Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANGAN sekali-kali tutup usia di Deli Serdang. Maaf, terpaksa nasihat ini ditujukan khusus untuk warga Tionghoa. Sudah empat tahun ini warga Tionghoa di Deli Serdang, Sumatera Utara, membayar harga kuburan jauh lebih mahal dibanding warga negara yang lain. Revisi sebuah peraturan daerah, yang sedang digodok DPRD Deli Serdang, tentang peningkatan nilai pajak kuburan bagi warga Tionghoa, seakan menegaskan bahwa diskriminasi itu dilakukan sampai ke liang kubur.
Pemda setempat menggunakan Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pajak Luas dan Kemewahan Penghiasan Kuburan untuk menarik bea dari kubur. Isinya mengatur pengenaan pajak berdasarkan ukuran luas lahan atau bangunan yang ada di makam. Bangunan makam yang luasnya lebih dari 3,5 meter persegi atau tingginya lebih dari setengah meter dikenai pajak.
Alasan pemerintah daerah mengenakan pajak tinggi adalah agar lahan di Deli Serdang tidak makin sempit karena diserobot kuburan. Dalam peraturan itu, bangunan berukuran 2 x 1,75 meter persegi dikenai pajak Rp 100 ribu. Luas kuburan yang kurang dari dua meter persegi tidak dikenai pajak. Adapun pajak makam yang berukuran 100-150 meter persegi mencapai Rp 4 juta.
Protes warga Tionghoa, seperti diberitakan oleh sejumlah harian di Medan sepanjang pekan lalu, perlu didengar pemerintah. Kebijakan Pemerintah Daerah Deli Serdang itu amat tidak adil. Tanah dan bangunan kuburan adalah penghormatan kepada leluhur. Dan tidak semua warga Tionghoa mampu membayar pajak dalam nilai jutaan. Pembatasan luas tanah kuburan barangkali masih masuk akal, asalkan berlaku umum untuk semua warga negara yang meninggal dunia. Warga Tionghoa barangkali hanya perlu diberi pengertian agar tidak membangun kuburan secara berlebihan, seperti warga negara yang lain.
Kita tahu, kebiasaan membangun kuburan megah bukan hanya monopoli warga Tionghoa. Makam pemuka-pemuka etnis Batak, misalnya, biasanya juga cukup besar. Contoh lain bisa kita lihat di wilayah Flores dan Timor. Di sana ada saja kuburan ”bertingkat”, diberi sungkup, dan dihiasi batu-batu marmer di dinding makam. Namun, sampai sekarang, belum pernah terdengar pemerintah daerah setempat memungut pajak secara khusus. Kita tahu juga banyak kompleks pemakaman keluarga mantan pejabat yang ukurannya tidak lagi sekadar jumbo, tapi sudah seperti bukit.
Singkat kata, bukan hanya pemakaman Tanjung Morawa, Deli Serdang, yang diisi oleh kuburan yang besar maupun mewah. Jadi, bila pemerintah daerah berkukuh mengeluarkan peraturan daerah untuk menarik pajak makam, disarankan agar sebelumnya pemerintah daerah memeriksa undang-undang yang berlaku di negeri ini.
Aturan pajak kuburan di Deli Serdang itu jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dalam undang-undang ini tidak dibenarkan memungut pajak untuk kuburan. Sebab, kuburan sama saja dengan rumah ibadah atau hutan lindung yang dikecualikan untuk dikenai pajak bumi dan bangunan. Kita tahu, kedudukan undang-undang tentu lebih tinggi daripada peraturan daerah.
Selain aturan hukum mesti diperhatikan, kepatutan perlu digunakan dalam menentukan tarif. Sewa makam di Jakarta saja hanya Rp 50 ribu untuk tiga tahun. Di Deli Serdang mencapai Rp 2,8 juta per tahun. Pemerintah Deli Serdang perlu menjelaskan mengapa sewa kuburan di wilayah itu 56 kali lebih mahal dibanding di Jakarta. Ingin memecahkan rekor harga tanah kuburan tertinggi di Indonesia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo