Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menunggu hari H BUMN

Badan usaha milik negara banyak yang rugi. BUMN adalah penghasil pajak terbesar, tetapi bukan berarti tidak perlu diswastakan. deregulasinya tertunda-tunda.

11 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BADAN Usaha Milik Negara, alias BUMN, kembali dibicarakan orang. Soalnya, pekan lalu ada sas-sus yang menyatakan bahwa deregulasi BUMN, yang jauh-jauh hari telah direncanakan pemerintah, akan ditunda hingga tahun depan. Isu ini dipertajam oleh seorang pengamat ekonomi yang curiga pada rencana deregulasi yang terus tertunda-tunda, dari Desember ke Januari, lalu tak jelas sama sekali. Ada apa? Dengan tegas Menko Ekuin Radius Prawiro, sebagai pejabat yang paling berwenang dalam urusan deregulasi dan debirokratisasi, membantah isu penundaan tersebut. "Tidak benar," ujarnya. Tanpa menyebutkan waktu yang pasti, Radius meyakinkan, deregulasi BUMN akan dilaksanakan tahun ini juga. Artinya, tinggal menunggu saat saja, "Sekarang kan saya baru sibuk menyelesaikan RAPBN dan Repelita," ujarnya. Begitu pula janji Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura. "Sebentar lagi, dalam waktu dekatlah. Sekarang masih dalam penggodokan," katanya. Juga tentang hari H, Menmud senada dengan pernyataan Radius. "Ya, pasti tahun ini." Kabar tentang deregulasi BUMN disambut baik oleh banyak pihak. "Memang sudah saatnya, agar BUMN bisa cepat berkembang," kata Sotion Ardjanggi, Ketua Umum Kadin, yang banyak menyelami urusan BUMN, dia pernah memimpin beberapa BUMN sebelumnya. Hanya Sotion tampak kurang setuju kalau deregulasi itu berbentuk swastanisasi penuh, dalam arti BUMN yang dianggap tidak efisien dijual kepada swasta. "Tak usah jual-jualan, lah," katanya. Menurut Sotion, yang penting ini: perusahaan yang dianggap tidak menguntungkan itu diperbaiki posisinya dengan mengubah pengelolaannya, seperti yang dilakukan perusahaan swasta. Atau kalau tidak, cukup dengan menyerahkan pengelolaannya tok kepada swasta, sedangkan pemilikannya tetap di tangan pemerintah. Pandangan lain muncul dari Dr. Prijono Tjiptoherijanto, pengamat ekonomi yang juga pengajar di FE-UI. Prijono setuju kalau swastanisasi BUMN dilakukan, tapi tak perlu swastanisasi penuh, alias dijual pada swasta. Cukup manajemennya saja yang orang swasta. "Persoalan ini sudah mendesak, tak usah ditunda-tunda lagi," ujarnya. Keruwetan BUMN, menurut Prijono, muncul akibat kebijaksanaan yang diambil di masa lampau. Contoh: banyak BUMN dipimpin oleh para pensiunan yang dikaryakan kembali. Itu langkah yang keliru, "Karena penempatannya tidak berdasarkan pada profesionalisme." Dengan tidak disertakannya peran masyarakat -- karena tak ada pihak swasta yang ikut campur -- BUMN cenderung bertindak semaunya. Penilaian ini berdasarkan fakta yang diperoleh Prijono, beberapa tahun lampau, ketika dia meneliti beberapa BUMN sebagai bahan disertasinya. Dari situ terbukti, "Banyak BUMN yang tidak ada auditingnya. Bahkan beberapa, manajemennya gelap dan sulit dikontrol," ujar Pri. Contohnya, Pertamina. Dulu, perusahaan minyak negara ini bebas pajak, dan orang tidak tahu itu, karena manajemennya tertutup. Sudah selayaknya, kata pakar ini lagi, Indonesia meniru Amerika. Di Negeri Paman Sam juga banyak BUMN, namun sepak terjangnya sudah seperti swasta. Jadi, tak ada masalah. Dan kalau gaya swasta ini diterapkan di BUMN Indonesia, hasilnya tidak akan berbeda: efektif dan efisien. Begitu pula dari segi auditing, hingga semua bisa jelas. Langkah ke arah sana sebenarnya sudah mulai dirintis. Paling tidak, deregulasi praktis telah dilakukan di PT Bio Farma, perusahaan obat yang berada di lingkungan Departemen Kesehatan. Manajemennya telah diserahkan kepada orang dari kalangan swasta. Isu swastanisasi BUMN sudah bergaung dua tahun terakhir ini. Pasalnya, banyak BUMN yang merugi dan itu pernah diakui Menkeu Sumarlin, petengahan tahun lalu. Menurut dia, dari 213 BUMN yang ada tahun 1987 jumlahnya masih 214 - 45 di antaranya masih merugi. Menkeu menunjuk contoh Perusahaan Jawitan Kereta Api dan PT Persero Asuransi Kredit Indonesia. Hanya ketika itu, Sumarlin tidak menyebut-nyebut swastanisasi sebagai jalan untuk mengatasi kesuraman BUMN. Ia tampaknya lebih suka dengan merger. Ini berarti, BUMN yang merugi itu difusikan dengan perusahaan milik negara lainnya, bahkan mungkin pula dengan perusahaan milik swasta. Tapi kalau BUMN itu tidak mungkin ditolong lagi, "Bisa saja langsung ditutup," ujar Menkeu. Departemen yang paling gamblang dan terbuka tentang BUMN yang dibawahkannya mungkin baru Departemen Pertanian. Menteri Pertanian Wardoyo, Oktober tahun lalu di DPR, terus terang membeberkan keadaan 36 BUMN -- terdiri dari Perm dan PTP. Berdasarkan hasil survei kantor Menko Ekuin dan Deptan terbukti masih ada 8 PTP yang tidak sehat alias merugi -- akhir tahun lalu ruginya mencapai Rp 265,5 milyar. Sementara itu, 14 lainnya (13 PTP dan 1 Perum) dinyatakan sangat sehat. Ini berarti BUMN itu selain berhasil meraih laba juga mampu memenuhi kewajiban utangnya. Lantas sisanya? Mereka termasuk ke dalam BUMN dengan kategori kurang sehat. Ada yang mengalami untung dan rugi, secara bergantian. Ada juga yang untung lumayan secara kontinu, tapi tak mampu membayar utang. Menurut Mentan, kerugian BUMNBUMN yang ada di lingkungan Deptan terjadi karena utang-utang lama yang terus membengkak, plus investasi yang tertunda-tunda. Dan pendapat ini disetujui oleh Gunawan Sumodiningrat. Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada ini, kerugian terjadi disebabkan kurangnya perhatian pemerintah pada sektor pertanian. Hal itu tercermin dari ketidaksiapan sektor perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kelapa, dan teh dalam memenuhi permintaan luar negeri. "Peremajaan dan penelitian di bidang pemuliaan tanaman relatif terlambat jika dibandingkan dengan Malaysia dan Muangthai," kata Gunawan. Anehnya, tim survei BUMN Pertanian seakan-akan telah berembuk dengan Menkeu Sumarlin. Mereka juga menyarankan agar BUMN yang masuk dalam kategori kurang sehat, dimerger saja. Cara mengatasi kesulitan BUMN terlintas pula di benak Menteri Perdagangan Arifin Siregar. Kepada Suara Pembaruan, Menteri mengungkapkan, bukan tak mungkin BUMN di Deperdag digabung, sehingga akan merupakan sebuah trading house yang besar. Tidak sulit untuk melakukannya sebab BUMN di bawah Deperdag memiliki bidang yang sejenis, yakni perdagangan. BUMN di Deperdag kini memprihatinkan. Dulu mereka terkenal sebagai profit centre, dan bisa melaju pesat, kendati cuma berbekal lisensi impor. Lima perusahaannya menggunakan kata Niaga dan sempat dijuluki The Big Five. Sekarang, "Masih diteliti, . . . tapi pemerintah akan berusaha meninkatkan daya guna dariBUMN yang bersangkutan," kata Arifin. Lantas bagaimana dengan swastanisasi, apakah alternatif itu mendesak untuk segera dipilih? Adalah Dr. Bambang Subianto, peneliti dari Lembaga Manajemen FE-UI, yang mengatakan tidak. Dalam sebuah artikelnya yang dimuat dalam buku Ekonomi Indonesia Masalah dan Prospek 19881989, Bambang mencoba menelusuri pentingnya BUMN dan apa alasannya tidak diswastakan. Pertama-tama Bambang menampilkan profil BUMN (lihat tabel), mulai dari aktivanya, total penjualan, laba, pajak penghasilan yang disetorkan, dividen, hingga penyertaan modal pemerintah. Dari tabel itu terlihat bahwa BUMN masih mampu menyumbangkan pendapatannya bagi pemerintah, bahkan pada periode 1986-87, pajaknya saja mencapai Rp 927 milyar. Dalam keterangannya pada TEMPO, Dirjen Pajak Mar'ie Muhammad juga membenarkan, penghasil pajak terbesar di Indonesia adalah BUMN. Tapi bukan hanya karena itu BUMN tidak perlu diswastakan. Selain sebagai agen pembangunan yang melayani kepentingan orang banyak, BUMN membutuhkan modal dalam skala yang besar. Dan Bambang memperhitungkan, swasta belum tentu mampu menggalang sumberdaya yang dibutuhkan itu.Budi Kusumah, Tri Budianto Soekarno, Ahmadie Thaha, Aries Margono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum