AZAN subuh baru saja terdengar. Di sebuah ruangan di penjara Taiping, sekitar 302 km sebelah utara Kuala Lumpur, Malaysia, enam pria tampak menjalankan salat dengan khusyuk. Lalu, salah seorang di antara mereka sempat membaca ayat-ayat suci Quran selama beberapa menit. Suasana tampak damai dan tenang. Setenang itu pulalah, sekitar sejam kemudian, Jumat pekan lalu, Ramli Kechik, asal Langkat, Sumatera Utara -- pria yang tadi membacakan ayat-ayat Quran -- berjalan menuju tiang gantungan. Langkah narapidana, yang September 1984 lalu, dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Kangar, Negara Bagian Perlis, Malaysia, itu tegar ketika menerima pelaksanaan vonisnya. Malah ia sempat mengucapkan "Allahuakbar", sebelum empat detik kemudian meregang nyawa di tiang gantungan. Tak ada ratap tangis. Tak pula ada heboh dan polemik seperti yang mengiringi penggantungan dua warga negara Australia, Brian Geoffrey Chambers dan Kelvin John Barlow, Juli lalu, di penjara Pudu, Kuala Lumpur. Ramli seperti sudah siap: melenggang sendirian menemui jerat yang disediakan buat lehernya. Sampai tewas tanpa publikasi luas dari pers (di Malaysia dan di Indonesia). Padahal, dialah narapidana narkotik pertama asal Indonesia yang menjalani hukuman gantung di Malaysia. "Kami telah berusaha maksimal untuk membelanya. Tapi, tentu saja, kita juga harus tunduk pada hukum yang berlaku di sini," kata Darwosugondo, Konsul RI di Pulau Pinang. Bisa dipahami kenapa Darwosugondo jadi pasrah. Sebab, kesalahan yang telah dibuat Ramli memang terbilang berat dan sulit diampuni di Malaysia: ia kedapatan membawa candu mentah, yang bisa diolah menjadi morfin atau heroin, seberat 15,6 kg, di Kuala Perlis, Juli 1982. Akibatnya, ia diadili. Dan kemudian divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Kangar, 29 September 1984. Ia sempat mengajukan kasasi, lewat pengacaranya Karpal Singh -- pengacara yang juga membela Chambers dan Barlow -- tapi ditolak. Malah Mahkamah Agung Malaysia kemudian menetapkan jadwal eksekusinya 22 Agustus 1986. "Ini memang peristiwa pertama kali seorang Indonesia yang dihukum mati karena narkotik di Malaysia," ucap Subagio, pejabat Imigrasi di KBRI Kuala Lumpur. Malaysia dan juga Singapura memang memberlakukan sanksi amat keras (hukuman gantung) buat para pelanggar ketentuan tentang dadah (narkotik) sejak 1975. Singapura malah tak main-main menetapkan ancaman siapa saja yang kedapatan memiliki minimal 15 gram heroin di negeri itu akan dihukum mati. Alasan mereka jelas. Malaysia, misalnya, seperti pernah dikemukakan Datuk Musa Hitam (ketika masih menjadi Wakil PM Malaysia) kepada TEMPO), Sudah menganggap narkotik sebagai "ancaman serius" seperti halnya ancaman komunisme. Hingga kini tercatat sekitar 120 orang pelanggar ketentuan itu yang divonis mati oleh pengadilan. Dari jumlah itu 38 orang (Malaysia dan warga asing) sudah menjalani eksekusi. Sedangkan Singapura sudah menggantung 20 pendadah, dan kini akan mengadili tiga lagi pendadah yang sudah dihukum mati. Dibandingkan dua negeri tetangga tadi, Indonesia tampaknya belum sekeras itu. Memang ada UU Nomor 9/1976 tentang narkotik yang mencantumkan pidana mati bagi pengedar, eksportir, atau importir narkotik. Diperkuat dengan beberapa petunjuk lain hasil kesepakatan pejabat di lingkungan peradilan, yang menggariskan perlunya dikenakan sanksi maksimal buat pelanggar UU narkotik itu. Tapi, hingga kini, paling banyak baru empat orang terdakwa kasus narkotik yang divonis mati oleh pengadilan negeri. Dan belum satu pun dari para terhukum ini yang dieksekusi. Bahkan Mahkamah Agung sendiri, misalnya, pernah memperingan vonis mati, yang sudah dijatuhkan Pengadilan Negeri Aceh Timur, Maret 1983, atas dua penyeludup narkotik warga negara Taiwan menjadi 17 tahun penjara. Dan hukuman ringan pada kasus narkotik memang bukan barang baru di sini. Untuk ini banyak contoh. Di Medan, pada 1983, umpamanya, pernah diadili 66 perkara narkotik. Namun, sebagian besar terdakwa divonis kurang dari setahun penjara. Maka, eksekusi peradilan Malaysia atas Ramli Kechik, agaknya, bisa jadi pelajaran. Bagi para pengedar lain agar tak mencoba main api di sana. Misalnya terhadap Ramli itu, bekas nelayan yang sejak 1978 sering keluar masuk Malaysia lewat Pulang Pinang. Tak begitu jelas riwayat hidup pria setengah baya ini. Yang pasti lewat Polisi Binjai, sekitar 40 km dari Medan, tiga hari sebelum eksekusi, keluarganya di Desa Gebang, Langkat, telah diberi tahu konsulat RI Pulau Pinang tentang rencana pelaksanaan hukuman atas diri Ramli. Karena pertimbangan ekonomi, keluarga nelayan ini tak datang ke Taiping. Tak berjumpa kendati di detik-detik terakhir, bisa jadi suatu kesedihan tersendiri buat keluarga Ramli. Namun, mereka tampaknya boleh bersyukur. Sebab, ternyata, saat-saat menjelang eksekusi, Ramli terlihat taat mengerjakan perintah agamanya. "Tingkah lakunya amat terpuji, hingga banyak petugas penjara bersimpati pada nasibnya," kata Shaari Hussin, Direktur Penjara Taiping. Dia mengatakan sempat meneteskan air mata ketika mendengar -- setelah mereka sama-sama salat subuh di sebuah ruangan di penjara Taiping -- getaran suara Ramli ketika mengalunkan ayat-ayat Quran. "Dia benar-benar pasrah dan berserah sepenuhnya pada Tuhan. Dia malah minta agar hukuman cepat-cepat dilaksanakan karena takut menambah dosa lagi jika hidup lebih lama," tutur Husin pada Kkonsul Darwosugondo. Ramli, menurut Hussin, meninggal dunia secara bersih. Mayatnya seperti orang sedang tidur nyenyak. Marah Sakti Laporan Ekram Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini