Seandainya Hippokrates masih hidup, beliau pasti akan terharu melihat nasib dokter-dokter muda di Indonesia. Setelah menuntut ilmu kedokteran selama 6-9 tahun, dengan beban studi setara S2 (strata 2), mereka kemudian diwajibkan ke daerah perifer sebagai ujung tombak tenaga kesehatan. Tapi dengan adanya deregulasi sistem kesehatan tentang dokter sebagai pegawai tidak tetap, banyak aturan main yang tidak jelas bagi saya. Antara lain dilarangnya dokter melakukan praktek pribadi di tempat tugas mereka. Bila itu dilanggar, ia akan dikenai sanksi sebesar enam kali penghasilan yang diterima dan dibebaskan dari tempat tugas. Dengan kata lain, dokter tersebut telah dikontrak untuk bekerja selama 24 jam dengan imbalan yang telah ditentukan. Apakah ini realistis? Imbalan itu terasa tidak memadai dibandingkan waktu, tenaga, dan pikiran yang diberikan. Dokter itu bukanlah robot atau mesin. Dia adalah manusia biasa yang penuh dengan segala kekurangan. Mereka juga perlu memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan. Selain bertujuan mempunyai profesi yang luhur, mereka juga berkeinginan memperbaiki status sosial ekonomi keluarganya. Mereka juga berkeinginan mengembangkan karier dan melanjutkan pendidikan spesialisnya setelah kembali dari daerah. Dengan masa tugas 3-5 tahun di daerah tidak terpencil, dokter muda mendapat imbalan Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu per bulan. Dan Rp 750 ribu untuk daerah terpencil. Tapi dari jumlah itu hanya 30 persen yang diberikan langsung. Sedangkan sisanya harus disimpan di bank untuk biaya hidup setelah kembali dari daerah. Jadi, dari jumlah 30 persen itulah biaya hidup dokter selama di daerah, tanpa diberi kesempatan untuk praktek pribadi. Apakah dengan memberikan seluruh imbalan tersebut, yang nota bene merupakan haknya, seorang dokter akan berfoya-foya atau membeli antena parabola di daerah terpencil? DRS. MED. TAUFIK JAMAAN Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jalan Salemba Raya 6 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini