Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah polisi telah tumpul rasa keadilannya? Sebuah penculikan dan penganiayaan terhadap seorang wartawan, disaksikan oleh banyak warga, dan telah dilaporkan pula, ternyata hampir tiga pekan kasusnya ditelantarkan. Jangankan menangkap para pelaku, hingga sekarang polisi belum bisa memastikan nasib si korban.
Kasus itu terjadi di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Si korban bernama Elyudin Telaumbanua, bekerja untuk harian Berita Sore terbitan Medan. Dia diculik pada 24 Agustus lalu setelah meliput seorang korban pembunuhan. Naik sepeda motor berboncengan dengan seorang teman, Ely tiba-tiba dihadang oleh segerombolan orang.
Kawannya berhasil melarikan diri, tapi Elyudin tak berkutik saat disergap. Menurut penelusuran tim investigasi Berita Sore, banyak warga melihat kejadian itu. Mereka menggambarkan, korban ditelanjangi, dipukuli, lalu dihujani dengan tombak dan pisau. Ada pula warga yang mengatakan, Ely dianiaya sampai meninggal, mayatnya kemudian dilarung di pantai.
Peristiwa tersebut telah dilaporkan oleh Ukuran Maruhawa, kawan korban yang lolos, kepada Kepolisian Resor Nias Selatan. Hanya, sampai sekarang polisi belum mampu mengungkap kasus ini. Kapolres Nias Selatan, Ajun Komisaris Besar Aiman Safruddin, berdalih: kendati banyak warga yang melihat langsung kejadian, tak ada yang berani bersaksi.
Alasan itu tak pantas diucapkan oleh seorang kapolres. Bukankah Maruhawa seorang saksi kunci? Bukankah polisi bisa menelusuri lewat jejak-jejak yang ditemukan di tempat kejadian? Sepeda motor yang dipakai Elyudin bahkan sudah ditemukan di semak-semak tak jauh dari lokasi peristiwa.
Ada lagi saksi penting lainnya, Elisah Sederhana Harahap, istri korban. Mungkin sudah berfirasat akan mengalami kejadian seperti itu, Ely meninggalkan sebuah pesan sebelum berangkat meliput. ”Kalau terjadi apa-apa, inilah yang kamu kejar,” katanya kepada sang istri sambil menyodorkan sebuah foto adik Ketua DPRD Nias Selatan.
Kaitan antara korban pembunuhan yang diliput oleh Elyudin dan sosok dalam foto itu memang belum jelas. Yang pasti, adik tokoh politik di Nias Selatan itu pernah dituduh terlibat dalam kasus perampokan di Labuhan, dan perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Anehnya, sang tersangka diperkirakan masih sering berkeliaran di Nias. Barangkali Ely berusaha mengungkap kejanggalan ini, sebuah kemungkinan yang seharusnya jadi bahan pengusutan polisi.
Munculnya nama adik seorang tokoh politik lokal menunjukkan bahwa Elyudin berhadapan dengan orang yang berpengaruh di Nias Selatan. Apalagi ada warga yang bilang, seorang kepala desa terlibat dalam aksi penculikan dan penganiayaan itu. Kasus Elyudin mirip kejadian yang menimpa wartawan harian Bernas terbitan Yogyakarta, Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin, yang dibunuh sembilan tahun silam. Diduga didalangi oleh orang berpengaruh di Kabupaten Bantul saat itu, sampai sekarang pembunuh Udin belum terungkap.
Kasus Udin tampaknya terulang, dan ini jangan sampai dibiarkan. Kalau dibiarkan, aksi penculikan terhadap wartawan bisa mengancam kebebasan pers, yang dijamin oleh undang-undang. Jangankan menculik, menghalangi tugas wartawan bisa diancam hukuman penjara.
Selagi jejak-jejak masih basah, polisi harus cepat bergerak mengungkap kasus Elyudin. Jika Kapolres Nias Selatan tak mampu mengusutnya, Kapolda Sumatera Utara atau Kapolri mesti segera mengambil tindakan tegas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo