ENAM wartawan Sinar Harapan, termasuk pemimpin umum, diperiksa kejaksaan tinggi karena membocorkan Rancangan APBN. Presiden Soeharto, pada awal Januari 1973 itu, tersinggung karena rancangan tadi masih berstatus ”rahasia negara” karena belum dipidatokan di depan DPR. Pemeriksaan selama seminggu itu mengarah ke sangkaan subversi. Panglima Kopkamtib dan Menteri Penerangan turun tangan. Wakil Pemred, Aristides Katoppo, dicopot dan ”disekolahkan” ke luar negeri.
DPR Orde Baru tak pernah mengutak-atik RAPBN yang diajukan pemerintah. Jenderal Soeharto mengajak para politisi dan anggota DPR untuk taat total pada ketentuan buatannya sendiri yang diberi merek ”Konsensus Nasional”. Intinya singkat saja: DPR tidak perlu mempersoalkan rancangan APBN pemerintah dan dwifungsi ABRI. Dengan konsensus yang merobek konstitusi itu, Menteri Keuangan bisa bilang ”take it or leave it”. Bujet yang diajukan selalu lolos diundangkan tanpa perubahan setitik-koma pun.
Penjelasan UUD 1945 tentang APBN berbunyi: ”Cara menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah ukuran bagi sifat pemerintahan negara. Dalam negara yang bersifat fasisme, anggaran itu ditetapkan semata-mata oleh pemerintah. Tetapi dalam negara demokrasi atau dalam negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat seperti Republik Indonesia, anggaran pendapatan dan belanja itu ditetapkan dengan undang-undang. Artinya, dengan persetujuan DPR.”
Kemudian: ”Rakyat menentukan nasibnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Pasal 23 menyatakan, ”Dalam menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat daripada kedudukan Pemerintah”. Ketentuan ini disembunyikan oleh Orde Baru, sambil terus mengedepankan bagian Penjelasan UUD ’45 tentang consentration of power and responsibility upon the president.
Penjelasan UUD ’45 tidak menguraikan perihal utang. Tapi dokumen di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan menunjukkan adanya UU Perbendaharaan (comptabiliteits wet), yaitu dari UUD Jepang yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, yang memuat ketentuan bahwa ”pinjaman uang atas tanggungan negara harus mendapat persetujuan Diet (parlemen Jepang)”.
Argumen Aspal
UUD Filipina juga menentukan bahwa ”pinjaman uang atas tanggungan pemerintah Filipina menjadi hak DPR.” Ini menunjukkan, Pasal 23 UUD kita harus diinterpretasikan bahwa para pendiri negara mengikuti asas universal, meski tidak secara eksplisit dicantumkan di pasal UUD.
Kealpaan itu sempat diperbaiki oleh Prof. Soepomo ketika ia merumuskan secara gamblang bahwa ”pinjaman uang atas tanggungan Republik Indonesia tidak dapat diadakan, dijamin, atau disahkan, kecuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang.” Rumusan ini dimuat sebagai Pasal 172 Konstitusi RIS dan Pasal 118 UUDS 1950.
Soepomo adalah anggota Komisi Visman (1939) yang ditugasi mempelajari ketatanegaraan Hindia Belanda yang akan diperbarui. Ia pasti mempertimbangkan bahwa pada zaman Hindia Belanda, Volksraad punya kekuasaan yang tidak boleh diabaikan oleh gubernur jenderal, yakni dalam hal APBN (begrooting), pinjaman (lening), dan dana (rekening). Tegasnya, kalau gubernur jenderal mau meminjam uang, baik dari dalam maupun luar negeri, dia harus mendapat dukungan Volksraad.
Ketentuan itu menyebabkan pemerintah Hindia Belanda sangat berhati-hati dalam melakukan pinjaman. Ini secara tak langsung menguntungkan kita karena utang pemerintah Hindia Belanda—sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar—yang pem-bayarannya dialihkan kepada kita jadi tak terlalu memberatkan.
Di masa revolusi RI tidak punya utang luar negeri. Pada 1966, pinjaman pemerintah kita kira-kira US$ 2,5 miliar. Utang ini sebagian besar untuk membeli senjata dari Rusia dalam kampanye merebut kembali Irian Barat (Operasi Trikora). Sebagian lagi untuk apa yang disebut ”proyek vital” seperti pabrik semen Gresik, Krakatau Steel, Jembatan Semanggi, serta proyek ”mercu suar” Gelora Senayan, Gedung Conefo (yang kemudian menjadi Gedung MPR/DPR). Utang Orde Lama itu sudah lama lunas.
Dalam rancangan APBN selalu ada butir tentang utang luar negeri yang seharusnya didasarkan pada Pasal 11 dan Pasal 23 UUD. Pasal 11 berbunyi: ”Presiden dengan per-setujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.” Pemerintah selalu berargumen bahwa hanya perjanjian yang penting, perjanjian antarnegara (treaty, traktaat) yang harus mendapat ratifikasi, sedangkan perjanjian lainnya dianggap executive agreement yang tidak perlu diratifikasi.
Pemerintahan Soeharto menganggap perjanjian utang luar negeri merupakan ”perjanjian eksekutif”. Argumen ini harus ditolak karena jumlah utang tersebut membebani rakyat dan tertampung dalam APBN. Seperti dinyatakan dalam Penjelasan UUD ’45, cara rakyat hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup harus ditetapkan oleh rakyat sendiri dengan perantaraan dewan perwakilan mereka.
Juga harus ditolak argumen bahwa dengan diterbitkannya undang-undang APBN berarti rakyat sudah menyetujui adanya utang luar negeri. Sepatutnya, kebutuhan pemerintah untuk berutang harus lebih dulu dibahas di DPR, bukannya di-fait accompli-kan. Kebijakan untuk berutang harus beranjak dari DPR. Di Amerika Serikat, utang sepenuhnya menjadi hak Kongres (to borrow money on the credit of the United States, Article I section 8).
Tanggungan Rakyat
Pelanggaran terhadap Pasal 23 menyebabkan pemerintahan Soeharto meninggalkan utang US$ 80 miliar (lebih dari 30 kali utang pemerintahan Sukarno). Sialnya bangsa ini, nafsu berutang itu dilanjutkan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati—malah lebih parah.
Dalam dua tahun, obligasi untuk menombok restrukturisasi perbankan membuat utang dalam negeri lebih besar daripada utang luar negeri. Semuanya tanpa persetujuan DPR. Sialnya lagi, bunga utang para konglomerat itu ditanggung oleh rakyat yang tak pernah merasakan manfaat dari kredit yang dikemplang.
Angka terakhir utang luar negeri pemerintah US$ 140 miliar, utang luar negeri swasta US$ 135 miliar. Sedangkan jumlah utang dalam negeri Rp 650 triliun (catatan M.T. Zen di Kompas, 12 Desember 2001).
Pada masa Habibie, dalam APBN 1998/1999, bunga dan cicilan utang dalam negeri baru mencapai Rp 1.846 miliar. Di masa Abdurrahman Wahid, RAPBN 2000, bunga utang saja tidak termasuk cicilan jumlahnya Rp 55.792 miliar, empat kali lipat anggaran pendidikan. RAPBN yang diajukan Megawati juga menunjukkan ketimpangan mencolok. Anggaran untuk pendidikan, mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan untuk melindungi penduduk, kalau dijumlahkan masih jauh lebih kecil daripada beban utang konglomerat yang ditimpakan kepada rakyat.
Tujuan Pemerintah Negara Indonesia menurut Pembukaan UUD 1945 ada empat: (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) Memajukan kesejahteraan umum; (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Kalau dana Rp 60 triliun yang dicurahkan untuk membayar bunga utang konglomerat itu dikaitkan dengan tujuan pemerintah tersebut, yang didapat cuma janji-janji. Sebab, uang itu bakal amblas dan tak ada lagi re-venue bagi APBN. Dana Rp 60 triliun itu bisa mencapai tujuan pemerintah kalau langsung dialokasikan pada pendidikan atau pemberian pinjaman ke pengusaha kecil.
Lalu dari sumber anggaran mana pemerintah membayar utang konglomerat itu? Apakah dari pajak, penerimaan sumber daya alam, dari privatisasi, penjualan aset program restrukturisasi perbankan, atau laba BUMN? Faktanya, dari privatisasi dan aset restrukturisasi perbankan hanya bisa didapat Rp 27 triliun—masih tekor Rp 33 triliun.
Kita tidak perlu mengemplang utang luar negeri. Kebijakan yang harus diambil sederhana saja: pemerintah tidak menanggung utang konglomerat. Keharusan ini ditentukan oleh DPR dan sidang pembahasannya ter-buka untuk umum.
ABK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini