Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sudah Benar tapi Belum Memadai

Tindakan Bank Indonesia mengeringkan likuiditas rupiah sudah benar. Sektor bank perlu mengurangi spread yang berlebihan.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setiap kali suhu ekonomi dianggap kelewat panas, bank sentral biasanya akan menaikkan tingkat suku bunga untuk mendinginkannya. Tindakan yang sering disebut ”kebijakan uang ketat” itu dimaksudkan untuk mengerem laju inflasi alias mempertahankan nilai mata uang. Sebaliknya, bila kegiatan ekonomi dianggap loyo, tingkat suku bunga diturunkan untuk memacu putaran roda bisnis dengan harapan pertumbuhan ekonomi akan melesat dan kesejahteraan masyarakat terangkat.

Seni menaikkan dan menurunkan suku bunga ini disebut kebijakan moneter, dan di negeri ini menjadi urusan Bank Indonesia. Lembaga independen ini oleh undang-undang diwajibkan menjaga nilai mata uang rupiah dan dilindungi dari tekanan pihak luar, termasuk pemerintah. Setidaknya, begitulah teorinya.

Teori itu kini sedang diuji. Melorotnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat belakangan ini membuat Bank Indonesia harus melakukan langkah pertahanan. Sejumlah pengamat, terutama dari kalangan pasar uang, berpendapat bahwa BI harus meningkatkan suku bunga rupiah agar mata uang republik ini jadi lebih menarik untuk didepositokan ketimbang ditukar ke dolar. Sebaliknya, pendapat yang berseberangan datang dari kalangan pengusaha. Mereka khawatir tingkat suku bunga yang terlalu tinggi akan membunuh sektor riil, membangkrutkan banyak usaha, dan menambah jumlah penganggur.

Pendapat mana yang harus didengar BI? Tak mudah untuk menjawabnya. Pasalnya, ekonomi Indonesia memang tak sedang maju kencang, dan menaikkan suku bunga pasti akan membuatnya lebih lamban. Ini bukan perkara ringan. Sebab, target pemerintah memacu pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen justru sedang terhantam kenaikan harga minyak di pasar internasional, hingga diperkirakan target itu tak akan tercapai. Padahal, untuk menampung pertambahan tenaga kerja, dibutuhkan pertumbuhan 7 persen setiap tahunnya. Bisa diperkirakan jumlah penganggur yang kini sudah tinggi akan lebih meroket.

Di lain pihak, tanpa menaikkan suku bunga, dikhawatirkan penurunan kurs rupiah terhadap dolar akan menggawat. Soalnya, pasar melihat subsidi BBM melompat akibat kenaikan harga minyak dunia akhir-akhir ini. Melemahnya nilai tukar rupiah telah mengakibatkan jumlah rupiah yang harus dianggarkan untuk membayar utang luar negeri akan melonjak dan membuat neraca anggaran tekor lebih parah. Ingatan pada krisis moneter tahun 1997 pun menguat kembali, hingga banyak orang sibuk menukar rupiahnya dengan dolar. Kegiatan ini justru membuat nilai rupiah semakin tertekan.

Menghadapi dilema ini, apa yang dilakukan BI sudah berada di jalur yang benar. Upaya menyerap likuiditas rupiah dilakukan tak semata-mata dengan menaikkan bunga sertifikat Bank Indonesia, melainkan juga meningkatkan setoran giro wajib minimum (required reserve) bank yang porsinya berbanding terbalik dengan rasio kredit terhadap depositonya. Ini berarti mengeringkan likuiditas dengan meminimalkan tekanan terhadap bank untuk menaikkan suku bunga kreditnya.

Jalur yang sudah benar ini saja tidak cukup. BI juga perlu memastikan bahwa tingkat kredit macet atau hampir macet setiap bank tetap dalam porsi yang aman, dan pelaksanaan pencadangan dana provisinya memadai. Selain itu, sudah saatnya sektor perbankan nasional menurunkan margin keuntungan (spread) mereka yang selama ini berada jauh di atas tingkat yang berlaku di pasar internasional. Sektor perbankan, yang pemulihannya dari krisis telah memakan banyak dana publik itu, juga berkepentingan menjaga kesehatan perekonomian nasional. Bank Indonesia dan pemerintah sepatutnya menekan bank supaya menaikkan suku bunga depositonya tanpa banyak mengubah suku bunga kreditnya. Dengan demikian, nilai rupiah dapat dipertahankan tanpa mencekik sektor riil nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus