LAPORAN wartawan TEMPO berjudul Sepuluh Tahun Belenggu Putus (TEMPO, 19 Juli, Nasional) cukup menarik. Tapi, rasanya, ada yang mengganggu bagi kami, PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang bertugas di Timor Timur, yaitu mengenai nilai tambahan berupa satu kali gaji. Barangkali, wartawan TEMPO kurang cermat, sehingga tidak berusaha mendapatkan informasi yang benar. Nilai tambahan tersebut berupa Tunjangan Khusus Timor Timur, yang berlaku bagi semua pegawai negeri yang bertugas di Tim-Tim. Besarnya 80% dari gaji pokok untuk Golongan I, 84% dari gaji pokok bagi Golongan II, 92% dari gaji pokok untuk Golongan III, dan 95% dari gaji pokok untuk Golongan IV. Jadi, lain sekali kalau disebutkan sebesar satu kali gaji. Walaupun begitu, nilai tambahan tersebut dapat dikatakan tidak berarti. Soalnya, biaya hidup di Tim-Tim tinggi sekali. Harga bahan pokok relatif mahal dan variasinya kurang serta sukar dicari. Kalaupun ada, terbatas di Dili saja. Dengan demikian, terus-terang saja, walaupun tanpa mendapatkan nilai tambahan berupa tunjangan khusus, rasanya, lebih menyenangkan hidup di luar Tim-Tim. Berkaitan dengan penugasan PNS Pusat di Tim-Tim, telah terjadi diskriminasi mengenai hak kepindahan pada PNS Depdagri asal 4 provinsi yang dimutasikan ke Tim-Tim pada 1985. Dalam SK Mendagri jelas disebutkan bahwa mereka dimutasikan. Dengan demikian, konsekuensinya pemerintah harus memberikan hak kepada mereka sesuai dengan peraturan yang berlaku (diatur tersendiri dengan SK Menteri Keuangan). Justru yang terjadi sangat aneh dan menyakitkan. Kepada mereka diberikan uang detasering dengan lumpsum lama dan uang pindah hanya berupa ongkos tiket pesawat udara bagi PNS dan anggota keluarganya ditambah ongkos barang sebesar Rp 150.000 saja. Padahal, sebelumnya pihak Depdagri sudah menegaskan bahwa uang pindah yang diberikan itu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Bahkan, Depdagri berani memberikan uang muka yang bervariasi Rp 400 s/d 600 ribu tergantung jauh dekatnya provinsi asal. Bersamaan dengan mutasi PNS asal 4 provinsi itu terjadi juga mutasi PNS asal Depdagri sendiri di Jakarta. Berlainan dengan yang diberikan kepada yang disebut pertama, kepada PNS asal Depdagri pemerintah memberikan uang detasering dengan lumpsum baru. Juga, uang pindah sebesar yang ditentukan dalam peraturan yang berlaku. Bedanya jauh sekali, karena dengan hanya diberikan ongkos tiket, ada PNS yang malah harus mengembalikan uang kepada negara. Sebab, sebelumnya telah mengambil uang muka. Selain itu, perlakuan yang berbeda adalah mengenai penyediaan fasilitas perumahan dan daerah penempatan. Bagi PNS asal Depdagri dengan mudah diberikan perumahan, sekalipun sederhana. Juga tidak ada PNS asal Depdagri yang ditugasi di luar Dili. Sebaliknya, yang terjadi dengan mereka: PNS asal 4 provinsi. Sebagian besar bertugas di daerah tingkat II (kabupaten) dan perumahan bagi mereka pun sulit. Yang kebetulan ditempatkan di Dili saja, umumnya, hanya diberi satu kamar tidur. Jelas, itu tidak memadai untuk perumahan sebuah keluarga, sekalipun keluarga kecil. Padahal, Depdagri dalam janjinya, dulu, menyebutkan uang pindah sesuai dengan peraturan yang berlaku: perumahan, jabatan, dan lailn-lain. Jelas, dengan kondisi seperti yang di atas dapat dibayangkan betapa kecewanya mereka selain hak-hak yang diingkari, jabatan yang diberikan pun bukanlah jabatan seperti yang dijanjikan. Alasan pihak Pemda Tim-Tim adalah untuk menghindari benturan politik. Begitulah, jadinya porsi jabatan tersebut malah umumnya masih tetap dipegang oleh PNS putra daerah sendiri, sekalipun dilihat dari kemampuan, pengalaman, latar belakang pendidikan, dan golongan pangkatnya jauh daripada persyaratan yang ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Pada dasarnya, penugasan mereka adalah permintaan Pemda Tim-Tim sendiri jadi sewajarnyalah Pemda Tim-Tim dan pihak Depdagri berusaha memberikan hak-hak kepada mereka dengan yang sepatutnya. Atau, jika kedua pihak tersebut menyatakan tidak sanggup, sebaliknya harus diberikan keIonggaran kepada mereka yang tidak ingin melanjutkan tugas di Tim-Tim dan ingin kembali ke provinsi asal, sekalipun dengan harus menanggung ongkos kembali sendiri. Bagaimana, Pak Menpan? (Nama dan alamat pada Redaksi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini