Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cinta Laura pulang ke Indonesia untuk meracun publik. Pihak berwajib tentu tidak bertindak menangkap meski baliho iklan (peracunan) telah tersebar di beberapa titik jalan strategis: “Mau diracun hidup sehat?” Tampak visualisasi samping wajah Cinta Laura dan Ria Ricis yang berhadapan. Publik bisa memilih mau “diracun” Cinta atau Ria. Berlanjut dengan iklan di televisi, Cinta menantang publik, “Cari racunku di Tokopedia.”
Racun dan diracun oleh selebritas memang urusan iklan komersial salah satu lapak daring yang sedang gencar menyajikan fitur ByMe itu. Fitur ini merekomendasikan produk kesehatan favorit para artis, seperti alat olahraga dan minuman sehat.
Karena yang memberi racun adalah Cinta, publik pengonsumsi produk online itu tidak akan keberatan, apalagi ketakutan. Kita mungkin sempat merasakan yang tidak beres. Racun kok tidak berefek kematian, tapi malah menawarkan hidup sehat! Sepertinya, pengiklan kehabisan kosakata yang secara harfiah benar-benar bermakna baik dan terpuji nan kuat memberikan pengaruh. Hal ini mengingatkan kita pada istilah-istilah mengerikan yang berbalik menyampaikan pesan kebaikan atau menggembirakan. Sebut saja virus membaca, wabah kebaikan, banjir hadiah, atau untung beliung—istilah yang pernah dipakai salah satu bank dalam perayaan undian berhadiah.
W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954) mengartikan racun sebagai “zat atau apa djua jg dapat menjebabkan mati (kalau dimakan dsb)” atau “sesuatu jg merusakkan djiwa (batin dsb)”. Sudah pasti, racun membahayakan dan membikin mati. Masih dalam tataran makna sepadan, J.S. Badudu dan Sutan Mohammad Zain (1994) mengartikan racun sebagai “segala sesuatu (makanan atau minuman) yg dapat mematikan” atau “segala sesuatu (perkataan, tindakan, dsb) yang dapat merusakkan atau mencelakakan orang”. Diracun berarti diberi sesuatu yang berbahaya, bahkan mematikan, terutama lewat peristiwa ragawi makan atau minum yang sangat manusiawi.
Saya teringat pada pohon yang harus diracun dalam novel Setan van Oyot (2019) garapan Djokolelono. Diceritakan, pohon beringin yang dijuluki Kiai Oyot oleh pribumi setempat di Desa Wlingi, Jawa Timur, harus ditumbangkan karena mengganggu tempat perhelatan ulang tahun Ratu Belanda. Meracuni pohon dengan zat mematikan dipilih sebagai jalan pamungkas setelah pohon tak dapat ditumbangkan dengan pelbagai cara dan alat. Thijs, orang Belanda peramu racun yang lebih senang dipanggil Tarmiji, memiliki pergolakan tersendiri tentang racun dan pohon. Dia mengatakan, “Saya… saya tidak suka membunuh pohon. Apalagi, pohon yang… sampai diberi nama oleh penduduk setempat….” Tarmiji langsung memilih kata “membunuh” daripada “meracun”.
Ada kesan membunuh nyawa pohon sama saja dengan menghilangkan nyawa manusia. Entitas kehidupan dari sang pohon memberikan semacam tekanan psikologis bagi si peracun atau pembunuh.
Kegamblangan dan kesepadanan masih diyakini menjadi bekal utama (bahasa) menyampaikan pesan. Dalam kasus pengiklanan fitur ByMe, hukum kesepadanan sengaja diterabas atau justru dimain-mainkan untuk menghasilkan paduan dari kata yang semula saling menentang. Diracun dan hidup sehat tentu bukan paduan yang terdengar indah dan wajar, seperti virus dan membaca. Namun pengiklan harus nekat menerabas untuk meningkatkan kadar dramatisasi dan menciptakan strategi beristilah yang akrobatis. Anggaplah pernyataan “berbagi tip-tip kesehatan”,” panduan hidup sehat”, “mau hidup sehat?”, atau “ingin tahu cara hidup sehat” sudah sangat konvensional, normatif, dan tentu tidak menantang.
Bukan raga yang akan terkena efek racun ala Cinta Laura. Tatkala publik menerima istilah racun atau diracun itu, mereka tidak akan membayangkan sianida atau sejenisnya yang dibubuhkan dalam minuman atau makanan. Produk kesehatan yang ditawarkan sudah menjelma menjadi “racun” yang perlahan akan dipercaya mampu memberikan efek sehat. Tentu, dalam strategi menciptakan kiasan semacam ini, tidak ada polisi bahasa yang berkuasa melarang atau punya otoritas meluruskan penggunaan kata sesuai dengan arti denotasi agar tidak lewah berkonotasi.
Hasif Amini (Bahasa!, 2008) mengatakan, “Konotasi tidak pernah lari terlalu jauh dari denotasi. Ketika sebuah kata mendapat tambahan makna baru, lazimnya konotasi itu memiliki pengertian yang berkaitan dengan denotasinya…. Sebab, memang makna asal itulah yang menjadi semacam ‘poros’ bagi aneka ragam makna tambahan yang terbentuk kemudian, termasuk ketika bertemu dengan kata lain dan melahirkan sebuah kiasan.” Kita segera dibuat percaya ada racun yang baik meski rasa takut, ngeri, atau barangkali ganjil masih ada. Permulaan yang berbahaya, bahkan mengandung kriminalitas, tidak terasa karena Cinta Laura mengajak kita bermain-main bahasa. Sudah siap diracun?
*) Esais, anggota tim penulis Semaian Iman, Sebaran Pengabdian (2018)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo