Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA baiknya para pejabat negara meniru sikap Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Suatu malam, pemimpin dinasti Umayyah yang dikenal sebagai Umar II (memerintah tahun 717-720 Hijriah) itu kedatangan seorang putranya yang ingin berkonsultasi. Sebelum bicara, ia bertanya kepada sang putra, "Apakah ini perkara negara atau pribadi?" Ketika jawabannya ternyata urusan pribadi, ia lalu mematikan penerangan lampu istana. Bapak dan anak itu lalu berbicara dalam gelap?.
Inti pesan sang Khalifah yang dikenal adil itu jelas: ia takut dihisab atas segala perbuatannya di akhirat nanti. Ia tegas bersikap, jika semata untuk urusan pribadi, sedinar pun tak boleh ditanggung rakyat. Ia tak ingin menyalahgunakan kewenangannya sebagai penguasa, sebuah sikap ideal yang terasa mustahil dijalankan di zaman sekarang ini. Namun, di tengah negara yang lagi kerepotan, bahkan tekor fulus di sana-sini itu, tindakan adil ala Umar II bisa jadi contoh yang tak cuma menghibur, tapi juga memberi arti penting.
Alangkah indahnya jika pejabat publik seperti lurah, camat, bupati, gubernur, sampai wakil presiden dan presiden bisa ber-sikap tegas ihwal perkara sensitif ini: membedakan tugas negara dengan urusan pribadi atau partai. Mereka sepatutnya sadar bahwa fasilitas negara semata-mata disediakan hanya untuk kepentingan jabatan. Dengan begitu, tak ada lagi cerita mobil dinas?berpelat merah ataupun hitam?yang dipakai mondar-mandir nyonya besar istri pejabat buat belanja di mal. Tak boleh lagi ada cerita seorang petinggi istana yang seenaknya memanfaatkan fasilitas negara di luar yang semestinya.
Sebab itulah kita patut keheranan ketika Wakil Presiden Hamzah Haz dikabarkan menyedot dana satu miliar untuk setiap kunjungannya ke daerah. Apalagi jika dalam setiap perjalanan itu?yang biasanya selalu diikuti seabrek rombongan?selalu diselipkan acara partai, bahkan untuk urusan pribadi, semisal ziarah kubur mertua. Masalahnya bukan satu miliar rupiah itu duit besar atau seenteng kacang goreng. Tapi, prinsipnya, jika di luar urusan pemerintahan, bukan perkara kenegaraan, sepeser pun uang rakyat tak boleh dipergunakan.
Urgensi kunjungan ke daerah, atau ke luar negeri, hendaknya juga dijadikan pertimbangan. Boleh saja wakil presiden, atau presiden, pergi ke daerah untuk sebuah perhelatan besar berskala nasional, semacam peringatan hari besar keagamaan?yang kebetulan tak dipusatkan di Jakarta. Silakan saja ke luar negeri untuk urusan penting sekelas konferensi tingkat tinggi yang memang dihadiri banyak kepala negara. Tapi, untuk acara yang tak begitu mendesak, cukup wakilkan saja kepada pejabat sekelas menteri.
Jika memang terpaksa berkunjung untuk urusan pribadi, tegaskan saja kepada pihak pengamanan, juga protokol, bahwa sifat kunjungannya incognito. Ini berarti tak usah pakai pengawalan menggebu-gebu, seperlunya saja. Tak usah diatur dengan macam-macam ketentuan protokoler. Hapuskan tim pendahulu, apalagi pakai tim survei segala. Bilang kepada pejabat yang biasanya ikut menyambut?sesuai dengan prosedur birokrasi?bahwa mereka tak usah repot-repot datang ke tempat yang sangat pribadi itu.
Siapa saja yang boleh ikut harus dibatasi. Bayar saja sendiri untuk setiap biaya yang muncul dari acara demi acara. Iring-iringan mobil juga tak usah memanjang sampai berpuluh-puluh kendaraan. Lupakan soal forerider. Kalau perlu, rahasiakan saja sehingga tak banyak orang tahu. Biarkan semuanya berlangsung secara alamiah.Tak usah dibikin-bikin, jangan diada-adakan. Sebab, semua rekayasa itu berarti biaya. Apalagi birokrat yang datang cuma sekadar setor muka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo