Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Menafsirkan Konstitusi

Pendidikan kewarganegaraan gagal. Akibatnya, kebanyakan anggota DPR/MPR tak memahami teori konstitusi.

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sidang Tahunan MPR 2000 mengamandemen Pasal 30 UUD 1945 (Pertahanan Negara). Di samping mengubah judul menjadi Pertahanan dan Keamanan Negara, ayat 2 pasal itu menguraikan: ”Usaha pertahanan dan ke-amanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Amandemen MPR 2000 ini mencampur aduk yang seharusnya menjadi muatan UUD dan muatan perundang-undangan lainnya. Mestinya, UUD tak perlu mencantumkan sistem yang dipakai, karena sistem relatif cepat berubah. Para perumusnya rupanya kurang memahami teori dan metode menginterpretasi konstitusi. Ada pula dua pasal yang mubazir, karena pesannya sama, Pasal 27 ayat 3 (amandemen) berbunyi: ”Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Pada pasal 30 ayat 1 (amandemen) dinyatakan: ”Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Amandemen pasal-pasal UUD itu tidak disertai amandemen Penjelasannya. Para anggota MPR cenderung mau menghapus Penjelasan, dan memasukkannya ke dalam Batang Tubuh UUD. Padahal, hanya sebagian kecil isi Penjelasan yang dapat menjadi muatan UUD. Penjelasan UUD (Umum I) mengemukakan, ”... untuk menyelidiki hukum dasar suatu negara tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal UUD saja, akan tetapi harus menyelidiki juga sebagaimana prakteknya dan sebagaimana suasana kebatinan UUD itu.” Lalu: ”UUD Negara mana pun tidak dapat dimengerti kalau hanya dibaca teksnya saja ... harus diketahui keterangan-keterangannya dan juga harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin. Dengan demikian kita dapat mengerti apa maksudnya undang-undang yang kita pelajari, aliran pikiran apa yang menjadi dasar undang-undang itu.” Metode interpretasi yang terpadu adalah interpretasi teks (”gramatikal”), interpretasi sejarah, interpretasi sistematika, dan interpretasi menurut tujuan (teleologis). Yang dikemukakan oleh Penjelasan UUD 1945, baik di bagian Umum maupun tentang teksnya, juga menjadi acuan yang lazim bagi para perumus UU dan kalangan akademik (lihat ”How Should We Interpret the Constitution” dalam Robert A. Goldwin, Constitutional Controversies, 1987). Konstitusi yang Hidup Sejak 1959 sampai kejatuhan Soeharto (1998), para penyelenggara negara merasakan manfaat Penjelasan UUD 1945. Pada 1966, para anggota MPRS menugasi pimpinan MPRS (dengan bantuan Badan Pekerja) untuk menyusun rancangan Penjelasan Pelengkap UUD 1945, guna melengkapi Penjelasan resmi yang telah ada (TAP MPRS No. XIV). Tugas ini tak pernah dituntaskan—membuat Orde Baru leluasa menafsir UUD 1945 menurut seleranya. Penjelasan UUD tetap diperlukan selama sistematika dan kesadaran berkonstitusi belum berkembang di masyarakat. UUD hendaknya menjadi konstitusi yang hidup (living constitution), menjadi bagian kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini bisa dicapai dengan pendidikan kewarganegaraan yang didasarkan pada hak dan kewajiban warga negara dan penyelenggaraan negara sebagaimana yang tercantum di konstitusi. Kita kurang berhasil menyelenggarakan pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan ini hanya mencatat hal yang baik-baik. Cara penyampaiannya pun searah, bahkan indoktrinatif. Padahal, menurut International Commission of Jurist, salah satu syarat terselenggaranya pemerintahan yang demokratis ialah adanya pendidikan kewarganegaraan (civics). Tak mengherankan kalau kebanyakan anggota DPR/MPR yang harus mengamandemen UUD kurang memahami teori dan metode interpretasi konstitusi. Yang mereka teliti hanya pasal-pasalnya. Kalau latar belakang pemikiran mengenai perlunya amandemen kurang dimengerti, bagaimana mereka bisa mengamandemen konvensi penyelenggaraan negara yang telah terbentuk selama ini? Lantas, mengingat Penjelasan UUD 1945 mengandung salah cetak dan salah konsepsi, sebaiknya Penjelasan itu diperbarui. Apalagi setelah 29 dari 37 pasal UUD 1945 diamandemen. Pembaruan sebaiknya dilakukan oleh MPR (ST MPR 2002), lalu dijadikan bagian integral dari UUD 1945 yang telah diamandemen. Pendapat bahwa di dunia ini tidak ada UUD yang menyertakan penjelasan—seperti yang sering dikemukakan oleh Prof. Harun Alrasid—perlu dibeningkan. UUD India terdiri dari 395 pasal, 14 pasal di antaranya mempunyai penjelasan (”Explanation”). UUD Burma juga memakai explanation untuk menjelaskan beberapa pasalnya. Lalu, bukankah Ketetapan MPR menyatakan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan? Ananda B. Kusuma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus