Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CAMPUR tangan berlebihan Departemen Kesehatan dan Komisi Kesehatan DPR dalam urusan bisnis infus harus dikritik. Sebab, akibat tindakan ikut campur itu, harga infus semakin mahal dan pasokan di pasar pun langka.
Pemicunya boleh dibilang adalah surat Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, Farid W. Husain, ke rumah sakit binaan departemen itu. Isi surat terkesan genting: hanya infus dengan pemanasan 121 derajat Celsius—alias memakai metode overkill—yang boleh dipakai. Tak satu pun merek disebut, tapi semua rumah sakit tahu bahwa yang dimaksud Pak Dirjen adalah infus buatan Sanbe Farma.
Rupanya Pak Dirjen disokong DPR. Dari Senayan, sembilan bulan kemudian, Ketua Komisi Kesehatan Ribka Tjiptaning mengatakan bahwa hanya infus yang dipanaskan dengan suhu 121 derajat yang steril. Yang lain tidak steril dan berbahaya. Ribka mengaku mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Farmakope Indonesia yang menjadi rujukan pabrik obat dan infus.
Keanehan terjadi di situ. Komisi Kesehatan DPR secara terbuka menyebut satu merek untuk dilarang. Mereka meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) menghentikan pemakaian infus produksi Otsuka. Alasannya, infus ini diproduksi dengan menggunakan metode bioburden, dipanaskan pada suhu di bawah 120 derajat Celsius. Mulanya Badan POM hanya meminta Otsuka memperbaiki produksinya. Karena gagal memenuhi permintaan itu, Otsuka dilarang memasok infus selama tiga bulan.
Bisa diduga, infus langsung langka, karena Otsuka menguasai 80 persen pasar infus. Di toko memang ada produk Sanbe Farma, tapi harganya dua kali lipat. Untung masih ada merek B Braun dan Euromed, yang harganya setara dengan Otsuka. Tapi kelangkaan infus sempat terjadi.
Di balik ini semua, penelusuran Tempo mengungkap ada yang tak lazim. Misalnya, tidak biasanya Dirjen Pelayan-an Medik terjun mengurusi masalah teknis seperti soal infus. Surat Pak Dirjen juga dikeluarkan tak lama setelah dia menghadiri peresmian pabrik infus Sanbe. Surat itu juga menyebar ke rumah sakit yang mestinya bukan domain departemen itu.
DPR patut diduga mengutip data secara salah, entah sengaja atau tidak. WHO dan Farmakope Indonesia dengan jelas menunjukkan bahwa metode overkill dan bioburden sama-sama memenuhi syarat. Alasan DPR bahwa infus Otsuka berbahaya juga menyesatkan dan tidak benar. DPR belum pernah menyodorkan fakta bahwa infus Otsuka membahayakan penggunanya.
Kesan DPR terlibat dalam perang dagang tak terhindarkan karena para wakil rakyat itu ngotot agar pabrik infus Otsuka ditutup selamanya. Drama rapat dengar pendapat Komisi Kesehatan dengan Badan POM pada awal Maret lalu jelas menunjukkan betapa kuat desakan untuk merontokkan Otsuka. DPR tak lagi berbicara tentang pra-nata, tapi sudah mengatur sebuah merek dagang.
Dengan begitu, DPR membela merek dagang yang harganya jauh lebih mahal. Semestinya DPR tahu beban biaya berobat rakyat akan bertambah-tambah dengan pilihan itu. Yang perlu diselidiki—kalau pimpinan DPR punya hati nurani—mengapa ada wakil rakyat yang ingin menambah beban rakyat dan bukan meringankannya. Untuk kepentingan siapa mereka minta infus lebih mahal yang dimenangkan?
Lalu, Menteri Kesehatan agaknya perlu meneliti: mengapa Pak Dirjen Pelayanan Medik sampai perlu membuat surat yang melawan kebijakan Departemen Kesehatan untuk menurunkan harga obat. Pak Dirjen sedang berpikir tentang rakyat banyak atau berpikir untuk memenangkan pabrik infus yang baru dikunjunginya? Ini sekadar bertanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo