPn BM-nya naik dari 10% menjadi 20%. Di samping itu dikhawatirkan, kalau penjualan anjlok, berarti impor komponen yang kena PPN juga turun. Jumlah PPn BM yang dibayarkan berkurang, kendati tarifnya dinaikkan dari 20% menjadi 30%. Lebih jauh lagi, keuntungan usaha menipis juga, sehingga kewajiban PPh jadi kecil. Tapi di luar PPN, tampaknya tidak ada pilihan kain. Target penerimaan pajak, seperti tercantum dalam RAPBN 1989/90, meningkat hampir 30%, dari Rp 9,1 trilyun menjadi Rp 11,8 trilyun. Untuk itu, PPN dan PPn BM masih menjadi andalan utama: Rp 5,8 trilyun atau hampir 50% dari target penerimaan pajak 1989/90. Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad harus berusaha keras untuk menggapai target, yang diperkirakan tidak akan tercapai itu. Sudah barang tentu Dirjen Pajak akan mendapat gemblengan kalau bukan 'tekanan', dari berbagai pihak. Mungkin dari pihak yang ingin ringan bayar pajak, atau yang menghendaki keadilan -- termasuk keadilan fasilitas. Soalnya, ada jenis barang atau perusahaan yang PPN-nya ditanggung oleh pemerintah, ditangguhkan, bahkan tidak dipungut. Kertas koran, misalnya, PPN-nya ditanggung pemerintah. Sebuah perusahaan yang sangat pesat pertumbuhannya dua tiga tahun terakhir ini, dan kini sedang membangun perhotelan, pusat perbelanjaan dan perkantoran di Jakarta, juga mendapat fasilitas penundaan PPN dan PPn BM selama 5 tahun sejak 1984. Wajar kalau pengusaha yang di Bandung itu berkata, "Rasanya tidak fair kalau perusahaan-perusahaan besar dapat fasilitas, sedangkan kami yang kecil-kecil ini dikejar-kejar pajak." Pengusaha ini bergerak di bidang percetakan dan penerbitan. Ia sering merugi, tapi patuh membayar pajak, kendati setiap mengurus restitusi sering macet dan diajak kompromi fifty-fifty. Presdir PT Multi Bintang Indonesia Tanri Abeng juga ingin mendapat keringanan atau penundaan pajak. Pengusaha ini merasa bahwa ada pajak berganda yang mencengkeram industri minuman. Dijelaskannya, bagaimana Multi Bintang mesti bayar cukai bir, lalu PPN atas produksinya, lalu kena lagi PPn BM. Karena itu ia melayangkan surat ke Departemen Keuangan, dengan tembusan ke Dirjen Pajak."Itu untuk membicarakan, apakah ada jalan keluar bagi industri kami buat bernapas," kata Tanri Abeng kepada Liston P. Siregar dari TEMPO. Yamien A. Tahir, wakil Presdir PT Nasional Gobel, lebih suka menengok keadilan pada sebuah produk serupa dari pabrik berbeda -- yang mestinya kena pajak sama. Pada elektronika, "Bagaimana pemerintah bisa mengetahui bahwa suatu produk sudah bayar pajak, tapi produk lain belum," ujar Yamien. Mengamankan keadilan pajak itu berarti: menjaga iklim usaha yang sehat. "Jangan sampai orang yang bayar pajak jadi korban," tambah Yamien.Suhardjo Hs., Wahyu Muryadi (Surabaya), Hedy Susanto (Bandung), Budiono Darsono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini