Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Saya Tidak Membuang Islam"

Ridwan saidi, ketua lajnah pemilu ppp, pendukung naro dan penentang soedardji, dituduh naro melakukan tindakan tidak etis atas pernyataannya yang mengusulkan modernisasi partai. kemelut makin runyam. (nas)

30 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIDWAN Saidi, tokoh muda, dan Ketua Lajnah Pemilu PPP, setelah banyak dikutip oleh pers akhir-akhir ini sebentar lagi, boleh jadi -- akan tersingkir, atau disingkirkan. Putra Betawi itu, misalnya, dari urutan No. 2 pada daftar calon anggota DPR di Jakarta pada Pemilu lalu, kini dikabarkan turun menjadi calon No. 5. Adapun posisi calon No. 1 ditongkrongi oleh Naro sendiri, yang sebelumnya ditempati K.H. Idham Chalid. Padahal, pada Pemilu 1982 lalu, di Jakarta, dengan dukungan NU, PPP hanya meraih lima kursi. Setelah NU melepaskan ikatannya dari PPP, besar dugaan, perolehan suara di Ibu Kota itu akan anjlok dari jumlah itu. Tapi, sebelum tersingkir oleh pemilu, besar kemungkinan, lebih dulu Ridwan akan disingkirkan. Tak kurang Mardinsyah, Sekjen DPP PPP, yang menilai Ridwan telah melakukan tindakan "sangat tidak etis, dan melanggar ketentuan organisasi". Ini berarti, kini berkembang tanda-tanda, kubu Naro retak dari dalam. Sebab, Ridwan selama ini terkenal sebagai pendukung kepemimpinan Naro-Mardinsyah. Bahkan, ia merupakan otak yang merumuskan berbagai keputusan Muktamar PPP di Hotel Horison, Jakarta, dua tahun silam. Ridwan pula yang merancang tanda gambar PPP yang baru, "Bintang Pancasila" -- tanpa banyak sentuhan Naro. Tak hanya itu. Lebih jauh, ada yang menilai Ridwan adalah putra mahkota H.J. Naro. Dalam arti, orang kesayangan, dan yang banyak diperkirakan akan menjadi pengganti Naro. Dan kini apa yang terjadi? Adalah Presiden Soeharto, dalam Pidato Kenegaraan di DPR, 15 Agustus lalu, yang berpendapat dalam pemilu mendatang tak ada lagi soal ideologis. Sebab, semua partai telah satu asas Pancasila. Dengan cantolan pendapat Presiden itu, lantas Ridwan mendesak agar PPP melaksanakan modernisasi partai. Caranya: lebih dulu, AD & ART, serta khittah perjuangan PPP diubah. "Saya ingin agar formula-formula Islam dihapus," kata Ridwan Saidi. Mengapa? "Formula Islam itu hanya dijadikan rujak saja, untuk dibawa ke Senayan." Maksudnya, formula Islam dalam AD & ART serta khittah itu hanya dijadikan penarik suara saja dalam pemilu. Ia hanya alat untuk mendapatkan kursi di DPR (Senayan). "Saya tidak membuang Islam. Saya ingin menempatkan Islam di tempat yang mulia," kata Ridwan. Karena itu, "Harus dicegah, Islam hanya dijadikan komoditi politik," tambahnya. Dengan dihapuskannya berbagai formula Islam itu, maka PPP menjadi partai terbuka. Ia tak hanya partai bagi yang beragama Islam, tapi juga yang non-Islam. "Modernisasi partai ini tak bisa dielakkan," kata Ketua Lajnah Pemilu PPP ini. "Kecuali kalau PPP ingin seperti PAS (Parti Islam Sa-Malaysia)." PAS, dalam Pemilu Malaysia yang lalu, kalah besar. Barisan Nasional, partai Mahathir, memenangkan lebih dari dua pertiga suara. Kekalahan PAS itu, menurut Ridwan, karena program PAS yang membedakan antara kalangan Islam dan non-Islam. Desakan Ridwan, agar AD & ART serta khittah perjuangan partai diubah, itulah yang menyebabkan Naro -- Mardinsyah marah. Ia dikecam sebagai tak tahu prosedur. Menurut Mardinsyah, perubahan AD & ART, serta khittah perjuangan partai, "tak bisa dilakukan dengan cara asal-asalan." Gagasan itu sebaiknya diajukan resmi ke DPP PPP sebagai masukan untuk Muktamar PPP yang kedua, 1989. Jadi, tak digembar-gemborkan lewat pers. Kecaman lebih pedas datang dari Naro sendiri. Seperti dikutip koran Terbit, Naro mengharapkan agar dalam tubuh Generasi Muda Persatuan (GMP) tidak ada orang seperti Ridwan Saidi. Yakni orang yang ingin mengubah konstitusi partai, hanya melalui pernyataan kepada umum. "Kewajiban setiap orang yang berorganisasi," demikian Naro, "untuk mencintai dan menghormati konstitusi." Untuk mengubah konstitusi tidak sembarangan. "Ada forumnya, yakni muktamar," kata Naro ketika melantik Pimpinan GMP Cabang Jakarta Barat, Rabu pekan lalu. Sebenarnya, ihwal AD & ART itulah pula yang, antara lain, menjadi pangkal sengketa berlarut-larut, antara Naro cs dan Soedardji cs. Adalah kelompok Soedardji yang menelurkan mosi tak percaya, di Cipayung, Maret tahun silam. Mereka, antara lain, mendesak diadakannya muktamar luar biasa PPP "Sebagai sarana untuk melakukan perbaikan menyeluruh dan mendasar terhadap konstitusi, program, dan kepemimpinan partai." Dalam hal konstitusi, meski secara resmi telah menerima asas Pancasila, Soedardji cs menuduh AD & ART serta khittah perjuangan PPP masih menyembunyikan asas Islam. "PPP akan menjurus keluar dari sistem nasional," begitu tuduh kubu Soedardji. Dan, kala itu, mereka juga menuntut agar DPP PPP segera mengeluarkan penyataan bahwa PPP merupakan partai yang terbuka, dan bukan lagi partai Islam. Jadi, tuntutan Soedardji cs Maret 1985 itu, sesungguhnya, tak berbeda dengan desakan yang dilakukan oleh Ridwan Saidi sekarang. Padahal, dulu, dari kubu Naro, Ridwan tampil sebagai penentang keras Soedardji cs. Ridwan, misalnya, menilai Soedardji, "orang yang bermuka tebal" karena tak malu-malu setiap kali minta maaf. "Tapi kali ini dia sudah tak akan dimaafkan lagi. Pasti dia akan out," kata Ridwan pada TEMPO kala itu. Bahkan, akhir Juli silam, Ridwan masih menyebut Soedardji cs sebagai pengkhianat. Pengkhianatan itu ialah bersuara "maca-mmacam", antara lain menelanjangi PPP. Nah, mengapa kini Ridwan juga turut serta bersuara "macam-macam"? "Kami menyayangkan, Ridwan meminta perubahan AD & ART melalui koran," kata H. Aisyah Amini, salah seorang Ketua DPP PPP. "Dan itu terjadi menjelang pemilu. Kami memang tak mengerti apa kehendaknya." Lagi pula, "Apakah mencoret agama, berarti memodernisasikan partai?" Sebuah sumber, dari kubu yang melawan Naro, dan kini tersingkir, menyebut sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan Ridwan berubah sikap. Pertama, Ridwan kini sadar bahwa ia sulit untuk dicalonkan kembali menjadi anggota DPR. "Sebab, ia telah mendapat kartu merah dari pemerintah," kata sumber ini. Kala kampanye Pemilu 1982, di Sumatera Barat, Ridwan telah berpidato berapi-api, yang isinya membangkitkan fanatisme beragama, dan mengecam pedas Golkar dan pemerintah. Kedua, masih dalam soal pencalonan, terjadi persaingan ketat di antara orang-orang di sekitar Naro. "Agaknya, Ridwan tak tahan bersaing. Untuk menarik perhatian, ia lantas memunculkan isu modernisasi partai," tambah sumber TEMPO. Ridwan sendiri membantah bahwa ia kini berkoar karena khawatir terlempar dari parlemen. "Saya tidak berubah. Saya bisa hidup di tempat lain, tanpa harus menjual diri agar tetap menjadi anggota DPR," katanya. "Saya bertekad dari gembel tak soal kembali ke gembel." Gagasan memodernisasikan partai, katanya, telah lama menjadi pikirannya. Sebagai Ketua Lajnah Pemilu PPP, ia memang tengah mendesain kampanye, bagaimana bentuk dan isinya, agar PPP menang. "Tapi saya selalu mentok dengan AD & ART dan khittah perjuangan partai," tambahnya. "Padahal, tanpa mengubah AD & ART dan khittah, PPP sulit mendapatkan suara yang banyak." Kecuali itu, empat kali sudah, Ridwan sebagai Ketua Lajnah Pemilu meminta waktu bertemu Ketua Umum DPP PPP H.J. Naro. Hasilnya? "Tak pernah diberi, dengan alasan sibuk," katanya. Sebaliknya, "Ketua Umum menerima Tim Dana Pemilu, berkali-kali." Dan, Ridwan menilai, di kalangan DPP PPP, kini tumbuh suasana tak sehat. "DPP itu sudah seperti Islam Jamaah. Ketua umum dianggap sebagai amir, yang dipatuhi, dan tak terbantah." Ringkasnya, "Tidak intelektual." Tapi Ridwan menolak penilaian yang menyamakan ia dengan kelompok Soedardji. "Beda, dong . . .," tangkisnya. "Mereka melepaskan isu partai terbuka, dan menghubungkannya dengan jatuhnya Ketua Umum." Ia, katanya, tetap mendukung Naro, sebagai ketua umum hasil muktamar. Sebab, "Saya tidak suka tradisi kudeta." Contohnya, ketika tahun 1970, sebagai Sekjen HMI, "Saya mengecam Pak Naro, sewaktu mengkudeta kepemimpinan Parmusi." Dan, seandainya sekarang, yang menjadi Ketua Umum DPP PPP hasil muktamar adalah Soedardji, "Ia pun akan saya bela." Apa pun, yang terang, kini kemelut di tubuh PPP bertambah runyam. Itu sebabnya, ihwal penggantian tujuh anggota DPR yang meninggal, hingga kini, masih menemukan jalan buntu. Soalnya, Naro mengajukan nama-nama pengganti, tapi juga Soedardji, selaku pimpinan Fraksi PPP. Secara terpisah, Rabu pekan lalu, pimpinan DPR, yakni Wakil Ketua Kharis Suhud dan Amir Murtono, telah bertemu kedua pihak yang bersengketa. "Pimpinan Dewan mencoba menjadi penengah, agar tak ada masalah lagi ketika diajukan ke Presiden," kata sumber TEMPO. Ridwan Saidi sendiri kini menilai, adalah kenyataan bahwa ada dua pimpinan dalam PPP. Dan sejauh ini, agaknya, pemerintah masih bersikap "netral" atas perselisihan keduanya. Tapi, Soedardji akan terus melangkah tegar, menghadapi Naro. Apa katanya? "Saya tidak mau berkomentar tentang Ridwan Saidi. Ridwan itu 'kan anak kecil," kata Soedardji. "Kalau yang ngomong Naro, baru Soedardji yang jawab," tambahnya. Saur Hutabarat Laporan A Luqman & Musthafa Helmy (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus