Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah yang bertujuan membentuk pemerintah yang kuat sekaligus efektif ini justru menimbulkan banyak mudarat. Koalisi yang terlalu besar cenderung tidak solid dan rawan gesekan politik, yang akan mengganggu kinerja kabinet.
Gejala itu langsung mencuat begitu Jokowi mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju. Sejumlah partai politik kecewa lantaran tidak mendapat kursi menteri sesuai dengan harapan mereka. Ada juga partai pendukung Jokowi yang tidak memperoleh jatah sama sekali, baik kursi menteri maupun wakil menteri. Riak-riak kekecewaan itu bisa memicu langkah politik yang mengusik soliditas koalisi pendukung pemerintah.
Manuver Ketua Umum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh cuma salah satu contoh. Ia tiba-tiba menemui Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman di kantornya, akhir Oktober lalu. Sehabis pertemuan itu, Paloh menyatakan membuka opsi menjadi “penyeimbang” pemerintah seperti PKS. Ia juga berencana berkomunikasi dengan partai lain di luar kabinet, yakni Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat.
Langkah Paloh berpotensi merepotkan Jokowi karena NasDem berada di dalam pemerintah. NasDem mendapat tiga kursi menteri, seperti pada kabinet periode lalu. Hanya, partai ini sekarang kehilangan posisi yang penting, yakni Jaksa Agung. Pos yang semula dipegang kader NasDem, M. Prasetyo, tersebut kini ditempati St. Burhanuddin, jaksa senior yang dikenal dekat dengan kalangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Masuknya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke kabinet dikabarkan pula membikin Partai NasDem gerah. Prabowo, yang dikenal cukup akrab dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Situasi ini membuat posisi NasDem jadi kurang dominan di koalisi. Partai ini makin tidak nyaman lantaran hubungan Paloh dan Megawati telah renggang karena sejumlah kepala daerah yang diusung PDIP pindah ke NasDem.
Keputusan Jokowi membuat kabinet gemuk sesungguhnya didasari dua asumsi yang salah. Pertama, Jokowi menganggap pemerintahnya akan kuat jika disokong banyak partai. Ia lupa bahwa di Dewan Perwakilan Rakyat peta dukungan sangat dipengaruhi isu yang dibahas. Jika isu itu dianggap tak menguntungkan, bahkan partai koalisi pun bisa membelot. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, PDIP pernah tidak menyokong kebijakan pemerintah.
Asumsi keliru kedua adalah Jokowi menganggap koalisi gemuk akan memudahkannya mengambil pelbagai kebijakan—umumnya yang berorientasi pembangunan. Ia menganggap selama ini banyak “rencana baik” pemerintah terhambat oleh proses politik di parlemen. Ia lupa bahwa tidak pernah ada rencana baik jika tidak diuji lewat proses checks and balances. Setiap rencana pasti mengandung daifnya.
Kini Jokowi juga mengakomodasi delapan partai politik, termasuk Partai Solidaritas Indonesia dan Partai Persatuan Indonesia. Sikap akomodatif ini telah mengundang kecemburuan Partai Hati Nurani Rakyat serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Dua partai yang sejak periode lalu menyokong Jokowi ini tidak kebagian kursi menteri atau wakil menteri.
Rasa kecewa juga diungkapkan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi keagamaan yang biasanya mendapat jatah kursi Menteri Agama. Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, orang NU selalu menempati pos itu. Pada kabinet periode pertama, Jokowi pun masih mengangkat tokoh NU, Lukman Hakim Saifuddin. Tapi kali ini ia mengabaikan tradisi itu dengan menempatkan Jenderal Purnawirawan -Fachrul Razi sebagai Menteri Agama.
Jokowi mengangkat Fachrul dengan penugasan khusus, yakni menghadang radikalisme. Strategi mirip gaya Orde Baru ini sebetulnya berlebihan. Apalagi ia juga menitipkan urusan serupa kepada mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Tito Karnavian, yang diangkat sebagai Menteri Dalam Negeri. Urusan radikalisme sebenarnya cukup diatasi dengan cara memperkuat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Pengangkatan sejumlah menteri lain tampak pula tidak didasari pertimbangan yang benar-benar matang. Rekrutmen tokoh muda, Nadiem Makarim, misalnya, sebetulnya cukup bagus. Hanya, banyak orang menyayangkan penempatannya yang kurang pas. Pendiri Gojek ini harus memimpin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, urusan yang baru sama sekali bagi dia.
Melihat banyaknya masalah pada kabinet baru, jangan heran jika beberapa pengamat politik memprediksi akan ada perombakan kabinet pada tahun depan. Bongkar-pasang seperti ini semestinya bisa dihindari bila Presiden lebih cermat dalam membangun koalisi dan menyusun kabinet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo