Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Awas! Calo Anggaran di Senayan

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sekarang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai diminta turun tangan menyelidiki dugaan penyelewengan di DPR. Wakil rakyat bertindak kriminal? Tidak banyak yang terkejut agaknya, karena akhir-akhir ini reputasi DPR semakin rusak, akibat tingkah laku beberapa anggotanya. Semua masih dalam taraf dugaan, belum pernah dibongkar dan dituntut di pengadilan seperti yang terjadi pada banyak DPR Daerah. Sudah waktunya melakukan hal yang sama bagi DPR, sebelum kerusakan jadi lebih parah.

Peluang dan cara melakukan penyelewengan di DPR bermacam-macam. Cara yang digunakan sering canggih sekali, menutupi jejak agar sukar dipersalahkan secara hukum. Peristiwa yang terakhir ini ialah dugaan penyelewengan dalam proses alokasi dana bantuan daerah bencana alam dari Departemen Pekerjaan Umum. Jumlah dana Rp 609 miliar, untuk dibagikan ke 174 kabupaten. Ada beberapa nama anggota DPR yang disangka jadi perantara, alias calo, untuk melancarkan penyaluran dana ke kabupaten yang berkepentingan. Kalau benar calo, tujuannya adalah imbalan uang untuk jasanya.

Kasus tadi hanyalah salah satu contoh. Masalah ini terbuka dari dokumen yang diungkap oleh salah seorang anggota DPR sendiri dalam Sidang Paripurna DPR pada 29 Agustus lalu. Tuduhan adanya percaloan hanya akan berarti kalau ada bupati yang mau jadi saksi. Ada bupati yang mengeluh, tapi tak mau secara terbuka, dan tidak menyodorkan bukti konkret. Badan Kehormatan DPR memang telah mulai memeriksa, tapi yang ditelisik barulah dugaan adanya pelanggaran etika. Jika ditemukan unsur tindak pidana, barulah akan diserahkan ke KPK.

KPK sebenarnya sudah bisa memulai penyelidikan, karena petunjuk awal adanya tindak pidana sudah cukup kelihatan. Jika jasa perantara memang dibayar dengan uang, masalah etika jelas jadi pelanggaran legal. KPK punya wewenang cukup yang diberikan undang-undang, yang tak terhalang oleh kekebalan anggota DPR. Sebetulnya tidak sulit bagi KPK untuk memperoleh kesaksian yang dibutuhkan. Jika perlu, Badan Kehormatan DPR bisa memeriksa bersamaan ketika penyelidikan KPK dijalankan.

Kekaburan batas antara soal politik biasa, pelanggaran etika, dan tindakan pidana juga terasa dalam masalah penyaluran dana kompensasi kenaikan BBM untuk kesehatan rakyat miskin oleh Departemen Kesehatan. Jumlahnya besar, triliunan rupiah. Yang dimasalahkan ialah surat keputusan Menteri Kesehatan yang menunjuk sebuah perusahaan untuk menyelenggarakan penyaluran, tanpa melalui tender, dan dianggap menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menteri Kesehatan di pihak lemah karena dianggap salah, sehingga jadi obyek tekanan oleh pihak DPR. Apalagi mengingat waktu ini adalah masa menjelang reshuffle kabinet, dan menteri yang ketahuan teledor akan punya risiko tinggi untuk dicopot. Tekanan bisa ditarik, kalau ada imbalan memadai. Tak ada yang mau mengaku bahwa tawar-menawar ke arah ini pernah berlangsung. Baunya ada, jejak tak ada. Semua menyangkal, sedangkan yang tercium baru bersifat percobaan, belum jadi perbuatan. Akan tetapi mencoba melakukan tindak pidana tertentu adalah sama dengan kejahatan, yang diancam dengan hukuman.

Pada umumnya segala penyimpangan itu termasuk dalam money politics. Yang terjadi di DPR tidak jauh berbeda dengan modus operandi politik uang di DPR Daerah, yang ternyata disalahkan dan banyak yang sudah diajukan ke pengadilan. Tak jelas siapa meniru siapa, apakah DPR atau DPR Daerah lebih dulu, atau mereka saling belajar untuk meningkatkan keterampilan masing-masing. Di setiap fungsi resmi DPR—fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan—peluang penyalahgunaan kekuasaan selalu tersedia. Kalau di DPR Daerah bisa ditindak, di DPR mestinya juga bisa.

Motif mencari keuntungan atau mengapa penyelewengan terjadi—gaji kurang, perlu menebus ongkos kampanye pemilihan umum dulu, ingin hidup mentereng—tidak relevan untuk dipersoalkan. Kalau salah, harus ditindak. Interaksi dan transaksi anggota DPR dengan eksekutif seharusnya bukanlah antarindividu yang memangku jabatan, yang mewakili kepentingan diri masing-masing. Melainkan seharusnya diletakkan sebagai interaksi antara wakil rakyat sebagai perwujudan kepentingan umum menghadapi kekuasaan eksekutif yang menyelenggarakan kepentingan rakyat.

Maka tarik-menarik atau pertikaian dibatasi pada kebijakan apa yang akan diambil. Bukan tawar-menawar antara keuntungan sempit masing-masing di luar itu. Dalam kerangka ini, pihak eksekutif tidak pernah perlu merasa takut atau terancam oleh DPR. Percaloan atau pemerasan halus tidak akan bisa hidup kalau dilawan atau tak dihiraukan. Kecuali kalau memang menterinya punya salah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus