Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLEH jadi, kasus ini bisa terancam ”hilang ditelan bumi”—sebagaimana pelbagai kasus korupsi tanah negara lainnya. Padahal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dalam laporannya pada Mei 2000, tegas menyatakan bahwa kasus tukar guling atau ruilslag tanah negara di Patal Senayan, Jakarta, seluas 17,8 hektare ini merugikan negara Rp 121,63 miliar.
Tak cuma BPK yang menilai ada kerugian negara. Tim Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, yang diminta menjadi kuasa hukum PT Industri Sandang I, yang menggunakan lahan negara tersebut, malah menyebut angka kerugian yang lebih besar: Rp 419,7 miliar. Temuan ini begitu gamblang mengurai ihwal kolusi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pada awalnya, proses tukar guling senilai Rp 115,8 miliar yang diteken pada 1991 itu kelihatan wajar. Tanah negara yang sebelumnya dipakai PT Industri Sandang I akan dioper ke PT Graha Delta Citra, milik konglomerat papan atas Anthony Salim. Di lahan itu sebelumnya berdiri pabrik pemintalan benang dan perumahan karyawan perusahaan negara tersebut.
Sebagai kompensasi, Anthony akan menyediakan tanah seluas 44 hektare dan pabrik modern di Telukjambe, Karawang, Jawa Barat, 80 kilometer di timur Jakarta. Graha juga menjanjikan pinjaman modal kerja Rp 83,8 miliar. Selain itu, Industri Sandang akan mendapatkan saham 10 persen di perusahaan properti yang akan menggarap kawasan Patal Senayan.
Faktanya berbeda. Graha Delta Citra wanprestasi. Anthony ingkar janji. Tanah pengganti tak seluas seperti dalam perjanjian. Utang modal kerja juga tak pernah mengucur. Pabrik dan mesin yang seharusnya baru malah dipakai dulu oleh kelompok usaha Graha Delta Citra selama tiga tahun. Saham sempat diberikan, tapi belakangan dijual kepada pihak lain pada 2003 dengan harga murah.
Pemerintah mestinya mendengar keberatan Direksi PT Industri Sandang yang meminta perjanjian itu dibatalkan. Kalaupun diteruskan, perjanjian itu mesti diperbarui mengikuti perkembangan pasar. Harga tanah, misalnya, pada 1991 masih Rp 600 ribuan per meter persegi. Tapi enam tahun kemudian harganya sudah melonjak menjadi sekitar Rp 3 juta.
Bau amis itu merebak sejak awal 1997. Saat itu Menteri Sekretaris Kabinet Saadillah Mursjid menulis surat ke Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad serta Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tunky Ariwibowo. Isinya tegas: atas permintaan Presiden Soeharto, ”Perjanjian ruilslag harus segera dilaksanakan secara tuntas.” Sejak itulah keinginan Anthony untuk mendapatkan lahan luas di jantung Jakarta tak terbendung.
Memang, kasus yang sarat kolusi ini bermuara pada bekas presiden Soeharto. Presiden Indonesia kedua itulah yang akhirnya menjadi pemukul gong dari persoalan tukar guling yang terkatung-katung selama enam tahun karena direksi PT Sandang keukeuh tak mau melanjutkan perjanjian. Anehnya, pemerintah justru memihak Graha Delta, yang jelas-jelas tak beritikad baik.
Sedari awal, perjanjian itu sudah cacat. Graha Delta ditunjuk tanpa tender. Padahal, menurut direksi Industri Sandang, banyak peminat yang mau membeli lahan yang berada di lokasi strategis itu. Jika ditender, sangat mungkin pemerintah mendapat harga yang jauh lebih bagus. Perjanjian itu semula diteken tanpa disahkan di depan notaris.
Dua menteri yang terlibat kasus ini sudah wafat, memang. Tapi bukan berarti kasusnya tak bisa didalami. Sikap cuek-bebek aparat hukum ini tidak patut karena sama saja dengan menganggap sepi hasil audit lembaga tinggi negara itu. Sudah semestinya DPR mempertanyakan masalah ini ke pemerintah, yang seharusnya segera melakukan upaya hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo