Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dwifungsi abri

Esensi dwifungsi abri adalah berjuang bahu-membahu dengan kekuatan lain membela dan mengisi kemerdekaan. penyelarasannya menurut uud 1945, yang bersifat kekeluargaan.

15 Agustus 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAKU Kepala Staf AD dalam pidato Dies Akademi Militer Nasional pada 11 November 1958, saya mengatakan: "TNI tidak bisa berfungsi sekadar sebagai alat sipil seperti di demokrasi Barat, pula tak bisa sebagai rezim militer, tapi sebagai potensi perjuangan yang bahu membahu dengan kekuatan-kekuatan lain membela dan mengisi kemerdekaan". Prof Jokosutono menyebutkan hal ini sebagai "jalan tengah TNI". Bagi saya, inilah esensi dwifungsi ABRI. Adapun aktualisasinya tepat sekali seperti yang dinyatakan Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani di DPR baru-baru ini, diselaraskan dengan perkembangan pelaksanaan demokrasi, jadi bukanlah sekadar berapa TNI punya wakil di DPR dan sebagainya. Dalam program Orba semula, urgensinya ialah semua lembaga supra dan infra struktur MPRS, presiden, dan seterusnya, tentunya tak terkecuali ABRI, golongan, parpol dan ormas, diposisikan menurut kemurnian pelaksanaan UUD. Sesuai dengan tekad Orba yang dirumuskan dalam Ketetapan MPRS XI/1966, untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat, semua lembaga permusyawaratan dan perwakilan haruslah dibentuk dengan pemilihan. Dulu, pernah ada konsensus antara Presiden Soekarno dan parpol, yakni TNI diakui sebagai salah satu kekuatan sospol dan duduk di MPR itu sebagai salah satu "golongan" (UUD pasal 2). Cara pemilihannya dapat diatur. Tentang di DPR dalam Komisi Pembuat UU Pemilu dulu, usul saya agar wakil TNI di DPR dipilih rakyat lewat sistem distrik. Tapi parpol menolak sistem ini dan minta TNI diangkat saja, namun tak boleh lebih dari 10% jumlah seluruh anggota DPR untuk menjaga tak mengubah keseluruhan pemilu. Kembali pada awal Orba, parpol menolak sistem distrik, tapi memberi Presiden Soeharto hak untuk mengangkat 1/3 jumlah anggota MPR. Itu berarti, sampai saat ini hanya 40% anggota MPR hasil langsung pemilu, yakni yang dipilih sebagai anggota DPR itu. Ada dua pendapat tentang posisi ABRI dalam negara ini. Yang pertama, menganggap perlu meneruskan perannya yang ada selama ini, dan yang kedua mengartikan bahwa, dalam demokrasi, hanyalah sebagai alat pemerintah. Proses panjang sejak prolog proklamasi memberikan tonggak-tonggak historis sebagai "rambu" penunjuk jalan. Saya berpegang pada ajaran sejarah kita, di mana TNI berperan sebagai unsur perjuangan cita-cita Proklamasi "merdeka, bersatu, berdaulat" demi "adil dan makmur" dan ini tak bertentangan dengan tatanan UUD 45, yang bersifat kekeluargaan. Pada saat krisis eksistensi di negara ini, tiap kali kita terdorong untuk "kembali ke rel 45". Seperti pada agresi Belanda kedua dan kemelut negara di tahun 1950-an (pemberontakan -pemberontakan luas serta intervensi tertutup oleh USA secara militer, kemacetan Konstituante, dan lainlain): "kita kembali ke UUD 45". Kelak setelah PRRI, DI, dan lain-lain teratasi, saya konklusikan: Mestinya pergolakan-pergolakan tersebut terelakkan, seandainya pimpinan RI sejak semula berangsur-angsur menegakkan sistem politik UUD 45, sehingga setiap orang, golongan, dan daerah, dapat secara institusional memperjuangkan aspirasinya, tak perlu dengan kekerasan senjata. Namun, pada zaman Orla itu, kita tidak konsekuen kepada UUD 45. Pemusatan kekuasaan di tangan presiden, kemudian presiden menunda pemilu, menjadi presiden seumur hidup, Pancasila "diperas" menjadi Nasakom, dan seterusnya. "Penyelewengan UUD dan kedaulatan rakyat", menurut Seminar AD 1966, yang memberi peluang kepada PKI melahirkan G30S. Lahirlah reaksi "koreksi total" dengan poros melaksanakan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Konstelasi darurat/transisi oleh Orba dimantapkan demi stabilitas nasional. Pada kuliah saya terakhir di Seskoad (1969), saya ingatkan: tahun 1970an perlu pemurnian pengertian fungsi TNI, karena mengandung banyak unsur darurat/transisi. Lalu pada Seminar AD 1972, saya sarankan agar titik berat peranan kita, mulai dialihkan dari stabilisator ke dinamisator. Setelah 25 tahun, Mendagri Rudini sebagai pembina politik mengingatkan, bukan lagi masanya terus dominasi security approach (stabilitas), karena pembangunan memerlukan prakarsa/swadaya masyarakat secara optimal. Memang strategi stabilitas mestinya adalah stabilitas tujuan (prinsip strategi), tapi pola operasi pencapaian sasaran didikte oleh situasi kondisi yang nyata. Kini dunia dilanda globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Negara-negara otoriter runtuh, karena stabilitas kekuasaannya yang dimonopoli oleh satu golongan dengan sarana tentara, intel, wewenang darurat, bahkan "terorisme negara", tidak menjamin terus stabilitas nasional. Penjaminnya hanyalah dukungan rakyat (demokrasi) sesuai dengan doktrin TNI sejak 1945, yang adalah tergantung sejauh mana rakyat mengidentifikasi tentara dan pemerintahnya sebagai kepentingannya. Ancaman terhadap stabilitas di Dunia Ketiga adalah aksi revolusioner, karena tersumbat pengejaran cita-cita secara evolusioner berhubung kurang berfungsinya lembaga-lembaga kedaulatan rakyat. Kiranya diingat kembali konsep semula, semasa Bung Hatta menjadi menteri pertahanan (disetujui BPKNIP), yang dirinci sebagai sistem tentara rakyat dengan inti tentara kader (profesi) yang kecil, tapi dengan plasma tentara milisi. Pada masa jabatan kedua saya sebagai KSAD, telah dibuat UU (misalnya tentang sukarela, milisi, veteran, perlawanan rakyat, dan lain-lain) dan telah dimulai dengan pendidikan perwira cadangan (milisi) dari resimen-resimen mahasiswa yang telah kami bentuk tahun 1958. Sampai 1965 cukup banyak yang telah saya lantik. Denagan sistem tentara rakyat, dalam konteks sipil militer, rakyatlah yang berdwifungsi. Sejarah militer modern mengingatkan, jika diutamakan tentara profesi saja, akan menjadi interest group sendiri, sehingga misalnya jaringan interes bisnisnya mengakar luas dalam ekonomi, lalu sering mendorongkan kup-kup militer, dan pemberlakuan kewenangan darurat, yang membuatnya mengontrol rakyat dalam hal pelaksanaan hak kebebasan menyatakan pendapat, hak berkumpul dan berserikat. Penyelarasan dwifungsi haruslah berinduk pada reposisioning semua lembaga supra dan infra struktur menurut UUD 45, yang bersifat kekeluargaan (rule by the people, bukan by the few). Sejarah membuktikan bahwa yang mantap hanyalah perubahan/dinamika. UUD 45 menuangkannya dalam pembaruan GBHN tiap lima tahun. Dituntut kearifan negarawan dalam mengatur perubahan dan transisinya, jangan disempitkan oleh interes golongan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus